Pabengkon Sastra: Pulang ke Rumah Sendiri
KAWACA.OM - Penyair yang juga editor, Sofyan RH. Zaid mengatakan bahwa
"Ketika suatu daerah telah berganti wajah, anak-anak cucu kita masih bisa
mengenalinya lewat puisi-puisi tentang lokalitas daerah tersebut."
Apa yang disampaikan oleh Sofyan ini kemudian menjadi inspirasi dan
mengkristal menjadi tema "Puisi dan Lokalitas", yang diangkat dalam
tajuk acara "Halal Bihalal Pabengkon Sastra", Batuputih, Sumenep (24/06).
Acara ini diselenggarakan sebagai salah satu tindakan nyata, selain untuk
membangun dan mengembangkan kultur literasi di Sumenep, khususnya di Batuputih.
Selebihnya untuk merekam, merawat dan melestarikan 'identitas diri' yang sejak
lampau diwariskan nenek moyang dan mewarisaknnya kembali kepada anak cucu di
masa mendatang. Betapa pun zaman berganti wajah begitu cepat dan betapa pun
jauhnya mengembara, sebagai wujud mencintai tanah kelahiran kita harus tetap
mengingat arah jalan pulang. Karena tempat kepulangan paling indah adalah rumah
kita sendiri.
Acara tersebut yang dihadiri oleh Sofyan RH. Zaid sebagai pembicara. Sesepuh
Pabengkon Sastra, H. Helmi Hartono dalam sambutannya menyampaikan,
"lokalitas dalam tanda kutip menjadi penting supaya kita tidak kehilangan
jati diri di tengah arus globalisasi dan modernitas yang semakin tak
berbatas". Beliau juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Sofyan RH.
Zaid yang telah berkenan hadir dan berbagi ilmu kepada para 'penghuni'
Pabengkon Sastra.
Perlu diketahui, 'Pabengkon sastra' sendiri adalah manifestasi dari
'komunikasi baik' yang dibangun oleh para pemuda, pelajar, santri, penulis,
pegiat seni, pencinta budaya dan tokoh masyarakat. Komunikasi yang terbangun
dengan baik itu akhirnya pada tanggal 22 Oktober 2017 bertepatan dengan hari
santri nasional, menghasilkan sebuah kemufakatan tentang pendirian komunitas sastra
yang diberi nama 'Pabengkon Sastra'.
Lahirnya Pabengkon Sastra dilatarbelakangi oleh kegelisahan bersama yang
dirasakan oleh sebagian kaum muda (khususnya kawan-kawan muda di Pedalaman
Batuputih, Sumenep) yang tidak memilki ruang gerak, berproses kreatif, menempa
diri dan berkarya. Sehingga sebagian mereka menginginkan adanya sebuah ruang
atau wadah untuk belajar, diskusi, bergiat bersama, guna mengaktualisasikan
kreativitas dan bakat yang dimilikinya, serta mengeksplor 'lokalitas' Batuputih
ke ranah publik sastra Indonesia. (Sufyan Abi Zet)