Belajar Berjiwa Besar Dari "Orang Kecil" - A. Dardiri Zubairi
Oleh A. Dardiri Zubairi
Ngobrol sama ‘orang kecil’ selalu
ada keajaiban. Di tengah kesulitan hidup masih mau berbagi optimisme dan
ketangguhan. Di balik sebutannya sebagai orang kecil ternyata memiliki jiwa
besar. Berbeda dengan orang besar yang terkadang menampilkan jiwa kerdil.
Kemarin saya bertemu dengan
seorang bapak, dua anak. Anak pertama baru kelas X di madrasah tempat saya
mengajar. Jujur ia mengaku, biaya pendidikan anaknya hasil berjibaku dan
banting tulang. Polos ia bilang, sebenarnya secara ekonomi ia tak mampu
membiayai pendidikan anaknya, meski biaya pendidikan di madrasah saya sangat
murah.
“Tapi saya percaya, selalu ada
pintu yang dibukakan Gusti Allah,” katanya mantap. Ketika bertemu saya, ia
bersama istri dan anak bungsunya. Si kecil masih berusia 8 tahun dan sekarang
sudah duduk di MI. Bertiga bapak ini naik motor butut, motor 2 tak.
“Meski tidak mampu saya tidak mau
minta SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu) kepada Kepala Desa untuk memperoleh
PKH (program Keluarga Harapan). Saya akan cari biayai sendiri untuk pendidikan
anak saya,” sambungnya lagi. Menurut bapak, membiayai sendiri pendidikan
anaknya wujud dari kepedulian orang tua. “Banyak orang tua yang memperoleh
bantuan pemerintah untuk biaya pendidikan anaknya, justru tidak peduli terhadap
pendidikan anaknya”.
Saya jadi ingat respon kritis
seorang teman terhadap program pendididikan gratis. Pendidikan gratis –melalui
BOS—ternyata menjadikan orang tua makin tidak peduli terhadap pendidikan
anaknya. Orang tua tak merasa perlu menanyakan masalah-masalah pendidikan
anaknya di sekolah; bagaimana hasil belajarnya, apa kesulitannya, bukunya
lengkap atau tidak, SPP-nya kurang berapa, dsb. Orang tua hanya menyediakan
uang saku, dan 2 kali dalam setahun untuk mengambil rapor anaknya. Selebihnya
sudah tak terpikirkan.
Berbeda dengan dulu ketika saya
sekolah. Minimal tiap bulan orang tua pasti berkomunikasi dengan anaknya, meski
sebatas soal iuran sekolah. “Nih iuran sekolahnya, jangan lupa dibayarkan ya?
Yang rajin belajar,” kira-kira begitu orang tua ketika dahulu sekolah masih
menerapkan kebijakan iuran dan sumbangan lainnya. Anak tahu bahwa biaya itu
hasil kerja keras orang tuanya. Ia sudah belajar empati dari orang tua tentang
makna ketangguhan, kerja keras, kepedulian, perhatian dan kasih sayang. Karena
itu, ia harus membayar tuntas dengan belajar sepenuh hati.
Prinsip itulah yang saat ini masih
dipegang oleh bapak yang saya temui itu. Bapak tak mengharap bantuan
pemerintah. Ia memilih bekerja keras dan membanting tulang untuk biaya
pendidikan anaknya. Bapak secara tidak langsung telah mendidik karakter anak,
sesuatu yang belakangan ini kurang memperoleh tempat di sekolah.
Saya pernah berbincang dengan anak
bapak ini. semangat belajarnya memang luar biasa. Pagi sampai siang ia belajar
di sekolah, malamnya secara rutin ia belajar agama pada seorang kiai muda yang
berjarak 5 km dari rumahnya. Tiap malam ia naik sepeda ontel untuk belajar
agama. Sementara ke sekolah naik motor butut milik ayahnya.
Tetapi saya melihat tak ada
perasaan minder pada anak ini. Ia riang dan begitu ceria. Semangat belajarnya
berapi-api. Cita-citanya tinggi. Prestasinya juga bagus. Dan yang lebih membanggakan,
interaksi atau relasi sosialnya baik di keluarga maupun di kelompok teman
sebayanya tergolong sehat.
Sehabis bertemu bapak ini
pengetahuan saya tentang makna ketangguhan, kerja keras, kepedulian dan kasih
sayang terhadap anak makin bertambah kaya. Orang-orang kecil yang berpikir dan
bertindak sederhana dan menjalani hidup dengan sederhana muncul sebagai sosok
guru kehidupan yang menyimpan beribu hikmah. Jiwa besarnya sebagai orang kecil
telah memberi pelajaran tak bernilai di saat banyak orang (termasuk saya) suka
mengeluh. Terimakasih bapak.
Matorsakalangkong
Pulau Garam | 13 November 2013