Metafora Sajak-Sajak Heru Antoni dalam Kumpulan Puisi Anak-Anak Air
Karya Yeni Sulistiyani
#KAWACA.COM - Puisi sebagai bentuk
karya sastra dari hasil ungkapan dan perasaan penyair dengan bahasa yang
terikat irama, matra, rima, penyusunan lirik dan bait, serta penuh makna saat
ini begitu disukai oleh berbagai strata umur dan strata sosial. Puisi tidak
memandang di mana dia mesti berada karena puisi terlahir dari jiwa-jiwa sunyi
penyair. Puisi mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan
disusun dengan mengkonsentrasikan kekuatan bahasa dengan struktur fisik dan
struktur batinnya. Puisi juga diciptakan berdasarkan aliran kehalusan batin
penyair, kepekaannya terhadap fenomena alam, peristiwa di lingkungan sekitar
hidupnya, kejadian-kejadian penting dalam hidup bahkan kerumpilan-kerumpilan
kehidupan penyair sering kali menjadi stimulus terkuat dalam berkarya.
Menuliskan pengalaman batinnya menjadi
sebuah perjalanan batin yang begitu mengasyikkan bagi penyair. Melalui menulis
puisi penyair dapat menumpahkan gejolak hatinya dengan sangat rapi ke dalam
tulisan karena mengemasnya dengan bahasa yang halus, pemilihan kata yang baik,
dan menggunakan gaya bahasa yang dapat memperidah dan memperdalam makna kata
yang ditulisnya.
Puisi mengutamakan bunyi, bentuk dan
juga makna yang ingin disampaikan untuk membentuk keindahan puisi juga
membentuk kedalaman makna. Untuk itu pulalah dibutuhkan pemahaman tentang
pemilihan diksi secara tepat untuk dapat mendukung keindahan dan kedalaman
makna yang tertuang di dalam puisi yang dibuat. Salah satu barometer puisi baik
jika terdapat makna yang mendalam dengan memadatkan segala unsur bahasa. Puisi
merupakan seni yang tertulis menggunakan bahasa sebagai kualitas estetiknya
(keindahan).
Penggunaan gaya bahasa dalam puisi
dimaksudkan untuk menghidupkan atau meningkatkan efek dan konotasi tertentu
dengan bahasa figuratif yang menyebabkan puisi menjadi prismatis, artinya
memancarkan banyak makna atau kaya makna.
Secara etimologis, terminologi metafora
dibentuk melalui perpaduan dua kata Yunani —―meta‖ (di atas) dan ―pherein‖
(mengalihkan/memindahkan). Di dalam bahasa Yunani Modern, kata metafora juga
bermakna―transfer‖ atau―transpor‖. Dengan demikian, metafora adalah pengalihan
citra, makna, atau kualitas sebuah ungkapan kepada suatu ungkapan lain (Classe:
2000: 941). Pengalihan tersebut dilakukan dengan cara merujuk suatu konsep
kepada suatu konsep lain untuk mengisyaratkan kesamaan, analogi atau hubungan
kedua konsep tersebut. Sebagai contoh, dalam metafora ―Pelanggan adalah raja,‖ berbagai citra
atau kualitas seorang raja, seperti kekuasaan, pengaruh, posisi, dan sebagainya
dipindahkan kepada pelanggan. Ungkapan Shakespeare yang sangat terkenal ―All
the world's a stage‖ adalah contoh metafora yang sering dikutip. Metafora ini
mengindikasikan bahwa ―the world‖ dan ―stage‖ adalah dua hal
yang analog.
Menurut Aristoteles, metafora merupakan
sarana berpikir yang sangat efektif untuk memahami suatu konsep abstrak, yang
dilakukan dengan cara memperluas makna konsep tersebut dengan cara
membandingkannya dengan suatu konsep lain yang sudah dipahami. Melalui
perbandingan itu terjadi pemindahan makna dari konsep yang sudah dipahami
kepada konsep abstrak. Batasan ini biasanya diungkapkan dengan rumus ― A adalah
B dalam konteks X, Y, Z …‖ Oleh Aristoteles, ungkapan-ungkapan linguistik yang dihasilkan dari
metafora sebagai sarana berpikir itu disebut sebagai stilistika.
