Sajak SIngkat dalam Kata Menjelma Rasa
oleh
Asef Saeful Anwar*
Jamal
Al-Athar menghadirkan kumpulan puisinya kali ini dengan tajuk Kata Menjelma Rasa. Judul ini menawarkan
konsep yang berkebalikan dari kelaziman berpikir selama ini bahwa dari rasa
mewujud kata. Ketika seseorang merespons sesuatu, ia akan mengekspresikan
perasaan dan pikirannya dengan bahasa, dalam wujud kata-kata. Para penulis
adalah pelaku utama dari cara berpikir yang demikian. Sejumlah interaksi mereka
dengan realitas akan menghasilkan kata-kata yang dituliskan, yang sebelumnya
dirasakan batin dan benaknya. Lalu bagaimana bila konsep itu berbalik? Adakah kata menjelma rasa?
Hal
itu pun telah berlaku bagi sebagian penulis, terutama mereka yang memahami
teori intertekstualitas, bahwa sebuah karya sastra tidak dapat dilepaskan dari
jalinannya dengan karya-karya lain (sebelumnya). Kata menjelma rasa adalah bentuk pengalaman manusia ketika
berhadapan dengan bahasa, baik itu dalam bentuk ujaran maupun tulisan. Saat
manusia menerima kata-kata tertentu, selalu ada rasa dalam dirinya yang
dimungkinkan akan menimbulkan kata-kata baru sebagai bagian dari bentuk
ekspresi diri. Apa yang kemudian terjadi bukanlah siklus kata, tetapi
persebaran kata yang muncul terus-menerus seiring persinggungan manusia dengan
bahasa. Bila yang dimaksud penulis demikian, sajak-sajak dalam kumpulan ini
semestinya menyiratkan hubungan manusia dengan bahasa, dan minim pengalaman
interaksi dengan sesuatu yang nir-kata.
Dari
hasil pembacaan, justru didapati banyak sajak dalam buku ini berasal dari
pengalaman penulisnya dengan momen-momen yang tidak ada tuntutan baginya untuk
menerima dan membagi bahasa. Sajak-sajaknya hampir berisi tanggapan yang berupa
pertanyaan, komentar, nasihat, gerutu kekecewaan, dan sejenisnya, yang
kebanyakan bernada monolog. Dengan tidak adanya tuntutan untuk membagi bahasa,
penulisnya memilih sajak singkat sebagai bentuk ekspresi perasaan dan pikirannya.
Penulis tampaknya lebih memilih untuk membiakkan kata-kata di benak pembaca
dalam tafsir mereka daripada menyuguhkan kata dengan amat ruah.
Dalam
posisi yang demikian, wajar apabila buku ini kemudian dipenuhi oleh sajak yang
singkat. Sajak singkat memang berpotensi menjadi pemicu banyaknya tafsiran di
benak pembaca, dalam keragaman rasa dan kata-kata baru yang dapat mewujud
darinya. Sebab semakin sedikit sesuatu dijelaskan, semakin luas tafsir
terhadapnya. Namun, sajak singkat bukanlah sajak yang miskin gagasan. Artinya,
ia harus memiliki gagasan besar, tetapi dipadatkan sedemikian rupa agar menjadi
sajak yang kokoh. Dengan demikian, sebuah sajak singkat harus mampu memadatkan
gagasan besar yang dimilikinyake dalam susunan kata yang sesedikit mungkin.Pertanyaannya
kemudian, apakah sajak-sajak dalam buku ini memang memiliki gagasan yang besar,
atau hanya singkat tanpa kepadatan gagasan di dalamnya?
TERLUKA-BERDUKA
Matahari yang terluka
Atau aku yang berduka?
Atau aku yang berduka?
Pekalongan, Mei 2015
Dapatkah matahari terluka? Mengapa matahari terluka? Mengapa pula
aku berduka? Apakah karena matahari terluka maka aku berduka? Mengapa aku perlu
berduka bila matahari terluka? Bukankah lebih baik matahari yang berduka bila
aku terluka? Sederet pertanyaan lain dapat dipicu sajak singkat di atas sebagai
bagian dari usaha penafsiran pembaca. Namun, untuk sedikit menguraikan makna
sajak di atas, diambil salah satu tafsir bahwa sajak tersebut mempertanyakan
persepsi kita akan realitas. Apabila seseorang memandang sesuatu kemudian
muncul persepsi bahwa objek yang dilihat itu tidak indah, maka ada tiga
kemungkinan yang muncul: (1) objek yang dilihat memang tidak indah, (2) ada
yang salah pada indra subjek, atau (3) kriteria nilai estetika subjek berbeda
dengan apa yang ditampilkan oleh objek.
