Tema-Tema Lokal yang Tak Terjebak Lokalitas Sempit
Oleh Hasan
Aspahani
KITA
tidak tahu berapa banyak puisi Chairil Anwar yang ia musnahkan sebelum ia
meyakini sajak "Nisan" (1942) sebagai sajak yang pantas ia terbitkan
sebagai sebuah sajak yang "menjadi" dan membangun "sebuah
dunia" sendiri.
Kita
juga tak tahu sajak-sajak seperti apa yang dirobek-robek oleh Sutardji Calzoum
Bachri sebelum ia menerbitkan sajak-sajak dalam "O", lalu
"Amuk", kemudian "Kapak", dan merasa telah bisa membebaskan
kata-kata dan tradisi lapuk yang membelenggu, dari penjajahan-penjajahan
seperti moral kata, dan dari penjajahan gramatika.
Tapi
kita bisa tahu sajak-sajak apa yang diabaikan oleh Sapardi Djoko Damono sebelum
ia dengan penuh percaya diri menerbitkan kumpulan puisi "Duka-Mu
Abadi", dan menjadi penanda penting bagi kebesarannya sebagai penyair.
Saya
ingin memulai pembicaraan atas sajak-sajak Arco Transept di buku ini dengan
pelajaran dari tiga penyair besar tadi. Kapan seorang penyair harus menerbitkan
sebuah buku puisi? Buat apa menerbitkan sebuah buku? Sajak-sajak seperti apa
yang pertama kali harus dibukukan oleh si penyair?
Untuk
pertanyaan pertama tak ada patokan angka. Kalau masih tetap mau dicari juga,
dari Chairil dan Sapardi kita temukan angka dua belas tahun. Chairil telah yakin
memilih jalannya sebagai seniman pada usia 15 tahun. Bukunya terbit pada tahun
1949. Jika ia tidak meninggal pada tahun itu, ia pasti sempat menyaksikan
bukunya terbit. Pada tahun ketika bukunya terbit, Chairil berusia 27 tahun.
Sapardi
merasa telah menjadi penyair ketika sajaknya dimuat oleh Jassin di majalah
Mimbar, pada 1957. Buku puisi pertamanya terbit pada tahun 1969. Jadi buku itu,
seperti Chairil, terbit dua belas tahun setelah Sapardi serius menjalani jalan
puisi.
Kenapa
dua belas? Mungkin hanya kebetulan saja.
Tapi rasanya, jika selama dua belas tahun kita melakukan sesuatu dengan
serius, mencoba mencari cara terbaik, dan terus bereksperimen dengan intensitas
yang meninggi, apapun yang kita lakukan pasti akan menyampaikan kita pada satu
puncak di mana di situ ada bendera yang mengibarkan nama kita. Begitu juga dalam hal perjalanan di jalan
puisi. Saya meyakini itu.
Naskah
buku puisi Arco sampai pada saya setelah tak lama ia mengirim buku puisi
pertamanya yang terbit pada 2016 ini.
Sebelum naskah buku puisi yang akan terbit ini sampai, terhadap buku
puisi pertamanya saya katakan, "saya hanya akan kasih komentar jika ada
yang membuat saya bisa memberi komentar baik dan berbeda dengan komentar pada
sajak lain yang pernah saya komentari."
Pada saat itu, sebenarnya, saya sedang dalam masa "pisah
ranjang" dengan puisi. Lumayan juga. Tiga tahun lamanya, saya benar-benar
mengurangi intensitas saya menggauli puisi, yang sebelumnya juga tak seru-seru
amat. Saya memulai masa pisah ranjang
dengan berhenti menulis di blog saya yang sudah sepuluh tahun saya kelola.
Ini
bukan pisah ranjang sebagai persiapan bercerai. Ini adalah pisah ranjang yang
justru dipersiapkan untuk menghadapi sebuah pertemuan kembali dengan puisi yang
- saya harap - akan berbeda suasananya.