Menurut Ortony (1993: 3), bagi
Aristoteles, fungsi utama metafora adalah sebagai stilistika atau ornamen
retoris, khususnya majas. Danesi (2004: 118) menambahkan bahwa majas tersebut
digunakan untuk memperindah ungkapan-ungkapan dalam puisi. Dengan kata lain,
Aristoteles lebih mementingkan metafora sebagai ekspresi linguistik, bukan
sebagai konsep berpikir yang menghasilkan ekspresi tersebut. Sejak dicanangkan
oleh Aristoteles, metafora menjadi salah satu bidang kajian utama bidang
filsafat, linguistik dan kritik sastra di Barat. Namun, menurut Punther (2007:
10-12), penekanan pada fungsi metafora sebagai ornamen retoris mengakibatkan
kajian-kajian itu hanya terfokus padau upaya-upaya untuk membedakan bahasa
harfiah dan bahasa figuratif.
Sebagai contoh, dalam metafora ―Engkau
adalah melati kehidupanku‖, karakteristik melati ‘sebuah bunga yang mempunyai keharuman
bunganya namun memiliki kelopak mahkota yang sederhana berwarna putih,
kesederhanaan yang dimilikinya bukan hanya pada kelopaknya namun tumbuhnya di
alam liar rimbun di antara semak belukar‘ selain itu melati juga ‘perlambang
kesucian dan keabadian dari warna putih yang dimiliki bunganya juga keharuman
yang tahan lama, dari mulai mekar, layu hingga kering pun melati tetap harum’
dipindahkan kepada kehidupan seseorang yaitu aku‘. Pemindahan ini membuat
―seseorang‖ menjadi ―pemberi keharuman/kebahagiaan dengan
kesederhanaan bentuk/rupanya, kesucian diri, dan keabadian dari cinta yang
dimilikinya dari masa permulaan hingga usia menua lalu tiada‖ kepada kehidupan
seseorang/aku.
Akibatnya, selama hampir 16 abad
metafora tidak dianggap sebagai bagian integral diskursus filsafat dan bahasa
sehari-hari, dan pengertian metafora sebagai perbandingan antara sebuah konsep
yang asing (topik) dengan suatu konsep lain yang sudah dipahami (citra) yang
menghasilkan kemiripan (titik kesamaan) di antara keduanya, yang kemudian
dipindahkan kepada topik sehingga pemahaman terhadapnya meningkat juga tidak
mengalami perubahan secara substantif. Teori perbandingan ini didukung oleh
Larson (1998: 271-271) yang menekankan bahwa, seperti simile, metafora
merupakan ungkapan figuratif yang didasarkan pada perbandingan. Dia menjelaskan
bahwa metafora dan simile merupakan bentuk-bentuk gramatikal yang mewakili dua
proposisi dalam struktur semantik. Sebuah proposisi terdiri sebuah topik dan
penjelasan mengenai topik itu. Dalam ungkapan―Engkau adalah melati kehidupanku‖, ―Engkau‖ merupakan topik dan ―adalah melati kehidupanku‖ merupakan
penjelasan. Hubungan antara kedua proposisi tersebut merupakan sebuah
perbandingan yang terdapat dalam bagian penjelasan. Penjelasan tersebut
mengungkapkan kemiripan atau menunjukkan titik kesamaan tertentu. Dalam contoh
di atas, bagian penjelasan mengungkapkan kemiripan antara ―Engkau‖dan ―melati‖ sebagai pemberi keharuman kebahagiaan‘ dan ‗keabadian‘.
Metafora menjadi sesuatu yang istimewa
digunakan oleh orang-orang berbakat sebagai ornamen retoris. Metafora tidak
hanya digunakan secara khusus dalam karya sastra. Metafora juga membentuk
proses kognitif yang dilakukan untuk memahami suatu gagasan yang asing atau
bahasa yang digunakan untuk meyampaikan buah pikiran baru (vehicle). Melalui
interaksi gagasan tersebut dengan gagasan lain diharapkan maknanya secara
harfiah dapat lebih dikenal, dengan maksud untuk menyampaikan tujuan, arah,
atau maksud tertentu (tenor), bukan melalui pemindahan makna. Gagasan baru yang
dihasilkan melalui interaksi vehicle dan tenor tersebut menghasilkan pengajaran
yang mendalam terhadap sesuatu ‘buah pikiran’ (grounded).