Dari ketiga kemungkinan tersebut, manusia lebih sering menghakimi
apa yang ada di luar dirinya tanpa memandang ke dalam keadaaan dirinya, yakni
dengan cara menyalahkan objek. Bukankah seringkali realitas yang sama
ditafsirkan berbeda oleh banyak orang? Misalnya, lagu-lagu tentang cinta akan
terasa indah didengarkan oleh mereka yang sedang jatuh hati, tetapi terasa
menyakitkan oleh mereka yang baru patah hati. Gagasan dalam sajak tersebut
cukup baik ditampilkan oleh penulis, terutama dalam memilih bentuk pengungkapan
berupa pertanyaan sehingga menimbulkan kesan; sejatinya matahari yang terluka atau
aku yang berduka? Dengan bentuk yang demikian, pembaca diberi pilihan
apakah sekadar menafsirkan sajak tersebut, menjawab pertanyaan yang ada, atau
kedua-duanya. Beberapa sajak singkat yang mengandung pertanyaan di buku ini
memiliki kelebihan yang hampir serupa dengan sajak yang menjadi contoh
tersebut.
Akan tetapi, sejumlah sajak di buku ini memiliki kelemahan ketika
penulis menyuguhkan jawaban atas pertanyaan yang telah dilontarkannya di awal,
seperti dalam sajak berikut:
BERPUASA
Bukankah rindu adalah puasa?
Cinta dan rinduku berpuasa
Kasih dan Sayangku berbuka
Cirebon, Juli 2015
Sajak di atas membuat tafsiran hanya berhenti pada apa yang
disuguhkan penulis sebagai jawaban. Pembaca sulit meluaskan tafsirannya karena
telah dibatasi oleh jawaban penulis sehingga pertanyaan yang ada tampak hanya
seperti retorika yang kosong. Dan seringkali, terlihat pada sejumlah sajak di
buku ini, jawaban yang diberikan penulis adalah konsep-konsep yang masih lemah
sebab disusun tanpa dasar. Misalnya, bagaimanakah berpuasa dipisahkan dari berbukasementara
yang kedua adalah bagian dari yang pertama. Sebab bukankah tiada mungkin ada berbukatanpa adanya berpuasa? Selain itu, jawaban yang disuguhkan penulis terkadang
seperti keluar dari pertanyaan yang dilontarkannya sendiri.
Di balik potensinya
memunculkan keragaman tafsir, sajak singkat memiliki kerentanan dari segi
keutuhan sebuah karya. Artinya, apakah benar susunan kata yang dituliskan
itu—yang kadang hanya sebaris atau dua baris—adalah benar-benar sajak? Bukankah
itu hanya kilasan ilham atau bersitan inspirasi yang baru lewat sebentar dalam
benak penulis? Lalu mengapa hal itu telah dianggap sebagai sebuah sajak?
Penulis boleh saja berdalih bahwa setiap apa pun yang ia niatkan dan tuliskan
sebagai sajak, maka itu adalah sajak. Namun, pembaca memiliki hak untuk menolak
sehingga menganggap apa yang dituliskan itu bukanlah sajak.
Sejumlah sajak singkat di buku ini memang terbaca seperti
kilasan ilham yang begitu saja dituliskan oleh penulisnya. Ilham tersebut
seperti tumpah tanpa ada proses permenungan untuk kemudian dimatangkan dan
dioleh agar wujudnya berubah menjadi sebuah karya yang utuh. Ilham bagi saya
barulah sekadar gagasan dasar. Sebagai sebuah dasar, ilham belumlah berbentuk
karya, tetapi masih berupa coretan kecil berbentuk frasa, klausa, atau kalimat.
Seorang penyair yang baik haruslah mampu mengolah ilham tersebut dan tidak
sekadar mengandalkan spontanitas menerima dan menyalurkan sebagaimana adanya.
Penyair, dengan demikian, tidak hanya menjadi wadah, tetapi juga harus bisa
menjadi alat dengan imajinasi dan daya pikir yang dimilikinya, agar gagasan
yang ditangkapnya itu mampu diwujudkan menjadi sebuah karya yang utuh.
