Denny JA: Remi Sylado Masih Harus Belajar Banyak...
#KAWACA.COM – Melalui akun facebook Denny J.A’s World
(12/5), Denny JA menanggapi pernyataan Remi Sylado pada acara Sastra Reboan (9/5)
yang dirilis Kawaca.Com (10/5): Remi Sylado: Denni JA Memperalat Para Penyair.
Berikut tanggapan Denny JA secara lengkap:
Remi Sylado,
Puisi Esai dan Kisah Kacang di Pesawat.
Denny JA
Seorang
wartawan menanyakan komentar saya soal opini Remi Sylado tentang puisi esai. Ia
melampirkan berita online. Saya merespon hanya berdasarkan yang tertera dalam
berita online itu. Tak saya tahu apakah berita online Itu cukup mewakili.
Remi menyatakan Denny JA memperalat penyair
menulis puisi esai, dengan kontrak jutaan rupiah. Lalu sang penyair tak bisa
lagi lepas dari kontrak itu. Ujarnya, ini cara tidak berbudaya.
Sayapun membaca berulang komentar Remi di
berita itu. Sederhana saja saya menilainya. Bagaimana metode yang ia gunakan
dalam menarik kesimpulan bahwa benar Denny JA memperalat. Dan apa pula yang ia
maksud tidak berbudaya.
Ternyata ia mengambil kesimpulan dari satu
dua kasus yang ia temui dan melakukan generalisasi.
Dalam ilmu logika, Remi melakukan kesalahan
elementer. Kesalahan itu kadang disebut “Faulty Generalization,” atau Biased
Sample Fallacy. Ini kesalahan para pemula yang tak terbiasa dengan tertib
berpikir. Ia menyimpulkan keseluruhan hanya berdasarkan sampel yang bias atau
sampel yang tak mewakili keseluruhan.
Saya pun teringat kisah kacang di pesawat
yang menimpa keluarga Chris dan Hong Daley. Ia memperjuangkan larangan
menyediakan kacang di pesawat. Gerakannya ini hanya berdasarkan pengalaman
anaknya yang alergi terhadap pesawat.
Ia mengira kasus yang menimpa anaknya bisa
digeneralisasi untuk semua kasus penumpang.
-000-
Saran saya
untuk Remi tidak soal persepsi sastra. Saran saya lebih kepada yang lebih
elementer untuk seorang intelektual, jika Remi memang bisa disebut intelektual.
Yaitu belajar menarik kesimpulan yang sahih.
Seberapa banyak kasus yang Remi temui soal
puisi esai, yang membuat ia yakin hal itu mewakili keseluruhan? Itu jika memang
ia ingin memahami lebih detail dan adil. Tentu saja berbeda jika ia hanya ingin
sekedar cuap cuap dan mengeluarkan bunyi saja.
Ini contoh yang elementer. Jika kita melihat
ada orang naik mobil lalu tabrakan, kita tak bisa mengambil kesimpulan “jangan
naik mobil karena akan tabrakan,” misalnya. Memang ada orang naik mobil dan
tabrakan. Tapi itu hanya mewakili di bawah 5 persen yang naik mobil, misalnya.
Kasus itu tak bisa digeneralisasi mewakili 95
persen lainnya.
Sampai hari ini ada 70 buku puisi esai. Ada
250 penyair dan penulis yang menulis puisi esai. Ada juga penyair Malaysia,
Thailand, Brunei dan Singapura yang menulis puisi esai.
Apakah Remi pernah meriset mereka untuk tahu
benarkah 250 orang itu diperalat Denny JA? Jikapun ia perlu mengambil sampel,
ada pula metode cara mengambil sampel yang tidak bias, yang diketahui oleh
mereka yang serius untuk meneliti.
Cobalah cek sampel lain, yang jauh lebih
banyak. Mereka menulis puisi esai dengan senang hati. Lebih banyak lagi yang
ingin menulis di luar yang sudah menulis. Tapi dari pihak komunitas puisi esai
justru membatasi.
Bahwa ada kasus satu sampai 8 orang dari 250
penulis itu, di bawah 5 persen yang tak mau melanjutkan penulisan, 5 persen itu
tak bisa mewakili keseluruhan, seperti contoh orang naik mobil dan tabrakan
tadi.
Soal mereka yang sudah kontrak dan menerima
pembayaran tak bisa membatalkan kontraknya sepihak, itu memang prinsip dasar
dari kontrak dimanapun. Bahkan undang undang juga mengatur demikian. Bukan
hanya penyair. Presidenpun harus tunduk pada aturan hukum.
Apa jadinya jika kita kontrak membangun rumah
menggunakan kayu jati milik tuan A. Ketika rumah sudah dibangun, hanya tinggal
pekerjaan mengecet saja, lalu Tuan A, sang pemilik kayu jati ingin membatalkan
kontrak dan meminta kayu jati dipulangkan? Bukankah pekerjaan lain akan
terganggu? Dinding akan kembali dibongkar mengeluarkan kayu jati itu?
Jika setiap orang dibolehkan membatalkan
kontrak sepihak, bukankah akan rusak tak hanya dunia usaha. Rusak pula semua
kepastian peradaban modern yang kini bergantung banyak pada kontrak.
Salahkah ada kontrak dalam kerja seni?
Industripun melanda dunia seni. Kontrak itu justru sebagian juga melindungi
kepentingan pihak penulis, seniman dan artis di hadapan perusahaan raksasa
misalnya. Bukankah kontrak itu dibaca, bebas ditanda tangani, bebas juga tidak.
Tak ada paksaan di sana.
Namun sekali
kontrak ditanda tangani, konsekwensi mengikuti. Agak aneh juga jika hal
elementer kontrak ini Remi pun awam tak mengerti.
-000-
Satu satunya
yang valid dari komentar Remi adalah soal kualitas. Ia tak suka puisi esai yang
ia anggap buruk. Tapi di dunia yang seleranya beragam, beragam pula persepsi
mengenai kualitas dan kriteria menentukan kualitas.
Beda segmen
masyarakat bisa beda selera, persepsi dan penilaiannya. Tak ada persepsi
tunggal atas selera dan kriteria.
Karya Adam
Smith soal “The Wealth of Nation” yang gemilang dan mengubah dunia, dianggap
fenomenal. Tapi di mata Karl Marx, karya itu bukan saja sangat buruk dan cacat
secara fundamental, tapi menyebabkan ketidak adilan.
Film Holywood
pemenang Oscar “The Artist,” misalnya, bagi juri dianggap the best di tahun
itu. Tapi bagi penonton kebanyakan, film itu dianggap buruk dan tak laku. Baik
dan buruk itu subyektif saja.
Sebenarnya tak
ada yang mengejutkan dalam komentar Remi itu. Yang mengejutkan justru karena saya
baru tahu tokoh bernama Remi itu masih harus belajar banyak agar sahih menarik
kesimpulan.
Tapi apapun,
ini dunia menjamin kebebasan orang beropini. Termasuk yang mati matian beropini
bahwa bumi itu datar.***
Mei 2018
Kita tunggu apakah Remi Sylado akan menanggapi balik pernyataan Denny JA tersebut.