Hermeneutika Ruang dan Waktu*
Oleh Roja Murtadho
Secara etimologi hermeneutika berasal dari kata hermeneuin yang berarti menafsirkan atau
seni memberikan makna . Dalam prolog sekaligus telaah ini, saya menggunakan
tiga aktivitas dalam analisis hemeneutika, yaitu memahami (understanding) dan menjelaskan atau menguraikan makna tersirat
menjadi tersurat. Penguraian makna tersebut diharapkan dapat dipahami dan
sampai kepada yang menerima pesan makna.
Hermeneutika sebagai sistem interpretasi: menemukan makna
melawan inkonoklasme. Paul Rocoeur dalam De I’intretation (1965),
mendefinisikan hermeneutika yang mengacu balik pada fokus eksegesis tekstual
sebagai elemen distingtif dan sentral dalam hermeneutika. Sebagaimana yang
diungkapkannya sebagai berikut: “yang kita maksud dengan hermeneutika adalah
teori tentang kaidah-kaidah yang menata sebuah eksegesis, dengan kata lain
sebuah interpretasi teks partikular atau kumpulan potensi tanda-tanda
keberadaan yang dipandang sebagai sebuah teks (Nasution & Haris,
2017:254).”
Heidegger menyatakan bahwa hermeneutika
adalah hakikat keberadaan manusia yang menyingkap selubung Ada (Sein). Ia tidak berada dalam pengertian
subjek-objek, di mana pemahaman tentang objek berangkat dari persepsi kategoris
dalam diri subjek. Dia menghubungkan kajian tentang makna kesejarahan dengan
makna kehidupan. Teks tidak cukup dikaji dengan kamus dan grammar, ia
memerlukan pandangan terhadap kehidupan, situasi pengarang, dan audiennya
(Nasution & Haris, 2017:260-261).
Hermeneutika menurut pandangan kritik
sastra ialah sebuah metode untuk memahami teks yang diuraikan dan diperuntukkan
bagi penelaahan teks karya sastra. Kegiatan apresiasi sastra dan kritik sastra,
pada awal dan akhirnya, bersangkut paut dengan karya sastra yang harus
diinterpretasi dan dimaknai. Semua kegiatan kajian sastra, terutama dalam
prosesnya, pasti melibatkan peranan konsep hermeneutik. Oleh karena itu, hermeneutik
menjadi hal dan prinsip yang tidak mungkin diabaikan.
Karya sastra dalam pandangan
hermeneutik ialah sebagai objek yang perlu diinterprestasikan oleh subjek
(hermeneutik). Subjek dan objek tersebut adalah term-term yang korelatif atau
saling bertransformasi satu sama lain yang sifatnya merupakan hubungan timbal
balik. Tanpa adanya subjek, tidak akan ada objek. Sebuah benda menjadi objek
karena kearifan subjek yang menaruh perhatiaan pada objek itu. Maka dari
sinilah karya sastra dipandang sebagai lahan (objek) untuk ditelaah oleh hermeneutic supaya muncul interpretasi
pemahaman dalam teks karya satra tersebut.
Bahasa dalam pandangan hermeneutic sebagai medium yang tanpa
batas, yang membawa segala sesuatu yang ada didalamnya, termasuk karya sastra
menjadi objek kajiaannya. Hermenetik harus bisa bergaul dan berkomunikasi
dengan baik dengan bahasa supaya tercipta transformasi di dalamnya terutama dalam
membedah teks karya sastra.
Menurut kamus, kata religio berasal dari kata latin relego
yang berarti memeriksa lagi, menimbang, dan merenungkan keberatan hati
nurani. Apabila kata religius ditambah dengan Islam misalnya, menjadi religius
Islam, pengertian religius menjadi lebih tegas, yaitu mengacu pada keyakinan,
berhati nurani, dan saleh menurut norma-norma Islam. Dick Hartoko (dalam
Zoetmulder, 1990) dalam pengantar terjemahannya atas tulisan Zoetmulder,
Manunggaling Kawula Gusti dikatakan bahwa lewat sastra suatu bangsa membuka isi
hatinya. Pendapat tersebut tampaknya relevan dengan pandangan Y.B. Mangunwijaya
(1988:11) bahwa pada mula, segala sastra adalah religius. Lebih jelas lagi
dikatakan oleh Mohammad (1969:88), bahwa sastra religius adalah sebuah genre
sastra yang bermaksud memberikan jawaban kepada situasinya dengan berbasiskan
nilai-nilai yang bersifat tradisional keagamaan. Nilai religius adalah nilai
yang berkaitan dengan keterikatan manusia terhadap Tuhan (Dojosantoso, 1986:3).