Kelemahan
lain dari beberapa sajak di buku ini adalah penulis masih terjebak dalam aturan
rima sehingga kadang ada kata-kata yang terasa dipaksakan dalam baris tertentu
hanya karena kepentingan untuk membentuk rima yang rempak. Namun, ada pula
sajak yang berhasil memanfaatkan aturan rima tersebut seperti sajak berikut ini
misalnya:
BAHAGIA
WANITA-SENJA
Wahai wanita
yang tak pernah bersama. Senja
kini rinduku mengajak senja berdo'a
kini sayangku menjelma
Menjemput malam yang iba
Demi bahagia aku rela
Terpisah antara jiwa dan raga
Tapi, hati ini tetap bersama. Dalam bahagia
yang tak pernah bersama. Senja
kini rinduku mengajak senja berdo'a
kini sayangku menjelma
Menjemput malam yang iba
Demi bahagia aku rela
Terpisah antara jiwa dan raga
Tapi, hati ini tetap bersama. Dalam bahagia
Cirebon, Juli 2015
Sajak di atas merupakan pernyataan
seorang lelaki kepada kekasihnya yang terpisah jarak. Secara garis besar, sajak
ini merupakan pengembangan (atau pengulangan?) atas idiom “jauh di mata dekat
di hati”. Wanita, senja, berdoa,
menjelma, iba, rela, raga, dan bahagia,
adalah kata-kata yang membentuk rima akhir sajak tersebut. Rima tersebut
dibangun dengan kata-kata yang seluruhnya menyangkut perasaan: wanita yang sering dianggap lebih perasa
dari lelaki, senja yang menunjukkan
proses persiapan peralihan perasaan dari terang menuju gelap, berdoa yang mensyaratkan perasaan
sebagai salah satu unsur pendukung terkabulnya doa tersebut, menjelma yang harus melibatkan perasaan
untuk mengerti sebelum dan sesudah,raga yang
menjadi tempat bermuaranya perasaan, dan iba,
rela, sertabahagia yang
menunjukkan kompleksitas perasaan bahwa sesungguhnya si lelaki iba atas keadaan diri perempuannya,
tetapi ia harus rela agar keduanya
sama-sama bahagia.
Tidak ada salahnya penyair menyusun
sajaknya dengan aturan rima yang ketat selama memang ada makna dan maksud
tertentu. Apa yang kemudian menjadi masalah adalah ketika rima dianggap sebagai
satu-satunya pembentuk keindahan dalam sajak sehingga harus terus diusahakan
meskipun dengan mengorbankan keindahan makna sebuah sajak. Bila rima menyangkut
bentuk, makna senantiasa berkaitan dengan isi. Keduanya harus dipertimbangkan..
Dalam bentuknya yang
singkat, sajak-sajak di buku ini tak menawarkan sudut pandang lain selain sudut
pandang orang pertama, tak menyuguhkan latar atau benda-benda yang menyertai
peristiwa, dan tak menyajikan alur waktu terjadinya peristiwa. Akibatnya,
sajak-sajak di buku ini terbaca sebagai lontaran pernyataan yang kadang tidak
ditemukan dasarnya.
Dari segi isi, sajak-sajak di buku
ini hampir dipenuhi dengan nasihat atau amanat dalam bentuk pertanyaan atau
pernyataan akan sesuatu hal. Misalnya, dua sajak berikut.
SAKIT HATI
Kalau tidak ingin merasakan sakit hati,
maka jauhilah mencintai
Cirebon, April 2015
KEADILAN CINTA
Jangan mencurigai matahari. kalau hanya
rembulan yang engkau cintai
Cirebon, Juni 2015
Mengapa sajak-sajak
dalam buku ini cenderung singkat dan penuh nasihat atau amanat?
Latar belakang
penulisnya menjadi jawaban mengapa gaya sajaknya demikian. Sebagai seorang
santri, ia banyak mengenal kata mutiara dari sejumlah ulama yang menyusun
kitabnya dalam bentuk nadzom. Seringkali sebuah nadzom disusun dengan rima yang
ketat di setiap akhir barisnya. Adapun isi nadzom tersebut banyak pula yang
berupa nasihat. Sebagai contoh dapat dilihat kitab Diwan Al-Imam Syafi’i yang menggunakan kaidahqofiyah yang menunjukkan rima setiap bagian yang dalam kitab
tersebut. Adapun sajak-sajak nasihat dapat dilacak dari beberapa kitab ulama,
salah satunya Ibnu Atho’illah dalam kitabnya Al-Hikam. Dengan demikian, dapat dikatan bahwa buku ini adalah
salah satu usaha penulisnya untuk meneladani ulama-ulama yang pernah dia temui
atau pelajari kitab-kitabnya.
Yogyakarta,
Juli 2017
*Pelaku dan pelajar sastra, penulis novel Alkudus
Catatan: Judul dibuat oleh redaksi