Sajak Arco datang pada saya, ketika saya merasa sudah saatnya mengakhiri
masa pisah ranjang itu.
Arco,
mulai menulis sejak 2006. Persentuhannya dengan kesenian ia lakukan lewat
banyak pintu masuk: ia menulis sajak, menggambar, bermain musik, dan mencipta
lagu. Paduan semua kegemarannya itu bisa menjadi modal penting baginya untuk
membangun sebuah persajakan yang unik. Menggambar bisa mempertahankan
intuisinya membangun imaji dalam puisinya, musik dan lagu bisa ia manfaatkan
untuk menata irama dan bunyi dalam sajaknya.
Ketika
buku kumpulan puisinya "Protokol Hujan" (Indiebook Corner, 2016)
terbit ia berusia 32 tahun, dan sudah sepuluh tahun menulis. Sekali lagi, tak ada hubungan yang
"harus" antara angka-angka tahun pergulatan itu dengan pencapaian Ia
seorang penyair. Tetapi, sekali lagi,
jika si penyair melakukan pergulatan dengan sungguh-sungguh, maka ia akan
sampai pada saat di mana dia menawarkan sejumlah karya sajak yang mencuat dari
hamparan persajakan yang sudah ada.
Ah,
tapi kenapa harus selalu itu yang dicari? Memang harus selalu itu. Karena
dengan itulah puisi tumbuh dan berkembang dengan sehat. Karena dengan terus
mencari sesuatu yang baru itulah penyair bergerak, bukan mengulang-ulang dan
berputar di kaki bukit saja tanpa pernah mencapai puncak. Karena dengan itulah penyair tidak terjebak
di pencapaiannya sendiri.
Pada
"Protokol..." saya menemukan seorang penyair yang amat serius. Ia
telah menemukan sesuatu di dalam sajak. Dia jelas punya banyak alasan untuk
mencintai sajak. Percintaan itu saya bisa lihat berbuah seluruh sajak pada buku
itu. Saya melihat intensitas permenungan dan pengamatan Arco sebagai penyair.
Tema-temanya
merentang antara permenungan tentang waktu (beberapa judul yang merujuk ke
waktu: Malam, Kelak, Akhir Tahun, Dini Hari, Pukul 02.25, dll.), perjalanan dan
kepulangan (ada beberapa sajak yang ditulis terkait dengan kota di mana penyair
merasa itu bukan rumah dan perjalanan itu ia kekalkan dalam sajak), percakapan
dengan seseorang (beberapa sajak menyebut nama seseorang sebagai judul, atau
nama itu disebutkan di bawah judul sebagai orang yang kepadanya diperuntukkan
sajak tersebut). Dalam hal tema, Arco menunjukkan penjelajahan yang cukup luas.
Ini modal penting bagi seorang penyair,
Umumnya,
sajak-sajak Arco di "Protokol..." menawarkan kompleksitas yang
menawarkan keasyikan untuk dijelajahi. Tapi dalam hal pengucapan - yaitu kerja
penyair membangun bangunan bahasa sajaknya - saya sering terganggu pada banyak
sajak karena saya kerap gagal menangkap keutuhan dalam sajak-sajaknya. Imaji
yang terbangun di bait-bait awal tiba-tiba seperti ditinggalkan - meskipun
tidak sampai runtuh - begitu saja.
Sajak
"Riwayat Dapur" ini misalnya, bisa kita jadikan bahan pembicaraan; Kau takkan temukan pisau. / Dari sungging
senyum yang diikat dengan kerutan mata. / Semakin tua, semakin karisma. /
Tersimpan berbundel helai sukma memutih. / Kusutnya ait mata bapak. / Susutnya
payudara ibu. /
Jika
sajak itu berakhir pada bait itu saja, saya sangat bergembira sebagai pembaca.
Yang "dapur" pada bait pertama sajak ini hanya "pisau".