Karya sastra sebagai karya kreatif yang mempermasalahkan
manusia dan kemanusiaan yang
bersandarkan pada kebenaran akan menggugah nurani dan memberikan kemungkinan
pertimbangan batin pada diri pembacanya. Sayuti (1999) mengatakan bahwa
terdapat tiga wilayah fundamental yang menjadi sumber penciptaan karya sastra
bagi pengarang, yaitu wilayah kehidupan agama, sosial, dan individual. Dengan
demikian, karya sastra dapat berfungsi sebagai alat untuk mempertebal,
mengukuhkan suasana batin pembaca dalam menjalankan keyakinan agamanya.
Indra Instisa berusaha menggunakan
puisi sebagai media untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan dakwah. Ia berusaha
menembus ruang dan waktu menjelajah ruang-ruang duniawi dan metafisika alam
hidup di dunia dan alam hidup sesudah mati melalui puisi-puisinya. Melalui
puisi dia mencoba menafsirkan adanya ruang-ruang dan waktu yang pasti hadir di
dalam perjalanan kehidupan manusia dan perjalanan panjang setelah kematian.
Ruang, dalam definisi yang dikemukakan oleh
Bakker (1994: 165) merupakan keseluruhan dunia sebagai kebersamaan atau
kolegialitas antara pengkosmos-pengkosmos kuantitatif-kualitatif, yang berelasi
secara dimensional-intensif. Ada beberapa hal pokok yang bisa dikembangkan
lebih lanjut dari gagasan Bakker tersebut. Ruang dalam sudut pandang Bakker,
bisa dikatakan identik dengan dunia, namun dunia yang dimaksudkan di sini tentu
saja adalah dunia yang tidak hanya terbatas pada pengertian dunia fisik saja,
tetapi mencakup semua dunia sejauh yang dialami oleh manusia. Dunia tidak cukup
dibatasi hanya sebagai dunia biotik ataupun dunia fisik saja, namun juga
mencakup dunia dengan dimensi yang lain, misalnya saja dunia non-fisik
(non-empiris), sejauh hal tersebut dialami oleh manusia sebagai subjek yang mempertanyakan
melalui kosmologi (Bakker, 1994: 28). Hal ini mengisyaratkan bahwa ada semacam
hubungan yang mengikat antara ruang dengan pengkosmos/penghuninya, dan ikatan
ini tidak selalu berarti ikatan yang memaksa, namun justru merupakan ikatan
yang melahirkan kebersamaan sehingga penghuni ruang merasa enggan untuk
menyeberang ke ruang yang lain.
Kenyataannya memang demikian: yaitu
bahwa refleksi yang paling mungkin hanyalah refleksi manusia dengan dunia
sebagai ruang yang sangat besar. Ketika manusia memikirkan dirinya sendiri, hal
itu juga berarti memikirkan dunianya karena manusia adalah bagian dari dunia
dan sekaligus berada di dalamnya, di dalam ‘ruang dunia’. Inilah beberapa
kenyataan yang membuktikan bahwa munculnya diskursus mengenai ruang dan waktu,
adalah sesuatu yang niscaya ketika manusia membicarakannya dalam perpektif
kosmologi.
