Menggandrungi Banyuwangi dari Berbagai Sisi
Oleh Desy Ariyani (Kurator)
Buku
antologi puisi bertajuk
“Menggandrungi Banyuwangi” ini memuat
karya-karya pilihan dari para peserta Lomba Cipta
Puisi yang terangkai dalam
gelaran Liga Puisi Banyuwangi 2018. Menyaring puisi yang masuk untuk dipilah
dan dipilih bukanlah perkara mudah. Sebab, apresiasi yang
diberikan oleh masyarakat Banyuwangi pada kegiatan ini sungguh luar biasa. Sehingga dalam tempo satu bulan, tercatat lebih dari 450 peserta
yang telah mendaftar dan mengirimkan karya puisinya. Sementara itu, kuota untuk
karya yang akan dimasukkan dalam antologi ‘hanya’ seperempatnya saja.
Untuk
itu, tim kurator harus bekerja ekstra keras. Terlebih dalam waktu yang relatif singkat.
Apalagi, dengan batas waktu pendaftaran yang diperpanjang dua hari dari
jadwal semula membuat kami tambah kewalahan. Di kala kami masih
sibuk berjibaku dengan naskah-naskah, ponsel kami terus menerus berdering lantaran pesan dan telepon dari
para peserta yang menanyakan hasil lomba. Kami pun tidak bisa menyalahkan,
karena memang pengumuman Lomba Cipta Puisi semula diagendakan pada 15 Maret
2018. Tertundanya pengumuman tersebut pun bukan karena kami berleha-leha.
Tetapi memang waktu yang diberikan untuk menyeleksi karya amat terbatas.
Meskipun
begitu, kami tetap berusaha semaksimal mungkin. Memang cukup rumit menyeleksi ratusan karya hingga akhirnya diperoleh 102 karya terbaik. Kami
harus mengoreksi satu per satu naskah dengan seksama. Tidak asal comot saja.
Karya-karya yang akhirnya terpilih ini pun sudah melewati berbagai pertimbangan yang masak. Antara lain penilaian terhadap kesesuaian tema. Keutuhan dan keselarasan, bait demi bait, baris demi baris
yang mengacu pada tema. Juga soal diksi dan gaya bahasa yang para penulis
gunakan. Bagaimana mereka menampilkan kreativitas meramu ide dengan kata-kata
Berbicara
soal “Menggandrungi Banyuwangi”, aneka ide pun dituangkan oleh peserta dalam tiap-tiap karyanya. Ada yang berbicara tentang seni budaya Banyuwangi, ada
yang memuji-muji keindahan alam di Banyuwangi, ada yang membincangkan masalah
sosial di kota Sunrise of Java ini,
ada yang mengenangkan cerita legenda, sampai komentar ‘maknyus’ mengenai kuliner khas Banyuwangi. Semuanya ditumpahruahkan dalam kata-kata serta beragam gaya ekspresi bahasa.
Dari
segi latar belakang peserta, yang kebanyakan adalah siswa menengah pertama dan
atas ini, bisa terlihat bahwa hampir semuanya meluapkan rasa betapa mereka
sangat mencintai Banyuwangi sebagai kota kelahirannya. Di sisi lain, para generasi muda ini juga menyimpan cita-cita yang tinggi. Karena itu, mungkin saja suatu
hari mereka harus ‘pergi’ untuk melanjutkan
studi di luar Banyuwangi. Ada nuansa ‘kegalauan’ yang tersirat
dalam karya-karya mereka. Seperti pada puisi Merindukan
Senja karya Almira Prindari Putri
Dalam batin aku bertanya
Akankah aku dapat bertahan melepas rindu
Ketika aku mulai beranjak meninggalkan tanah
kelahiranku
Konflik batin yang serupa pun diungkapkan oleh Alifia Nur Widya dalam sajaknya Sederhana Saja, terbersit harapan untuk
tetap tinggal di Banyuwangi yang begitu kuat:
Ingin ku tetap di sini saja
Hingga nanti, tubuh ini menua
Bersama hangatnya senja
Dengan senyuman di bibir Banyuwangi nan manja
Dayinta Thifal R dalam Terlampau Pukau bahkan menyebut seolah-olah ada ‘daya magis’
yang dimiliki oleh tanah ini yang membuat ia demikian terjerat:
Ini mantra macam apa
Ketika elokmu selalu terngiang
Menjeratku dengan hasrat untuk pulang
Senada dengan itu, Amalia
Rahmandini dalam sajaknya Rumah Sritanjung menegaskan Banyuwangi
merupakan sebuah rumah, “satu-satunya” tempat baginya untuk kembali.