Pilihan citra oleh Ulmann (1977) dan
Parera (2004:119) dibedakan atas empat kelompok, yakni (1) metafora bercitra
antropomorfik, (2) metafora bercitra hewan, (3) metafora bercitra abstrak ke
konkret, (4) metafora bercitra sinestesia atau pertukaran tanggapan/persepsi
indra. Metafora bercitra antropomorfik merupakan satu gejala semesta. Para
pemakai bahasa ingin membandingkan kemiripan pengalaman dengan apa yang
terdapat pada dirinya atau tubuh mereka sendiri. Metafora antropomorfik dalam
banyak bahasa dapat dicontohkan dengan mulut botol, jantung kota, bahu jalan,
dan lain-lain.
Metafora bercitra hewan, biasanya
digunakan oleh pemakai bahasa untuk menggambarkan satu kondisi atau kenyataan
di alam sesuai pengalaman pemakai bahasa. Metafora dengan unsur binatang
cenderung dikenakan pada tanaman, misalnya kumis kucing, lidah buaya, kuping
gajah. Metafora dengan unsur binatang juga dikenakan pada manusia dengan citra
humor, ironi, peyoratif, atau citra konotasi yang luar biasa, misalnya, fable
dalam Fabel MMM yang dikutip oleh Parera terdapat nama-nama seperti Mr. Badak
bin Badak, Profesor Keledai, dan terdapat pula Majelis Pemerintah Rimba (MPR),
dan lain-lain. Dalam metafora bercitra hewan diungkapkan oleh Parera (2004:120)
bahwa manusia disamakan dengan sejumlah tak terbatas binatang misalnya dengan
anjing, babi, kerbau, singa, buaya, dst sehingga dalam bahasa Indonesia kita
mengenal peribahasa “Seperti kerbau dicocok hidung”, ungkapan “buaya darat”,
dan ungkapan makian ”anjing, lu”, dan seterusnya.
Metafora bercitra abstrak ke konkret,
adalah mengalihkan ungkapan-ungkapan yang abstrak ke ungkapan yang lebih
konkret. Seringkali pengalihan ungkapan itu masih bersifat transparan tetapi
dalam beberapa kasus penelusuran etimologi perlu dipertimbangkan untuk memenuhi
metafora tertentu. Dicontohkan oleh Parera, secepat kilat ‘satu kecepatan yang
luar biasa’, moncong senjata ‘ujung senjata’, dan lain-lain.
Metafora bercitra sinestesia, merupakan
salah satu tipe metafora berdasarkan pengalihan indra, pengalihan dari satu
indra ke indra yang lain. Dalam ungkapan sehari-hari orang sering mendengar
ungkapan “enak didengar” untuk musik walaupun makna enak selalu dikatkan dengan
indra rasa; “sedap dipandang mata” merupakan pengalihan dari indra rasa ke indra
lihat. Dengan perkataan lain metafora juga merupakan analogi yang membandingkan
dua hal secara langsung.
Sajak-sajak Heru Antoni dikenal banyak
mengandung metafora. Heru Antoni adalah seorang penyair berasal dari Lampung.
Ketekunannya dalam berkarya secara produktif dan kreatif telah menghasilkan
karya-karya terbaik dan dapat dinikmati dalam beberapa antologi puisi bersama,
yaitu Seribu Haiku Indonesia, Kitab Karmina, Untuk Jantung Perempuan, Cemara
Cinta, Palagan Sastra, Setelah 57 Tahun di Karet, Matahari Cinta Samudera Kata
(Hari Puisi), beberapa jurnal sastra FSB, Buletin KANAL, dan beberapa media
cetak, serta dalam antologi tunggal berjudul Anak-Anak Air yang diterbitkan
oleh Teras Budaya.
Di dalam Kumpulan Puisi Anak-Anak Air,
Heru Antoni banyak menulis puisi tentang dirinya sendiri bahkan pada saat
antologi puisi tunggal yang pertama ini diluncurkan ada yang meneleaahnya
sebagai puisi-puisi berkabungnya. Di samping itu, tema-tema kehidupan,
lingkukan dan relijius juga mewarnai Anak-Anak Air Ini. Di sinilah akhirnya
banyak bermunculan metafora-metafora terlahir dalam sajak-sajaknya.
Metafora-metafora yang dilahirkan Heru Antoni menjadikan puisi-puisinya tampak
indah dan bernas. Keindahan tersebut terlahir karena pemahaman-pemahaman
mendasarnya terhadap fenomena yang terjadi di dalam kehidupan sehari-hari
dianalogikan dengan hal lain yang terdapat di dunia ini dengan mempersamakan
sifat-sifat benda atau karakteristik hal yang ditunjuk sebagai pembanding
secara langsung.