Indra Intisa adalah penulis yang cukup
keratif dengan berbagai macam karya yang telah dia terbitkan, yaitu beberapa
buku tunggal, seperti: Puisi Mbeling “Panggung Demokrasi” (2015), Puisi
Lama—Syair, Gurindam, Pantun, Seloka, Karmina, Talibun, Mantra “Nasihat
Lebah” (2015), Puisi Imajis “Ketika Fajar” (2015), Putika (Puisi
Tiga Kata) “Teori dan Konsep” (2015), Dialog Waktu (2016), Novel: “Dalam Dunia Sajak” (2016), Sang Pengintai (2017) dan Kumcer: “Sungai yang Dikencingi Emas” (2017). Keberagaman
hasil menulis ini menandakan betapa dinamis, aktif, dan kereatifnya seorang
Indra Intisa di dalam menulis. Walaupun Indra telah aktif menulis dengan
berbagai macam karya baik puisi maupun prosa ini dia selalu enggan disebut
penyair dan dia lebih suka disebut sebagai penulis.
Di dalam buku antologi tunggalnya kali
ini, Indra Intisa memberikan judul kuberi kau nama: tuan. bukan fulan. Buku kumpulan puisi ini terwujud
menjadi kumpulan puisi satu napas tema. Di dalam hal ini, puisi-puisi yang
disuguhkan adalah penggambaran sebuah perjalanan menembus ruang dan waktu dalam
kehidupan sesungguhnya. Melalui kumpulan puisi ini Indra Intisa tampak telah
menafsirkan ayat-ayat Tuhan dan ayat-ayat kehidupan, juga telah menafsirkan dan
menembus batas-batas ruang dan waktu. Kemampuan menembus itu mewarnai
tulisannya. Kumpulan puisi ini ditulis dengan begitu naratif bahkan begitu
dramatis alur cerita di dalamnya.
Membaca keseluruhan puisi ini
mengingatkan saya pada cerpen A.A. Navis yang berjudul Robohnya Surau Kami. A.A. Navis menceritakan tentang betapa
pentingnya keseimbangan cara hidup manusia antara kehidupan duniawi dan
kehidupan yang berusaha untuk mencari bekal untuk kehidupan di akhirat. A.A.
Navis bercerita dengan gaya yang halus namun sarat dengan sindiran kepada
pembaca yang tentang kehidupan yang seimbang antara garis vertikal dan
horizontal.
Puisi-puisi
yang Indra Intisa tulis ini secara tematis sarat dengan satire (sindiran atau
ejekan) terhadap pembaca. Pembaca dalam pengertian yang luas bahkan termasuk kepada
penulis sendiri. Gaya bahasa yang satire ini ditulis dengan tetap melihat dan
menganalisis sindiran atau ejekan yang lumrah terjadi di dalam kehidupan
masyarakat. Sindiran yang halus ini—mampu membawa perenungan—mengajak pembaca
untuk berpikir dan menerjemahkan sendiri pesan-kritik di dalamnya. Sebagaimana
kita tahu, kita (manusia) adalah pembaca: melihat, mendengar, meraba, mengecap,
kemudian menyimpulkan apa-apa yang telah ditangkap oleh indera.
Kuberi kau nama: tuan. bukan fulan adalah interpretasi Indra Intisa terhadap keberadaan ruang
dan waktu. Ruang dan waktu kehidupan yang tidak hanya berbatas kehidupan di
dunia namun ada kehidupan-kehidupan lain yang bahkan lebih lama, lebih panjang
dari kehidupan di dunia, yaitu kehidupan setelah kematian manusia. Kehidupan
tersebut adalah kehidupan di dunia dan kehidupan setelah kematian. Kehidupan
dunia adalah kehidupan yang kita jalani saat ini di dunia.
Membaca seluruh puisi Indra Intisa di
dalam buku ini, saya mendapati diksi-diksi yang dipandang bernilai religius
dengan gaya bahasa satir dan mendominasi dalam hampir semua puisinya. Ada
getaran ketakutan yang luar biasa saat saya membaca dan menelusuri makna
puisi-puisi tersebut. Ketakutan-ketakutan yang saya rasakan juga
kegerian-kengerian tersebut adalah berkenaan dengan dosa-dosa dan neraka
sebagai imbalan dari seluruh aktivitas manusia di dunia. Semua ini diungkapkan
apa adanya. Semakin saya gali dan gali lagi dalil-dalil Al-Quran dan Hadits
saya dapati pemahaman yang nyata dari puisi yang tertuang.