Itupun tak akan kita temukan. Imaji pisau itu dihadirkan untuk ditiadakan.
Bukan "dapur" sebagai tempat masak yang hadir dalam sajak ini. Tapi,
dapur, yang pada sebagian rumah tradisional merangkap juga sebagai ruang makan.
Ini gangguan yang berhasil dilakukan oleh sajak ini atas rutinitas berpikir
saya. Yang ikut saya rasakan adalah
kerinduan saat makan bersama keluarga inti: terutama ibu (yang susut
payudaranya) dan ayah (yang kusut air matanya).
Ini sebuah ikhtiar membangun imaji yang unik, berani dan berhasil.
Saya
harus membuat atau menambah pemaknaan lain ketika harus memasukkan bait kedua
dalam ikhtiar saya memaknai sajak ini secara keseluruhan: Barangkali jika ingin
hidup tenang. / Jadilah bingkai jendela atau meja makan. / Jangan jadi arang
atau abu. Kata kuncinya mungkin ada pada larik akhir itu: jadi arang atau abu.
Perihal kerinduan di bait awal tadi dibenturkan dengan kenyataan lain, saran
untuk mengakhiri pertikaian yang hanya akan membuat yang menang jadi arang dan
yang kalah jadi abu. Abu dan arang tiba-tiba hadir menjadi alusi pada
peribahasa lama itu.
Menurut
saya, "Riwayat Dapur" adalah sajak terkuat dalam
"Protokol...". Banyak sajak lain yang saya sukai, tapi inilah saya
kira sajak Arco yang paling berhasil, dan paling asyik untuk dibicarakan.
***
Lantas
apa yang ditawarkan Arco pada buku sajak-sajaknya yang kedua ini?
Produktivitas? Jelas. Ia makin lancar menulis. Tak berselang lama dari buku
pertama tadi, buku “Didera Deru Kedai
Kuala” pun menyusul. Sajak-sajak di
buku ini memperlihatkan seorang Arco, penyair yang lebih tenang, lebih tertib,
lebih kuat, lebih arif, dan tetap menawarkan gelegak yang kuat di balik
ketenangan itu.
Saya
selalu merindukan puisi Indonesia, sebagai puisi yang lahir dari suara
kota-kota yang bertebaran di sekujur negeri ini. Saya bayangkan dengan begitulah puisi
Indonesia akan menjadi sangat kaya. Saya
tidak bicara soal pusat dan daerah. Saya bicara soal keragaman. Dan itu
penting. Seperti sebuah komunitas
makhluk hidup, keragaman itu akan memperkuat daya tahan komunitas
tersebut. Jakarta atau apapun dan
siapapun sebagai pusat akan bermasalah dan harus ditolak jika ia menyebabkan
keseragaman.
Saya
setuju ucapan sahabat penyair - yang bergiat dan berproses sepenuhnya di
kotanya: Halmahera, Maluku Utara - Dino
F Umahuk yang bicara di Musyawarah Sastra Indonesia 2016. “Untuk menjadi
penyair tak usah memandang Jakarta. Tulis sajak-sajakmu di daerah manapun kau
berada,” ujar Dino.
Sekali
lagi saya setuju pernyataan Dino itu, tapi sastra, atau puisi, di manapun tetap
harus diukur dengan parameter yang sama. Saya bayangkan Indonesia seperti
sebuah benua yang tiap provinsinya adalah negara-negara. Seperti Eropa
misalnya. Negara-negara di benua itu banyak yang luasnya mungkin sama dengan
luas satu provinsi di Indonesia, tapi lihat Prancis punya Rimbaud, Inggris
punya Eliot, Jerman punya Rilke, dan Belanda punya Marsmann, untuk sekadar
menyebut beberapa negara dan penyair besarnya.
