Perihal Rindu, Kenangan, dan Kehilangan
oleh Nissa Rengganis
'di sini, rantau yang beringas
kusiasati seperti mengunyah bakwan panas’
(Di Hadapan Secangkir Kopi—Miryam)
Astrajingga
Asmarubrata, atau yang dikenal dengan nama Edoy, ialah seorang penyair
petualang yang singgah dari alamat ke alamat lainnya. Sejak remaja ia merantau
ke Jakarta. Membiarkan dirinya, tubuhnya, berjubel di desakan KRL, berhimpit di
bis kota, bermacetan di jalanan, juga menyepi di pinggiran warung kopi.
Saya
mengenalnya melalui beberapa pertemuan sastra di Jakarta. Ia menghidupkan malam
puisi Jakarta. Kota yang dihuni banyak kaum urban yang terus berkejaran dengan
waktu. Kita tahu, waktu berjalan terus, tak ada jeda. Kita berjalan atau
berlari di lorong batas waktu yang tersedia, tak lebih dan tak kurang. Kita tak
punya kendali atas waktu yang begitu laju berlalu, kecuali memanfaatkan dengan
penuh ketergesaan. Edoy memilih jalan puisi untuk membangun monumen kenangan. Edoy
menghadirkan makna dengan mencatat sehimpun peristiwa yang melulu cepat
berlalu.
93
puisi yang tersaji dalam Miryam dan bayangan dari yang berlalu menyeret kita
pada kebahagiaan, rindu, cinta, kehilangan dan keputusasaan. Ia cemas dengan
segala yang lalu pergi. Menjadi kaum urban, pergi meninggalkan kampung halaman,
tentulah menjadi sebab ia menulis beberapa puisi perihal rindu, kenangan dan
kehilangan.
mungkin sudah saatnya saya pulang:
pulas dan tenang. Merawat sawah warisan
Ayah, sebelum dijual ke tuan tanah
Oleh saudara tertua untuk ongkos ibu ke Mekkah
Kiranya beliau juga sudah lama menunggu:
Membayangkan saya datang (Sudah Saatnya: 16)
Puisi
Sudah Saatnya menyeret kita pada sebuah kepasrahan penyair pada segala petualangannya.
Ia harus pulang, menemui segala kemungkinan. Pulang tentu saja bukan perihal
perjalanan dari Jakarta ke Cirebon. Tapi lebih dari itu. Makna pulang bagi si
anak rantau artinya kembali pada kenangan-kenangan silam. Menjumpai lagi
kerinduan yang lama tertanam. Sekaligus merelakan segala kehilangan.
Apa
itu kenangan? Buku antologi puisi Miryam kerap membawa kita pada banyak nama,
alamat, juga persinggahan dari sederet peristiwa. Sebagai anak rantau yang
sejak lama meninggalkan kampung halaman, saya mendengar suara-suara rindu
sekaligus kehilangan. Puisi ‘Situ Patok’, ‘Bukit Kapur Palimanan’, ‘Menjelang
Senja Kejawanan’, menjadi suara nurani penyair dimana melihat kota kelahirannya
kini sekadar dongeng purba.
‘bukit-bukit kapur adalah arwah leluhur
menyimpan takzim dan takjub
siapa pun yang memandangnya
tetapi jelujur mesin-mesin tambang itu
tersungkur untuk mengeruk dan
mengangkutnya ke pabrik-pabrik
arwah leluhur pun dicetak menjadi keramik
(Bukit Kapur Palimanan)
Ada
kenangan semasa kecil perihal kota kelahirannya yang kini tergerus oleh zaman.
Perubahan yang kian cepat membawa perenungan pada penyair. Kemana
dongeng-domngeng purba semasa kanaknya kini pergi? Selain kenangan pada
kota kelahirannya, Edoy juga menulis perihal kenangan yang berjejal dari
tempat-tempat yang baru ia singgahi.
Seperti Kenangan di Kemang :
Di sebuah kafe di Kemang, suatu malam:
Kupesan kenangan yang pernah kita nikmati
Dalam alunan Jazz kuhayati apla sosokmu
Turut bernyanyi walau liriknya tak aku mengerti
Denting gelas dan wajah-wajah cemas
Pengunjung lain antara mabuk dan terharu
Bikin kita yakin bahwa hidup yang lekas ini
Terasa lambat jika dilewati dengan bersedih
Ciuman-ciuman kita yang dulu malu-malu
Membangun masygul dari desah dan lenguhmu
Pertengkaran kecil setelahnya menunggu kita
Berangkulan menyusuri gemerlap kota
..........
Selain
suara-suara rindu, saya juga menemukan suara-suara harapan, kecemasan, dan
pemberontakan. Puisi ‘Jalan Penyair’, ‘Soneta: Jendela dan Penyair Kita’, ‘Song
of Solitude’, ‘Song of Solitude 2’, ‘Tulisan pada Nisan Sebuah Jejak’ adalah
suara-suara harapan sekaligus kecemasan penyair. Ia barangkali sadar, betapa
ironi penyair yang memeras kata-kata sebagai perekam peristiwa. Ia menghibur
dirinya, benarkah masih pantas kita menulis puisi di tengah masyarakat tidak
membutuhkannya?
‘pergilah sajakku, pergilah
biarkan sepi itu sendiri
menanti gairahku mendingin
seperti angin dini hari’
(Tulisan Pada Nisan, Sebuah Jejak)
Si trotoar yang sepi dari hingar bingar
bayangan kita saling mengejar
amsal yang singkat
tentang rintik air mata’
(Di Trotorar yang Sepi, Sebuah Jejak)
Saya
kemudian sadar, pada segala pengembaraan penyair, ada saatnya kita jengah pada
segala yang kita temui. Ini pula yang terkadang membuat kita pesimis dengan
puisi-puisi kita sendiri. Ini yang saya temukan dalam suara puisi-puisi Edoy.
Ia kerap putus asa dengan dirinya juga puisinya. Dari segala suara pasrah dan
lirih itu, diam-diam ia memilih menepi dari ingar bingarnya. Menuju puisi.
Puisi
adalah ruang berbagi sekaligus menepi dari segala peristiwa yang kerap datang
dan pergi. Edoy ingin memeluk waktu, sebab ia merasa terus dikejar. Bukankah
kita tengah hidup dalam dunia di mana batas tak lagi mengenal tapal. Rangkaian
peristiwa yang berlalu-lalang dapat seketika mengejar lalu tertinggal. Edoy
mengajari pada kita, bahwa usia kata itu perlu dirayakan. Ini mengingatkan pada
kita, hari ini orang-orang sering berada di tengah-tengah peristiwa tapi tak
sempat memetik makna dari apa yang terjadi.
Dari
Miryam dan Edoy kita percaya, puisi menjadi mesin pengingat dalam gegap gempita
ini. Paling tidak pengingat atas perayaan kenangannya sendiri. (***)
______
Nissa Rengganis, lahir di Cirebon 8 September 1988.
Menyelesaikan studi Jurusan Ilmu Politik di Universitas Negeri Jenderal
Soedirman, Purwokerto. Menyelesaikan pascasarjana Hubungan Internasional di
Universitas Gajah Mada, konsentrasi Global Humanitarian Diplomacy. Buku
puisinya yang berjudul Manuskrip Sepi masuk 5 buku pilhan terbaik Hari Puisi
Indonesia 2015.