Apa yang dituliskan Indra ini sebagai
bentuk hermeneutikanya terhadap kandungan isi Alquran dan Hadits sebagai
pedoman umat Islam dalam melangkah. Sebagai pedoman yang dia imani sebagai
seorang muslim. Hermeneutika yang dia lakukan secara awam, saya katakan
hermeneutika pemahaman kandungan Alquran dan Hadits karena yang dia lakukan
bukan menggunakan dasar-dasar berpikir dan kekuatan diri dalam menafsir Alquran
yang sesungguhnya dibutuhkan adanya ilmu tafsir. Pendekatan penafsiran dia
terhadap dosa dan neraka melalui puisi-puisi yang membentuk sebuah rangkaian
perjalanan kehidupan manusia “tuan” dan “fulan” dengan begitu saja mengalir
bahkan membentuk karakter penulis yang surealis dalam puisi-puisinya.
Keseluruhan dari dua tokoh yang ada
dalam buku ini. Fulan adalah tokoh pelengkap sebagai kebalikan dari sifat dan
nasib tokoh utama. Sedangkan “tuan” adalah tokoh utama sebagai penggerak—obyek
terpenting secara simbolis—sebagai cerminan kehidupan yang nyata. Si tuan lebih
banyak disimbolkan dengan sudut pandang kedua (kau). Sedangkan fulan lebih
kepada pelengkap saja, peran pembantu dan metafor dari ketidaktahuan diri—yang
dianggap remeh oleh orang-orang karena tidak besar. Selain itu, beberapa
puisinya ditulis seperti main-main, mengalir begitu liar. Benar, kata liar
itulah tepatnya untuk mewakili sebagai label gaya Indra dalam menulis puisi.
Semua itu sesungguhnya hanyalah paradoks bagi kehidupan yang sebenarnya.
Suatu Pagi (Pagi Ini)
/1/
gerimis di pagi ini
dan anak-anak burung
mengibas-ngibas bulunya
dan ranting bergoyang
—basah
—ujung-ujungnya lapuk.
/2/
lampu di ujung jalan
mengerjap: mati-hidup
tiangnya basah, sebasah lampu
yang masih mengerjap.
/3/
di sebuah gubuk tua
berdiri istana mewah
kaca-kacanya bening
seperti mutiara. memantulkan
wajah gubuk; anak-anak burung
dan lampu masih
mengerjap.
/4/
hari masih gerimis
Puisi ini merupakan
penggambaran orientasi dalam sebuah cerita kehidupan bermula. Buku kumpulan
puisi ini dimulai dari gambaran sebuah kehidupan dengan rumah yang begitu megah
seperti sebuah bangunan istana dengan kaca-kaca yang bening seperti mutiara di
antara rumah-rumah kecil. Permulaan cerita sudah menggambarkan sebuah
ketimpangan sosial antara si kaya dan si miskin dengan perbedaan kebermilikan
rumah seperti istana yang bersanding dengan gubuk sebagai rumah yang tidak
layak huni sebagai rumah. Gubuk hanya tepat digunakan untuk persinggahan petani
di sawah hanya untuk sekedar melepas lelah dan dahaga sebelum akhirnya kembali
ke rumahnya.
yang berbisik di hati
lebih tua dari ibu-bapakmu
dari bayi hingga mati
terus hidup memburu
yang bergerak di setiap waktu
lebih longgar daripadamu
dan kau terus sibuk
menggali harta ditumpuk-tumpuk
yang terus berjalan
bujuknya kepadamu
....
Yang Terus-menerus (yang Berbisik), 2017
Ini adalah puisi dengan
penggambaran manusia yang hidup selalu diiringi oleh hawa nafsu dan
bisikan-bisikan setan. Setan yang membisikkan kalimat-kalimat godaan kepada
manusia agar lalai dan sedikit saja mengingat kehiduapan akhirat. Manusia
selalu dibisiki untuk memburu kehidupan duniawiah seolah-olah dia akan hidup
selama-lamanya di dunia.