Dalam
pandangan seperti itu, maka saya melihat kecerdikan Arco ketika di buku ini,
dia menggarap tema-tema lokal tanpa terjebak pada lokalitas yang sempit. Arco menggarap, mengamati, merenungkan, dan
memaknai kotanya sebagai imaji sajak-sajaknya.
Sajak-sajak di buku ini berkait dan tertaut dengan Musi – sebagai sungai
atau bagian kehidupan kota, dan Palembang, kota yang tentu sangat dikenali oleh
penyair kita ini, Jembatan Ampera yang
pasti memenuhi kenangan siapa saja yang pernah melintasinya – apatah lagi
mereka yang hidup di kota. Dan itu
adalah perkembangan yang amat menarik pada puisi dan kepenyairan Arco.
Puisi-puisi
di buku ini tidak memperlihatkan penyairnya sebagai seorang yang gelisah, liar,
mencari ke sana kemari, memasang banyak pancing sajak agar nanti pancing yang
manapun yang termakan itulah yang akan ia tangkap sebagai puisi. Di buku ini
Arco duduk tenang, mengulurkan satu pancing dan menikmati bagaimana tali
nilonnya menegang, ditarik kesana-kemari oleh si ikan sajak yang memakan
umpannya. Begitu lagi, dia ulangi, dengan tenang ia memasang umpan lain,
melempar ke arah lain, dan menangkap ikan yang lain.
“Aha,”
dia berseru, “ternyata banyak sajak di sekitar saya!”
Sekali
lagi, di buku ini, Arco dengan cerdik dan cermat, berhasil menggarap
imaji-imaji lokal tanpa terjebak hanya menjadi pengucapan lokal yang sempit:
tidak menjadi semacam sajak kartu pos, sajak turistis, yang sekadar
memuji-muji, atau meratap-ratapi kemalangan, atau memaki-maki ketidakberesan
tempatan.
Sagu diaduk dalam tempayan / Perempuan
pesisir duduk / menunggu pulang nelayan
/ Sebab tenggiri harus disiangi / Dibawa ke pasar sebelum pagi // Aku tenggelam
di hitam manis takdir / Persis menahan getir bibir / Menahan pedas juga deras /
Peradaban yang digerus arus. // Dari lengan sungai-sungai dan jembatan / Jala
menjaring keringat dari kening / Turis bertandang melahap lenggang / Sudah
kenyang, mereka pulang.
Saya harus lekas sebutkan sajak ini
judulnya “Pempek”. Ya, pempek, santapan yang menjadi komoditas “ekspor”
Palembang. Lihat bagaimana Arco
menabrakkan kehidupan nelayan, turis, dan mengucapkannya dengan penganan khas
itu sebagai metafora yang luas: sagu, tenggiri, kuah yang hitam dan manis, dan
pedas. Ditambah lagi pilihan kata lain: lengan-lengan sungai dan jembatan. Saya
bisa membawa sajak ini ke tempat lain, dan akan tetap kuat maknanya, tapi sajak
ini tak akan pernah bisa lepas dari “Palembang” dan itu tak akan mengurangi
kekuatan sajaknya. Umumnya, sajak-sajak
lain di buku ini, berhasil disuguhkan dengan kelezatan seperti “Pempek” ini
bahkan beberapa lebih kuat lagi.
Jika
pengantar ini terasa sangat berlebihan, bertaburan puja-puji di sana-sini, saya
ingin mengatakan bahwa tulisan ini juga bisa menjadi peringatan bahwa hakikat
kerja kreatif adalah perburuan yang terus-menerus pada kebaruan, dan penemuan
serta pencapaian bisa menjadi jebakan.
Terakhir, saya ingin menutup dengan sebuah permakluman, ada satu sajak
di buku ini yang ditujukan kepada saya, tapi bukan karena “disogok” dengan
sajak itu maka saya “berbaik hati” memuji hasil kerja serius Arco sebagai
penyair. Ia memang layak mendapat
perhatian kita, dan pantas kita tunggu perkembangan berikutnya.
Jakarta, November 2016