Prolog Buku Kata Menjelma Rasa
oleh Aguk Irawan MN*
Ada
memang bagi sebagian orang, menulis “puisi” hanya seperti sekedar menyusun kata
demi kata diksi dan kalimat-kalimat yang beraroma magis, lalu menjadikannya
bait demi bait dan nampak seperti sedang bermain-main dengan bahasa. Untu
kmakna, entah apa yang ingin disampaikannya. Dari permainan bahasa dan bunyi
itu kemudian, ada sebagian dari mereka yang menemukan makna. Tetapi, pada
sebagian yang lain, puisi adalah latar, atau wasilah bagi pengalaman batin
(spiritual) untuk menuju Tuhan, dengan bahasa lain, puisi adalah suara rohani
yang bergerak dan bergelombang dari samudra batin penyairnnya, bergemuruh dan
menjelma kalimatkalimat, kemudian meruang dan mewaktu.
Dalam
keadaan itu, ada juga penyair yang menggabungkan dua jalan di atas, antara
bermain-main kata-kata dan menampung gemuruh samudra batinnya, sehingga yang berloncatan
adalah mabuk kata-kata, sehingga seringkali puisi sulit terpecahkan maknanya,
atau terselubung, karena yang terjadi adalah kata-kata bak hujan yang larung
kesungai, mengalir deras di luar perhitungan kesadaran. Dalam situasi hanyut
begini, puisi boleh diartikan apa saja, sesuai selera pembacanya.
Puisi-Puisi
karya Jamaluddin Al-athar yang terkumpul dalam Antologi Kata Menjelma Rasa ini,
saya kira banyak yang menempuh jalan tengah itu, antara bermain-main dengan
bahasa dan jalan spiritual, dan bahasa hanya sebagai wasilah. Perbedaan itu
begitu kentara, saat si Penyair terkesan hanya ingin bermain-main dengan
bahasa, maka hasilnya adalah sejumlah puisi klise. Tetapi saat ia larut dalam
pergolakan batinnya, hasilnya adalah kedalaman makna, imaji-imaji indah tentang
waktu, ada, tuhan dan hakikat kehidupan. Setidaknya hal itu yang tercermin
misanya dalam puisi Dhuha-ku:
Saat Dhuha-Ku terkunci
Mataku tak henti-henti mengalirkan sungai penyesalan Saat
Dhuha-Ku pergi hanya jeritan tanpa arti Dhuha-Ku jangan pergi
Aku masih merindu
Cirebon, Juli 2015
Saat
membaca sajak ini, yang terbesit di kepala saya adalah ingatan tentang surat
Ad-Dhuha. Ayat pertama berbunyi wa
ad-Dhuha, demi matahari dhuha. Matahari pagi, yang naik baru sepenggalah.
Ada apa dengan Dhuha? Penyair menyampaikan pengalaman batinnya: //mataku tak
henti-henti mengalirkan penyesalan//. Ya, ada penyesalan di waktu pagi. Padahal
pagi adalah waktu terbaik di sepanjanghari. Waktu mulai segala aktifitas dunia
dimulai. Lihatlah embun, kupu-kupu, burungburung dan warna langit.Semua nampak
indah dan terasa serasi di waktu pagi. Tapi waktu pagi bagi si penyairnya
justru ada sungai penyesalan. Yaitu jeritan dan air mata.
Meski
begitu ada keintiman dari tangisannya, yaitu tangis yang indah, semacam kepedihan
yang selalu dinantikan. Karena puisi itu ditutup dengan kata: // Aku masih
merindu// Sebuah paradoksal bukan? Justru dalam paradoksal itu makna kemudian
bisa diurai, dan kalimat menjadi bersayap dan penuh misteri. Bukankah dengan
ciri-ciri demikian puisi dianggap berhasil? Selain itu, jenis puisi pendek ini,
meski dengan narasi sederhana, diksi dan rimanya berhasil. Sebab lagu (rima)
adalah salah satu kriteria yang membedakan puisi dengan kalimat lain.
Puisi
dhuha ini juga bisa sebagai kritik sosial bagi masyarakat kita yang cenderung
menilai segala sesuatu dengan uang. Lihatlah, waktu dhuha, bukankah ia adalah
waktu yang rutin buat pedagang untuk pergi atau pulang dari pasar. Waktu
birokrat untuk memulai pergi ke kantor dan para petani, nelayan untuk mengarungi
bumi dan ombak samudra. Yang semua itu mengarah pada waktu dhuha yaitu waktu
yang paling mempesona demi harapan baru terhadap uang dan materi. Tetapi bagi
penyair, ia justru waktu menjerit dan mengalirkan sungai air mata menuju sang
Kekasih yang selalu dirindukannya.
Tentu
saja, siapaun boleh berdebat mengenai aspek positif dan negatif dari karya yang
dicontohkan di atas. Karena orang boleh berdebat, bukankah Tuhan menciptakan
pagi agar manusia bersemangat mencari karunia Tuhan di Bumi dan Malam untuk
istirah. Namun, sejarah telah memihak bahwa karya-karya sufi, justru
menarasikan waktu malam yang selayaknya buat istirah itu justru untuk aktifitas
“bercembu” dengan Tuhan. Demikian hukum paradoksal dalam puisi itu? Ia masuk
dimensi-dimensi yang partikularitasnya disebabkan oleh kekhasan visi subjektif
sastrawan, atau berpihaknya dia kepada hati nurani. Jenis puisi inilah yang
menyebakan nama Chairil Anwar setiap saat sering dikenang oleh pembaca di
negeri ini. Salah satu puisi tersebut adalah:
Doa
Kepada pemeluk teguh
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namaMu
Biar susah sungguh Mengingat
Kaupenuh seluruh cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
Tuhanku aku hilang bentuk remuk
Tuhanku
aku mengembara di negeri asing
Tuhanku di pintuMu aku mengetuk Aku tidak bisa berpaling
13 November 1943
Ungkapan
Chairil Anwar dalam sajak “Doa” ini sangat subjektif, tetapi siapapun
manusianya tatkala mengalami gemeruh ombak di dadanya, akan bergetarhatinya
membaca kalimat-kalimat di atas. Secara eksplisit Chairil juga menyatakan
jeritan batinnya, karena keterasingannya, juga karena eksistensi dirinya yang
ia sebut hilang bentuk, remuk. Puisi yang dihasilkan seperti ini, saya yakin
bukan hendak bermain-main dengan bahasa!
Melaikan cermin dari jalan panjang gemuruh batin dan akan tergantung
kepada tingkat kematangan pandangan hidup, pengalaman hidup, dan kecenderungan
penyair dalam menyikapi hal-hal yang misteri dalam hidup ini. Sebagai proses
pengalaman hidup apa yang sudah tersajikan dalam antologi ini juga proses
menuju kematangan makna itu, yang kadang berhasil kadang belum. Semoga kedepan
puisi-puisi Jamaluddin kian matang dan lahir dari kejernihan mata batinnya.
Sehingga semua pembaca bisa memetik manfaatnya dari pengalaman itu.
*Penulis Novel Peci miring dan sang Penakluk badai
Yogyakarta, 6 Oktober 2017.