Berikut ini adalah puisi
yang melukiskan tentang berakhirnya sebuah kehidupan juga kecemasan-kecemasan
dalam mengahadapi sakaratul maut.
Izrail
Kau pernah cemas, tidak?
Saat pintu rumahmu diketuk
pada malam buta.
Tidurmu tak nyenyak
sedang dingin merasuk
dari pori-pori masa lalu.
“Siapa di luar, Ayah?”
tanya anakmu.
Bibirnya membiru
istrimu menahan laju
kakimu menuju pintu.
“Jangan!” pintanya ragu
sedang kau terus menuju
tanpa bisa kau tunggu.
Di balik pintu
kau tak pernah kembali
“Ke mana ayah, Ibu?‟
bingung anakmu.
“Aku takut di depan pintu
Ibu.”
2017
…..
إِذِ الظَّالِمُونَ فِي غَمَرَاتِ الْمَوْتِ وَالْمَلآئِكَةُ بَاسِطُواْ أَيْدِيهِمْ أَخْرِجُواْ أَنفُسَكُمُ الْيَوْمَ تُجْزَوْنَ عَذَابَ الْهُونِ…..
“…. di waktu orang-orang yang zalim
(berada) dalam tekanan-tekanan sakaratul maut, sedang para malaikat memukul
dengan tangannya, (sambil berkata): “Keluarkanlah nyawamu”. Di hari ini kamu
dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan …” (Q.S. Al An’am: 93)
Imam Bukhari meletakkan ayat ini di
dalam kitab shohihnya pada awal permulaan bab “Maa ja a fi ‘adzabil qobri”
sebelum meriwayatkan hadits-hadist tentang siksa kubur.
Diriwayatkan oleh Ath-Thobari dan Ibnu Abi Hatim dari
jalur Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu Abbas tentang ayat di atas, beliau
berkata, “Hal ini terjadi saat kematian, dan yang dimaksud dengan membentangkan
tangan adalah pukulan yang mereka timpakan ke wajah dan punggung mereka”. Meski
hal ini terjadi sebelum pemakaman, namun ia termasuk bagian azab yang terjadi
sebelum hari kiamat. Hanya saja azab tersebut dikatakan sebagai azab kubur,
karena kebanyakan terjadi di dalam kubur dan manusia yang meninggal umumnya
dikuburkan, juga karena orang-orang kafir serta pelaku maksiat yang dikehendaki
oleh Allah Subhanahu wa ta’ala untuk diazab akan diazab setelah meninggal meski
belum dikuburkan. Akan tetapi, yang demikian itu terjadi tanpa diketahui oleh
manusia kecuali siapa yang dikehendaki-Nya. (Fathul Baari)
Sakratul
Di malam
buta, di saat anak-istrimu lelap, di saat tubuhmu tegap, di saat hartamu
gemerlap, di saat jabatanmu menancap, di saat karirmu melesap, di saat
makanmu lahap, kau sungguh tak tak menyangka ada maut yang beringsut dekat.
Pedangnya menyala, berkobar-kobar membakar dada busungmu. Hatimu tak tentu.
Pikirmu gagu. Tubuhmu kaku. Tanya beribu di kepala, kaubisu. "Oh,
siapa gerangan? Ada apa gerangan? Bagaimana gerangan? ... "
Kau
tertangkap dan tertawan. Ribuan pedang menusuk rusukmu, sampai remuk. Tubuh
gemuk berderai. Dadamu pecah terburai. Ada beberapa ular hitam,
kalajengking, lifan, belatung, meloncat dari dadamu. Tiba-tiba kauingat si
fulan yang mati kelaparan, si falun yang mati tak berobat, si fulun yang
mati kebanjiran, si folon yang mati keguguran, si felen yang mati ditabrak.
Lolongan mereka terus berubah menjadi pedang yang kian tajam, kian bara,
kian dalam, kian panjang, kian besar, kian banyak. Tak tertahan oleh egomu
yang biasa tumbuh subur serupa jamur di sela-sela ketiak dan
selangkanganmu. Ih, gatal.