Bait pertama dalam puisi Ibu mengandung
metafora bercitra antropomorfik sebagai bentuk suatu gejala semesta. Metafora
tersebut terdapat pada bait pertama pada larik kedua, yaitu
Aku tak sanggup menulismu
Ketika aksara menjadi batu
Manasbihkan kasihmu
Ke setiap bagian tubuhku
Si Aku lirik menyatakan
ketidaksanggupan menulis tentang sosok ibu pada saat aksara/huruf telah menjadi
batu. Hal ini dimaksudkan bahwa ketidaksanggupan Si Aku lirik menuliskan
tentang ibu pada waktu huruf-huruf/aksara menjadi batu.
Batu merupakan sebuah bongkahan, benda
mati yang keras, sedikit menyerap air tahan terhadap keausan, dan susah untuk
dihancurkan. Kerasnya batu ini biasa dianalogikan dengan sifat manusia yang
terkadang masa bodoh dengan sesuatu, tidak mau mendengarkan siapa pun, atau
susah berubah dengan keadaan apapun. Batu memiliki sifat yang keras, tidak
mudah dipecahkan dengan kelembutan namun harus dipecahkan oleh benda yang lebih
keras dibandingkan batu. Hal ini dirasakan adanya sebuah syarat pada saat
menulis tentang ibu aksara haruslah menjadi sesuatu yang lembut, halus, atau
lunak.
Penggambaran ini mengandung maksud
bahwa ketika menulis tentang ibu haruslah dalam keadaan atau menggunakan hati
yang lembut, halus, dan lunak. Berbicara tentang ibu adalah berbicara tentang
kelembutan, keteduhan, kehangatan, kehalusan rasa yang terlahir dari seorang
ibu dan sikap yang harus ditunjukkan bila berhadapan dengan ibu. Hal ini
selaras dengan latar belakang pemahaman religiusitas Heru Antoni tentang
penghormatan dan penghargaan terhadap ibu teramat tinggi karena dalam
keyakinannya syurga ada di telapak kaki ibu.
Adab berbicara dalam pandangan ideologi
Si Aku lirik selain berbicara jujur dan benar adalah berbicara dengan anggun
dan lembut serta menghindari berbicara yang buruk. Pengertian berbicara anggun
dan lembut ini erat kaitannya dengan siapa kita berbicara. Hal ini senada
dengan apa yang telah diperintahkan Allah untuk tidak mengatakan kalimat “ah”
kepada kedua orangtuanya (ibu) di dalam surat Al-Isra ayat 23 yang artinya “Dan
Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan
hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah
seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam
pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya
perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka
perkataan yang mulia.”
Pemuliaan penyair terhadap ibunya
begitu tinggi sehingga kata-kata terbaik, lembut dan santunlah yang paling
pantas untuk dia ucapkan bahkan juga dalam menuliskan aksara dalam puisi
tentang ibu harus dengan hati yang lembut dan halus meskipun kerumpilan
kerumpilan hidup begitu keras seperti batu.
Heru Antoni juga menggunakan kata batu
sebagai metafora di dalam sajaknya yang lain dengan judul Tubuh Angin.
seperti juga angin
dunia tak sebesar bijimata
menembus ruangruang ke paling dalam
kepala dan hati batu
hutan-hutan hanya waktu dalam tubuh
angin menjelma badai
seperti juga angin
dapat merobohkan batang-batang pohon
di akar yang rapuh
Pada bait ke-2 larik ke-1 penyair
menggunakan kata batu untuk dipersandingkan dengan kata kepala dan hati
sehingga menimbulkan makna baru. Makna konotasi dari kepala batu yaitu kepala
yang sifatnya sama kerasnya seperti sifat-sifat batu keras dan susah untuk
dipecahkan. Penggambaran perwatakan kepala batu ini dimaksudkan untuk
menganalogikan atau mempersamakan antara kepala yang keras dalam makna
konotatif seperti kerasnya batu. Kepala batu ini dimaknai bahwa seseorang
memiliki perwatakan yang keras, sulit untuk diajak kompromi, sulit untuk ditundukkan,
atau dimasuki oleh pemikiran lain. Seseorang dengan sifat kepala batu memiliki
kecenderungan sulit untuk menerima masukan dari orang lain dan berusaha selalu
teguh dengan keyakinan dan kebenarannya sendiri juga terkadang menjadi tidak
peduli terhadap kepentingan orang lain/orang banyak.
