Giliyang: Jejak Bugis-Makassar di Pulau Madura
Oleh A. Dardiri Zubairi
Giliyang lambat laun makin dikenal
sebagai pulau oksigen. Kunjungan pelancong dari Madura atau luar Madura makin
banyak belakangan ini. Pulau ini dikarunia udara segar dengan kadar oksigen
terbaik nomer dua se dunia. Tapi tak banyak orang tahu, pulau ini dahulu ditemukan, didiami, dan “diislamkan” oleh suku Bugis-Makassar.
Saat berkunjung ke pulau ini
tanggal 27 Mei 2015 saya bertemu dengan Pak Beti, generasi ke-9 keturunan Daeng
Mushalli, seorang ulama yang diyakini oleh penduduk pulau Gili sebagai penyebar
Islam. Sesuai “jujuluk” Daeng di depan
namanya, pasti Daeng (kadang dipanggil kyai) Mushalli berasal dari Bugis
Makasar.
Saya beruntung bisa “tawassulan”
ke pusara beliau, Di nisan makam Daeng Mushalli tertulis tahun wafat beliau
dalam huruf Arab, 1214 H. Berarti sekitar tahun 1793 Masehi atau 222 tahun yang
lalu. Di sebelah barat makam kyai Mushalli, terdapat makam Daeng Betawi.
Sayang, di makam Daeng Betawi ini tak tertulis tahun wafatnya. Makam dua daeng
ini berada di satu lokasi pemakaman suku bugis Makasar.
Di samping dua tokoh ini, ada lagi
tokoh yang begitu dikenal masyarakat Giliyang, yaitu Datuk Asyari. Makamnya berada
di dekat pantai, terpisah dari pemakaman Daeng Mushalli. Datuk Asyari masih
saudara dekat Daeng Mushalli. Datuk Asyari dikenal sebagai orang alim,
sementara Daeng Mushalli lebih dikenal karena kesaktiannya. Dua tokoh unik
inilah yang paling dikenal oleh masyarakat Giliyang sebagai penyebar
Islam.
Pertemuan saya dengan pak Beti,
generasi ke-9 keturunan Daeng Mushalli, sangat singkat. Saya belum mendalami
dua tokoh ini: asal-muasal kedatangannya
ke Madura, menemukan Giliyang, proses Islamisasi di pulau ini, dan peran
penting lainnya yang dilakukan Daeng Mushalli dan datuk Asyari. Saya juga belum
memiliki kemampuan untuk menempatkan Daeng Mushalli dan Datuk Asyari dalam
jaringan Islam Nusantara.
Cuma persahabatan dan relasi dua
etnis ini sudah berlangsung sejak lama. Dalam konteks perang melawan penjajah
Belanda ada dua tokoh beda etnis yang bersekutu, pangeran Trunojoyo Madura dan
Karaeng Galesong Makassar, yang begitu ditakuti oleh Belanda dan sekutunya
Amangkurat II. Kapal barang Belanda yang
melintasi selat Madura menuju Makasar atau Kalimantan sering dirampas oleh
pasukan dua pahlawan ini. Di mata Belanda tentu dua pahlawan ini dianggap
“perompak”. Persis seperti pejuang Palestina yang disebut “teroris” oleh
Israel.
Ada pendapat yang menarik dari
Ahmad Baso, penulis buku produktif yang menekuni kajian Islam Nusantara dalam
sebuah diskusi di kantor PCNU Sumenep, pertengahan 2014 bahwa, orang Bugis jika
ingin belajar etika kekuasaan datang ke Sumenep sementara orang Madura jika mau
belajar soal melaut tentu belajar kepada orang Bugis. Makanya dua etnis ini
dikenal sebagai pelaut sejati, hingga detik ini.
Melihat posisi Pulau Giliyang yang
berada di ujung timur kabupaten Sumenep -persisnya di sebelah timur Kecamatan
Dungkek -sangat mungkin disinggahi oleh etnis Bugis yang melintas melalui selat
Madura. Di sebelah timur Giliyang adalah
pulau Sepudi yang dalam sejarah perkembangan Islam di Madura disebut daerah
pertama dimana proses Islamisasi terjadi. Selat Madura diyakini sangat sibuk
dan ramai sebagai perlintasan transportasi laut yang menghubungkan utamanya
Jawa dan Nusantara bagian timur.
Melihat tahun wafat Daeng Mushalli
1214 H atau 1793 M besar kemungkinan beliau hidup di zaman kepemimpinan
Asiruddin atau Panembahan Sumolo dan dikenal juga Pangeran Notokusumo I
(1762-1811), Raja Sumenep yang menggagas pembangunan Masjid Jamik Sumenep
dengan gaya arsitektur kosmopolit: Arab, India, China, dan tentu saja Madura.
Arsiteknya seorang cucu generasi pertama etnis tionghoa di Sumenep yang lari akibat
huru--hara etnis di Semarang pada tahu. 1740 M. Nama Arsitek ini adalah Lauw
Piango.
Suatu saat saya berharap bisa
melacak dan menulisnya secara lebih serius jejak bugis (termasuk etnis lain) di
Madura. Ini penting untuk melampaui kajian Madura saat ini yang selalu dikerdilkan dan dibekap
dalam fokus kemaduraan, bukan ditempatkan dalam jaringan Islam Nusantara. Daeng
Mushalli bisa menjadi petunjuk bagaimana persidangan relasi antar etnis
terutama Bugis terjadi di Madura. Fakta kecil ini makin menguatkan bukti bahwa
tesis "imagined community"-nya Ben Anderson atas terbentuknya
konstruk kebangsaan kita makin tak menemukan relevaninya