Puisi-Puisi Pilihan Sutan Iwan Soekri Munaf
SAJAK WAKTU BERHENTI
Waktu yang tersaji pada santap malam ini,
sudah diluluhlantakkan pada pertemuan denganmu. Bisu yang tercipta telah
menggali kedalaman kata pada pancaran mata. Waktu pun berhenti. Menunggu.
Banyak sekali yang terjadi. Kata-kata tak pernah selesai terucapkan, sedang
waktu selalu berjalan. Hanya senyuman sepi yang datang padaku. Dan cahaya dalam
mata membuka waktu yang berhenti. Terlalu banyak yang terabaikan. Termasuk
rindu yang dulu, padamu!
Bekasi 2008
ALUN-ALUN
Suara kita tak pernah lagi ramah
dibanding tahun-tahun sudah
Antara kita ada segaris batas
menerkam baris-baris getas
Tangan kita tak pernah lagi dapat berjabat
sambil menaburkan hasrat
Kita tak pernah lagi dapat saling peluk
dan kau kucium pelupuk matamu
Kita selalu sibuk dan selalu sibuk
sambil kita selalu kembangkan kidung rindu
Perlahan kita semakin menua
mendekati puing-puing
kembali ke asal perjanjian kita
dengan segala macam hati yang geming
Kita terasa begitu jauh
kendati kita satu flat
dibanding tahun-tahun sudah
Antara kita ada segaris batas
menerkam baris-baris getas
Tangan kita tak pernah lagi dapat berjabat
sambil menaburkan hasrat
Kita tak pernah lagi dapat saling peluk
dan kau kucium pelupuk matamu
Kita selalu sibuk dan selalu sibuk
sambil kita selalu kembangkan kidung rindu
Perlahan kita semakin menua
mendekati puing-puing
kembali ke asal perjanjian kita
dengan segala macam hati yang geming
Kita terasa begitu jauh
kendati kita satu flat
dan dipisahkan selembar dinding beton saja!
Bandung,
Januari 1987
DARI JAUH
Mungkin seperti kereta pergi meninggalkan
statsiun
dan melewati ladang panjang penuh bunga
matahari
Aku terjaga dari kantuk berat dan menatapmu
sebaris
tampak dan sebaris hilang
Waktu terus berjalan. Menahun
menuju hari ke tiga puluh membakar sangsi
menuju hari ke tiga puluh membakar sangsi
Engkaukah yang melangkah sebarkan rindu dan
mendekat?
Seribu mata mengiring desah kereta dan luka
terbelah seribu
Aku rasakan basahnya udara pagi dalam nafas
hari petang
Sungguh!
Kalau pun malam tiba
Rel panjang ini tetap dingin di sandaran balok-balok kayu
Rel panjang ini tetap dingin di sandaran balok-balok kayu
bercerita panjang tentang kedatanganmu dari
jauh. Dari jauh
Di mana kata tak ada lagi
Bangsi kehidupan sudah lama membisu
Aku berdiri merasakan irama gesekan roda
dengan rel
sambil mendekatimu
dari ladang-ladang bunga matahari
Begitu panjang waktu mengurung
Begitu rindu mata menawarkan sepi
Begitu rindu mata menawarkan sepi
Jalan panjang terbentang. Sendiri
Jakarta, September 1996
Jakarta, September 1996
ANTARA CAWANG-CIKAMPEK
Semua datang seketika
mengantarkan waktu dan menyimpan rasa.
Kaku menjalar di ruang antara.
Menyisakan canda dari dalam kalbu.
Rindu menyebar ke setiap centimeter kubik
darah
dan memancar lewat mata.
Jauh
Lengang.
Lengang.
Barangkali musik menjadi teman
dan mulut selalu menyebut:
Allah! Allah! Allah!
Sebelum warna membiru
memerangkap waktu menjadi kaku
memerangkap waktu menjadi kaku
dan rindu memancar jauh berteman lengang.
Sungguh!
Semua datang
mengantarkan rindu
mengantarkan rindu
Kusebut lagi namaMu:
Allah! Allah! Allah
Allah! Allah! Allah
Jakarta,
1996
MENIT PUN
Menit pun bercerita tentang langkah gundah
yang merajah senja menjadi rona tak terkira.