Sedangkan makna dari hati batu ini
sebagai metafora yang menganalogikan antara hati yang keras dan tidak mudah
dilunakkan dengan hati batu. Hati yang memiliki sifat-sifat sama seperti batu,
yaitu kasar, tidak mudah aus, tidak mudah diresapi air dan susah untuk
dipecahkan.
Di dalam puisi ini disampaikan bahwa
kerasnya kepala dan hati seseorang yang digambarkan penyair mengakibatkan
adanya hutan-hutan yang ada hanya menunggu waktu keadaannya, setelahnya
sebagaimana angin yang menempati ruang dan memiliki masa sebagai benda yang
berbentuk dan membentuk tubuh sendiri maka bisa menjadi badai yang dapat
merobohkan batang-batang pohon semua itu disebabkan oleh kerasnya kepala dan
hati manusia.
Metafora kepala batu juga digunakan
oleh penyair di dalam puisi lainnya yang berjudul Kepala Batu.
.... hari sudah siang sebentar lagi
senja lalu malam waktu mengejarnya cepat sekali!
lantas bagaimana kau menikmatinya?
bukankah waktu tak pernah berhenti dan kau tak lagi memiliki waktu untuk
kembali bernapas dalam kepala batumu
Sepertinya penulis merasakan adanya
fenomena kehidupan yang semakin menyimpang dari garis kehidupan yang
semestinya. Lahirnya kata batu beberapa kali di dalam sajaknya menjadi metafora
yang dipilih bukan tanpa maksud.
Kepala sebagai tempat terbaik untuk
berpikir manusia karena di sanalah otak manusia yang begitu lembut dengan
sistem jaringan otak sebagai pusat syaraf yang sangat lunak berguna untuk
mengendalikan seluruh fungsi tubuh. Dengan perkataan lain, otak menjadi organ
tubuh yang bertanggung jawab untuk melakukan pengaturan terhadap pemikiran,
seluruh tubuh manusia dengan cara mengkoordinir dan mengatur perilaku, gerak,
dan fungsi tubuh seperti detak jantung, keseimbangan suhu dan cairan pada
tubuh, serta tekanan darah.
Otak terdiri dari otak besar dan otak
kecil. Di otak besar proses semua kegiatan intelektual berjalan, yaitu
kecerdasan, kepribadian, berpikir, mengingat, membayangkan, merencanakan
sesuatu, memahami bahasa dan masih banyak lagi. Di otak kecil memiliki
kemampuan untuk mengontrol gerak serta keseimbangan tubuh seperti mengatur
posisi tubuh dan meningkatkan sistem motorik.
Otak di dalam kepala dilindungi oleh
tempurung merupakan organ yang paling penting sekaligus organ yang paling
rumit. Dikatakan paling penting karena apabila sedetik saja otak tidak bekerja,
maka tubuh akan mati dikarenakan organ tubuh yang lain juga berhenti bekerja.
Metafora tubuh adalah balon terdapat
pada puisi Heru Antoni dengan judul Tubuh adalah Balon pada antologi ini di
halaman 54.
TUBUH ADALAH BALON
balonbalon lepas
mencari sudut-sudut udara
pada langit berwarna pelangi
sedang daun-daun terjatuh
mencari tempat istirah
hanya memandang
di balik rumputan yang terinjak
: dan menulis
bahwa raga hanya balon berisi udara
bahwa rumah adalah tanah tempat kembali
Metafora —tubuh adalah balon— tubuh‖ merupakan topik
dan ―adalah balon‖ merupakan penjelasan. Hubungan antara kedua
proposisi tersebut merupakan sebuah perbandingan yang terdapat dalam bagian
penjelasan. Penjelasan tersebut mengungkapkan kemiripan atau menunjukkan titik
kesamaan tertentu. Dalam contoh di atas, bagian penjelasan mengungkapkan kemiripan
antara ―tubuh‖dan ―balon‖ adanya eksistensinya ada karena adanya udara
yang mengisisnya, sebagai pemberi kehidupan. Ada udara maka ia ada tanpa udara
maka ia hanyalah karet lepek‘. Demikian halnya manusia ada/hidup karena
udara yang dihirupnya masuk ke dalam paru-paru manusia melalui hidung menuju
paru-paru kemudian dialirkan ke seluruh arteri aliran darah di dalam tubuh.
Sebagaimana tubuh terlalu banyak udara yang masuk akan mengalami sesak balon
pun terlalu banyak udara yang mengisinya melebihi kekuatan karet/tubuh maka
pecah/meledaklah balon tersebut, tubuh juga terlalu banyak/berlebihan terisi
udara atau makanan tubuh pun tidak mampu untuk menampungnya.