Rumah hanya satu, katanya
Dan letaknya di timur, di ujung sana, serunya
Ia sungguh ingin pulang segera...
Banyuwangi yang kaya akan seni-dan
budayanya pun cukup memikat sejumlah penyair untuk menorehkannya dalam tulisan. Tari Gandrung tampaknya menjadi
tema yang paling diminati. Keindahan ikon yang menjadikan Banyuwangi dijuluki
Kota Gandrung ini disampaikan melalui berbagai citraan yang memesona. Di antara
mereka dapat disimak pada puisi-puisi berikut:
Rena Ayu Ardinanti – Gandrung
Omprogmu yang menghiasi kepala
Membuat mata tercengang menata dada
Firahatus Soleha – Gandrung
canda sepasang kaki
yang diiringi tabuhan dan gempur sampur merah
lengkuk jari tanganmu
membuat sorot mata terperangah.
Syifa’ Ghaits Nabila Salsabil – Gandrung Banyuwangi
Mahkota “omprog” kemebyar-kebyar
Untaian bunga menyeruak sebyar
Selendang warna merah kuning
Membuat mata enggan berpaling
Sebagian memandang Banyuwangi sebagai ladang
pengharapan. Banyuwangi yang kaya akan potensi sumber alam, gunung maupun lautnya
menjadi sumber tumpuan hidup masyarakat. Sosok
pendulang belerang di lereng Ijen memiliki kesan tersendiri bagi beberapa
penyair. Seperti tergambar
dari sajak karya Nadira Andalibhta berjudul Dalam Pelukan Lazuardi
Kaki dan wajah kaku
petani batu
Dari senyap lembah
belerang
menyusur jalur
lumpur, kadang berbatu
Potret kehidupan para penambang belerang Ijen pun ada
dalam Kasatria Timur Jawa yang
ditulis Nirmala Zulfana.
Tak berdasi merah
merona
Tak berjas selembut
sutra
Tak bergaya mempesona
Hanya pikulan kuning
tua yang ada
Juga sajak Julia Kasih melalui Sang Pejuang Hidup
Peluh kian membanjiri
tubuh
Asap belerang yang
semakin menyeruak
Hingga sesak terasa
di dada
Hanya kain basah yang
menjadi andalan
Sementara itu, Setia Damayanti lebih memilih kehidupan para nelayan yang menggantungkan
harap pada lautan, seperti yang ia lukiskan dalam Debur Muncar
Semburan ombakmu,
panasnya langitmu
Kini telah bersatu
Menjadi keluh dan
sebuah harapan
Untuk manusia yang
berjuang di kehidupan
Kekayaan
sumber daya alam Banyuwangi yang melimpah rupanya disikapi berbeda oleh
beberapa penyair. Mereka menangkap adanya potensi kerusakan alam akibat dari
aktivitas eksploitasi alam. Septyan Dwi Govantyo menggambarkan kesedihannya melalui Kabut di Kotaku:
kini kabut membalut
elokmu
Kabut yang tercipta
dari nafsu
…
Jatuh air mataku
Saat buldoser bengis
mencabik-cabik tubuh indahmu
Saat para binatang
buas mengambil untung pesonamu
Wulan
Maulida pun menuangkan ungkapan hati yang selaras dalam Kau Rampas Kaki Langitku:
Terlihat wajah suram sang
demonstran
Protes-protes terpendam
menolak pembangunan
...
“Bagaimana mungkin ini
dibiarkan terjadi?”