Tak pernah kembali! Ingin saja pagi melagukan
kisah mentari
yang datang di antara nyanyi burung kenari.
Aku hanya bisa membaca tanpa memahami makna
dari ribuan tanda:
Hilir mudik pada setiap detik! Menit mendesahkan
kisah lama.
Kisah yang dibaca dan selalu dibaca.
Tetap saja tak paham tentang makna hati yang
dalam.
Barangkali menit ingin membagi diri
sebelum lengkap menjadi jam di malam yang
padam!
Menit pun selalu menderit membuka pintu hati
untuk kembali bangun dari mimpi.
Mimpi yang selalu menggoda diri di antara
jalan sepi. Sungguh!
Menit pun menandaskan kenangan.
Di sana, ingin saja kudengar lagi,
panggilan untuk kembali kepada Mu.
Ya! Menit pun semakin sempit
untuk menggamit Mu!
Bandung, Maret 2016
SAJAK
yang kembara dalam usia
membiru
yang lari menyimpan rahasia
berlagu
yang singgah merapal firasat
tersesat
yang hati
mendekap sekali
1980
-------------------
Sutan Iwan Soekri Munaf bernama asli Sutan
Roedy Irawan Syafrullah. Lahir di Medan, 4 Desember 1957, dan meninggal di
Bekasi, 24 April 2018. Bang Iwan -biasa disapa- merupakan penyair yang begitu
menghormati puisi dan hati-hati dalam hal menulisnya. “Puisi itu kesabaran,
penyair tidak perlu buru-buru,” ujarnya suatu waktu sambil menghisap
dalam-dalam 234. Sebagai pribadi, dia adalah sosok yang ramah,
hangat, dan penuh semangat.
Bang Iwan sudah sejak kecil menyukai puisi. Pada 3 Juli
1971, Ruang Anak, Kompas memuat puisinya untuk pertama kali. Setelah itu,
puisi-puisinya bermunculan di sejumlah media. Obsesi merupakan
buku puisi tunggalnya yang diterbitkan PT Angkasa, Bandung, 1985.
Puisi-puisinya juga banyak tergabung dalam sejumlah buku puisi bersama. Tahun
2012, dia sempat meluncurkan antologi puisi Aktualisasi Waktu dalam
bentuk PDF.
Beberapa kali diundang mengikuti acara sastra, baik di
dalam maupun luar negeri, di antaranya: Pertemuan Sastrawan Nusantara dan
Hari Puisi di Kem Kijang,
Kota Bahru, Kelantan, Malaysia (GAPENA 1981), Pertemuan Sastrawan Nusantara di
Johor Bahru, Malaysia (1999), dan Agustus 2003, dia diundang untuk menulis di
Milhac de Aubroche, Prancis oleh seorang kawannya secara pribadi.
Bang Iwan juga tercatat sebagai jurnalis di beberapa
media, seperti Harian Gala (1985), Harian Pagi
Priorotas (1986-1987), Harian Terbit (1988), Harian
Bisnis Indonesia (1989 Jan-Peb), Harian Media Indonesia (1989), SKM
Atjeh Post dan SKM Peristiwa (1989-1990), Majalah
Anita Cemerlang (1990-1992), Harian Ekonomi Neraca (1992-1994), Harian
Analisa (1994-1997), Harian Jakarta (2003-2004), Harian
Peta News (2004), dan lainnya.
Setelah pensiun dari dunia jurnalis, Bang Iwan memilih
menjadi supir taksi express di Jakarta. Tidak seperti supir taksi umumnya, dia
justru banyak menghadiri acara sastra, atau mengantar orang ke acara sastra
dengan taksinya secara cuma-cuma. Tahun-tahun terakhirnya, dia memutuskan
keluar dari taksi, dan merintis usaha Black Garlic 123 dan Black Coffe 123.
Dengan cara begitu, dia semakin intens bersastra dan bersilaturahim dengan
kawan-kawannya. “Apapun hidup, sastra selalu membuatku bahagia,” ucapnya
suatu seketika.