Dari metafora ini terbersitlah pesan
agar tubuh sebaiknya menghirup udara secukupnya saja agar tidak sesak agar
tidak meledak tubuh tersebut. Dalam hal ini juga dapat mengandung makna
konotasi bahwa tubuh hendaklah mengisi tubuhnya untk hidupnya secukupnya saja
misalnya untuk konsumsi yang diperlukan tubuh. Jika berlebihan yang dikonsumsi
maka semua itu justru dapat menimbulkan penyakit dan membahayakan bagi tubuh
bahkan dapat mengakibatkan kematian. Terlalu banyak makan dan minum maka bisa
muntah, terlalu banyak makan makanan yang mengandung lemak maka kolesterol
dalam tubuh menjadi berlebih dan sakitlah tubuh itu. Terlalu banyak
mengkonsumsi gula akibatnya diabetes melitus.
Keserakahan dan kerasukan hanya akan
membahayakan hidup kita sendiri, membawa kehancuran dan kematian bagi
eksistensi tubuh menjadi tiada. Tubuh setelah kematian hanya berakhir terkubur
di dalam tanah sebagai tempat kembali.
bahwa rumah adalah tanah tempat kembali.
Ketika tubuh mengalami kelainan
gangguan kesehatan disebabkan semua serba berlebih maka dibawalah ke rumah
sakit untuk diobati. Ketika obat tidak mampu lagi digunakan untuk mengobati
agar tubuh kembali normal maka kematianlah pada akhirnya. Setelah kematian
tubuh dibawa kembali pulang ke rumah namun hanya sementara sebagai tempat
persemayaman. Dan tempat terakhir untuk kembali adalah tanah. Rumah adalah
tanah. Rumah adalah tempat tinggal. Tempat tinggal terakhir adalah tanah. Tanah
adalah tempat dikuburkannya tubuh manusia. Tidak ada yang dibawa kembali
meskipun tubuh memiliki harta kekayaan melimpah ruah namun yang dibawa sampai
mati hanyalah amal perbuatan, ilmu yang bermanfaat semasa hidupnya hingga
setelah kematiannya terus mengalir, dan doa-doa dari anak-anak yang
ditinggalkan tubuh tersebut yang menjadi pelita hidup sesudah matinya.
Lampung, 7 Juni 2017
DAFTAR PUSTAKA
Abrams, M.H. 1981. A Glossary of
Literary Terms. New York: Holt Rinehart and
Winston. Alm-Arvius, Christina. 2003. Figures of Speech. Sweden:
Studentlitteratur, Lund Antoni, Heru. 2016. Anak-Anak Air. Jakarta: Teras
Budaya. Chaer, Abdul. 1989. Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Classe, Oliver (Ed.). Encyclopedia of Literary Translation into English.
(Vol.2). (London: Fitzroy Dearborn
Publishers, 2000). Danesi, Marcel.Messages, Signs, and Meanings: A Basic
Textbook inSemiotics and Communication
Theory (3rd Ed.) (Toronto: Canadian Scholars‘ Press Inc., 2004)Davidson, Donald. "What Metaphors
Mean,"Critical Inquiry 5 (1),31-47.(Chicago: The University of Chicago
Press, 1978). Dickins, James. ―Two Models for Metaphor Translation‖. Target, 17 (2),
2005 http://www.e-li.orglmain/pdf/pdf-269.pdf. diunduh tanggal 23 Januari 2017
jam 11.00 WIB.
Keraf, Gorys.1994. Diksi dan Gaya
Bahasa.Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Lyons, John.1977. Semantics.Volume I.
Melbourne: Cambridge University Press.
Palmer.1981. Semantics.
Sydney:Cambridge University Press.
Parera, Djos Daniel. 2004. Teori
Semantik. Jakarta: Erlangga.
Pradopo, Rahmat Djoko. 1994. Stilistika
dalam Buletin Humaniora No.1 tahun
1994.Yogyakarta: Fakultas Sastra UGM.
Sudaryat, Yayat.2009.Makna dalam
Wacana. Bandung: CV Yrama Widya.
Ullmann, Stephen. 1977. Semantics, An
Introduction to the Science of Meaning. Diadaptasi oleh Sumarsono
menjadiPengantar Semantik.2007. Yogyakarta: Pustaka Pelajar