Puisi-puisi yang Menemukan Jalan Pulang
Oleh Hasan
Aspahani
TENANG. Teduh. Tenteram. Seperti jalan pulang ke rumah yang saya tahu
di sana saya sedang ditunggu, tapi saya tak ingin lekas-lekas sampai. Saya berjalan saja dengan nyaman. Saya,
kadang-kadang merasa seakan sudah sampai di sana. Saya sangat mengenal rumah
kemana saya pulang itu, ke rumah di mana saya sedang menuju.
Saya
tidak buru-buru. Jalan ini pun saya kenal benar. Yang saya temukan adalah apa-apa yang saya
sudah sangat kenal. Saya tidak berjalan di jalan mendaki dan berkabut. Saya tak
berpapasan dengan orang-orang yang harus saya tebak namanya, perangainya, juga
niat rencananya. Jalan ini membuat saya
nyaman di sepanjang perjalanan saya.
Matahari terang tapi udara sejuk, seperti petang atau pagi yang semarak.
Itulah
suasana yang saya dapatkan, ketika menelusuri bait-bait puisi di buku ini. Bait-bait yang sambung-menyambung seperti
jalan dan saya seperti diarahkan, diberi petunjuk, dipanggil untuk pulang ke
sebuah rumah dengan alamat yang sangat saya kenal.
Ada
sebuah sajak yang saya sukai di buku ini, yang bagi saya seperti merangkum
seluruh apa yang tersampaikan dalam sebagian besar sajak. Sajak itu adalah
“Jalan Pulang”. Mari kita baca
selengkapnya:
Jalan pulang itu lurus / adanya / kita saja yang
membuatnya berkelok-kelok // Jalan pulang itu sejatinya
lapang / kita saja yang / membuatnya
sempit // Jalan pulang itu mulus dari sananya / kita saja yang membuatnya
terjal beronak berduri // Jalan pulang itu terang benderang / kita saja yang membuatnya temaram // Saatnya
kita kembali / menapaki jalan pulang / yang lurus dan mulus / yang luas dan
benderang / sebelum kereta waktu / menurunkan
kita di / ujung jalan pulang
Puisi
yang baik, yang saya sukai, biasanya adalah puisi yang mengganggu saya. Dan itulah yang sudah dilakukan oleh sajak
ini kepada saya. Sajak ini saya terima
sebagai sebuah entitas yang berhasil mengutuh diri (unity), lumayan berhasil membangun kepelikan (complexity), dan intensitasnya (intensity)
– memang di awal terasa datar – tapi di akhir sajak, berhasil menohok. Dengan demikian,
jika saya ingin menilai sajak ini dengan tiga parameter itu, maka sajak ini
adalah sajak yang berhasil.
Sajak ini bicara tentang “jalan pulang”. Tentu saja itu adalah amsal dari ajaran agama, moral, atau cara hidup yang membawa manusia ke kehidupan sesudah mati, atau akhirat, atau kehidupan sesudah dunia yang fana. Ke sanalah alamat pulang itu.
Sajak ini bicara tentang “jalan pulang”. Tentu saja itu adalah amsal dari ajaran agama, moral, atau cara hidup yang membawa manusia ke kehidupan sesudah mati, atau akhirat, atau kehidupan sesudah dunia yang fana. Ke sanalah alamat pulang itu.
Hidup
adalah perjalanan pulang. Dan sebagai jalan, hidup sesungguhnya – jika kita mau
hidup dengan benar – adalah sebuah jalan yang lurus, terang, mulus dan lapang. Oleh penyair,
pesan dan imaji itu dihadirkan
dengan wajar saja. Tak ada penjelasan dan memang tak perlu dijelas-jelaskan.
Menjelang
akhir sajak ada bagian, yang mungkin terkesan seperti nasihat, petuah, ajakan,
tapi itu juga menjadi siasat untuk mengutuhkan sajak dengan mengulang dan
menegaskan beberapa bagian di bait-bait sebelumnya. Lalu, penyair membuat sedikit kejutan dengan
dua larik penutup: sebelum kereta waktu,
menurunkan kita di ujung jalan pulang. Perihal ‘kereta waktu’ ini tidak disebutkan
sejak awal. Kehadirannya – yang dengan
bagus ditautkan dengan gagasan dasar sajak ini yaitu ‘jalan pulang’ –
menunaikan dua tugas sekaligus: mengutuhkan, melengkapi kepelikan.
Saya
jadi menebak-nebak, apa hubungan kita, dengan ‘jalan pulang’ (yang sering kita
rumitkan padahal lurus, yang sering kita bikin temaram padahal terang-benderang
itu, yang sesungguhnya mulus tapi kita bikin berduri itu), dengan ‘kereta waktu’ yang nanti menurunkan kita di
ujung ‘jalan pulang’ itu, dengan ajakan untuk kembali menapaki ‘jalan pulang’?
Konsep
tentang waktu adalah kereta itu menarik. Dan buat saya unik. Waktu dengan demikian adalah apa yang mengantar
saya untuk sampai. Sementara saya harus
turun dari kereta itu, karena sudah sampai di ujung jalan pulang, si kereta
akan melanjutka perjalanan tanpa peduli pada saya. Ya, hidup terus berjalan,
tak berhenti bersama berakhirnya hidup seseorang.
Di
titik itulah puisi ini menjadi menarik.
Saya
membayangkan sedang berjalan di jalan pulang itu dengan santai. Saya tidak
buru-buru. Saya tak ingin lekas sampai di ujung jalan pulang saya. Tapi saya rupanya berjalan di dalam sebuah
kereta yang berjalan tak bisa saya kendalikan kecepatannya, tapi saya bisa
memilih jalannya. Saya tak bisa keluar
dari kereta itu, dan saya tak buru-buru tapi saya tahu saya pasti sampai di
ujung jalan itu dan harus turun dari kereta itu.
Dengan
cara dan intensitas masing-masing, beberapa sajak yang baik di buku ini -
sajak-sajak yang terutama bisa menghadirkan kompleksitas dengan cara sederhana
- bisa memberikan kenikmatan peresapan
seperti apa yang saya rasakan pada sajak “Jalan Pulang” ini.
Jakarta, Maret 2018
Prolog Buku: Selingkar Pedang Jalan Pulang karya Samsudin Adlawi