Keserakahan membius hati
nurani
Kau rampas keindahan kaki
langit ini
Tidak hanya ancaman eksploitasi alam, Iqbal
Fauzi Abadi dalam Kitalah yang Merawat
Keasrian Tanah Banyuwangi pun mengeluh dan mencoba menyadarkan pembaca akan
masalah pencemaran lingkungan.
Kudapatkan sampah plastik
pada mata kail pancingku
Bukannya ikan sadar atau
putihan
Gemertak gigi gigiku,
nyalang mataku
...
Pantaskah membuang
sampah pada sungai sungai
Akhirnya mencemari
lautku yang juga lautmu
Seperti menampar
wajah kota yang tersenyum
Saat menyambut iring
iringan Piala Adipura
Sementara itu, Gigeh Pramudya Hariono dalam Kenang, Kenanglah Banyuwangi
menanggapinya dengan mengambil sudut pandang seorang pejuang yang menyampaikan
‘wejangan’ pada para generasi penerus di Banyuwangi
Ku titipkan Banyuwangiku kepadamu
Bukan untuk kau lecehkan, bukan untuk kau kotori,
Dan bukan untuk kau jual…
...
Ku bangun Banyuwangiku dengan darah merahku
Bertabur darah, menjelma luka di atas bara
Sejumlah
penyair juga menyelipkan kisah-kisah sejarah maupun cerita rakyat Banyuwangi
dalam puisinya. Salah satunya Ridzkiya Karimatus Sholeha melalui sajaknya 1771 yang mengenangkan tragedi Puputan
Bayu.
“1771” mengadu parang
di medan perang
“1771” kekejaman
datang memakan korban
“1771” potongan kepala
ditancapkan di tonggak-tonggak pagar sepanjang jalan
“1771” ribuan awak
tergeletak di atas tanah yang mereka cinta
Sementara
itu, Diana Puteri Zahro membeber kisah Sritanjung-Sidopekso yang paling melegenda
melalui sajak Kerinduanmu Sritanjung
Ayumu Sritanjung
Mencekat kuat lukiskan patah-patah rindu.
Membakar jiwa prabu sulahkromo penuh nafsu.
Mencengkram tabir sunyi dalam putaran waktu
Terakhir, sejumlah penyair justru tertarik
menjadikan kuliner untuk mengungkapkan ekspresinya menggandrungi Banyuwangi. Nikmatnya
sajian pindang koyong dilukiskan oleh Arif Setiawan dalam Tepat Sepekan Penyair Rantau Menyederhanakan Bidikan
koyong datang menghimpit
sangat repot-repot
sebagai permulaan menghisap
kuah khas
batang serai serba-serbi
terseduh rasa gurih.
Dalam Kucur
Khas Kota Ini, Shelvi
Salsabila memberi testimoni untuk penganan tradisional
Banyuwangi yang satu ini
Bulat cokelat warna gelap
Manis masuk tak kenal
rasa
...
Jajan kucur namanya
Manis selalu mengenang kata
Tak
hanya soal makanan saja, para penyair ini juga tampaknya tak ingin menyia-nyiakan
ketenaran kopi Banyuwangi. Simak saja :
Aqilah
Daffa P – Kopiku, Kopimu dalam Seduh
Kemiren
Aroma wangi menjabar
dijari-jarimu, Kemiren
Kau telah tenggelamkan
Jiwa dalam mataku
Ahmad Maulana Zaidan – Beribu Cita-Cita Memadu Seduh Kopi
Selereng kuseduh angin Banyuwangi
Kupahat biji kopi
lanang
Terdapat sebuah adat
budaya nirbising
Meneduhi Kemiren yang
kemarin tidur siang
Apa yang telah diuraikan di atas
hanyalah ‘gerbang’ untuk menyambut para pembaca menuju petualangan sesungguhnya: menjelajah
Banyuwangi melalui sajak. Semoga puisi-puisi ini tidak hanya berakhir untuk
sekadar dibukukan, tetapi juga bisa semakin menumbuhkan rasa ‘gandrung’ pada
Banyuwangi. Selamat menikmati puisi-puisi di dalam buku ini.