Maut bersenda-gurau. Kau tak merasa geli? Bermainlah
dengannya. Pasang
taruhanmu.
Kira-kira kau menang berapa? Kelak bisa kaubawa pulang sebagai modalmu ke
akhirat.
2017
|
Kehidupan setelah kematian adalah (1)
kehidupan di alam kubur (barzah). (2) Kebangkitan (ditiupkannya sangkakala oleh
malaikat Israfil). (3) Hari penggiringan ke padang Mahsyar (setiap manusia
diiringi oleh 2 malaikat, yaitu penggiring dan saksi semua perbuatan kita di
dunia). (4) Hari Penimbangan amal baik dan amal buruk. (5) Hari Hisab (yaumul
hisab) , yaitu penghitungan amal. Semua amal kebajikan dan kejelekan sekecil
apapun akan mendapatkan balasannya. (6)Perjalanan kehidupan setelah kematian
masih terus berlanjut, yaitu melintasi jembatan yang lurus (shirotol mustaqim)
dalam melintasi jembatan ini proses hisab sebelumnya dijalani sangat menentukan
nasib manusia. (7) kehidupan akhirat kemudian surga dan neraka. Surga bagi yang
hasil hisabnya lebih berat amal kebaikannya dan lulus dalam menyeberangi jalan
yang lurus dan neraka bagi hisabnya lebih berat amal kejelekannya dan gagal
dalam menyeberangi jalan yang lurus (shirotol mustaqim).
Runtutan alur kehidupan dari hidup
hingga hidup sesudah mati ini tampak sekali dalam seluruh isi buku ini
membentuk sebuah alur perjalanan kehidupan manusia dari hidup hingga hidup
setelah mati.
sesungguhnya Kami
telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.
Kemudian Kami
kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka),
kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.
Hari Pertama
Jejak
kaki pelayat pelan-pelan tinggalkan tuan.
Pesta
baru dimulai. Dua malaikat bertanya,
"Siapa
Tuhanmu! Siapa nabimu! Apa kitabmu!"
Si tuan
gemetar, ia ingat saat gemar
mengejar
gelar, mengejar dunia, agar
makmur
mengucur seperti papan peluncur.
"Si
Tuan memang kaya," puji anjing hitam
berbulu
tajam. Liurnya terus menetes.
Hampir-hampir
buatnya karam.
"Ayo
kita berpesta," ajak si tuan.
Ia
tersentak, dua palu meremukkan tulang.
"Ini
jamuan ternikmat," kata malaikat.
Sepiring
tuan terpotong-potong.
Jadi sate
lidah, bakso urat,
Daging
guling, panggang daging.
"Hmm,
benar-benar nikmat.
Ayo kita
habiskan!"
2017
|
Setelah kematian, maka manusia dengan
nama sebesar dan seterkenal apapun lalu berubah sebutan menjadi jenazah/mayat
yang dimandikan, dikafani, dishalatkan, lalu dimakamkam. Setelah tujuh langkah
pengantar jenazah meninggalkan makam maka malaikat langsung menghampiri sang
mayit di alam kubur.
“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan
yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan
orang-orang yang dhalim dan Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.” (QS. Ibrahim: 27)
Imam Ahmad meriwayatkan dari Al-Barra’ bin Azib, katanya “Kami keluar bahwa Rasulullah Sholallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Seorang muslim jika ditanya di dalam kuburnya, maka ia akan bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan-Nya. Demikianlah penjabaran dari firman Allah, “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan Ucapan yang teguh .”.(HR. Abu Dawud, no. 4750)
Sufyan As-Sauri telah
meriwayatkan dari ayahnya, dari Khaisamah, dari Al-Barra sehubungan dengan ayat
di atas adalah bermakna azab kubur. (Tafsir Ibnu Katsir)
Ibnu Abi Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Usman, dari Hakim Al-Audi, telah menceritakan kepada kami Syuraih ibnu Muslimah, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Yusuf, dari ayahnya, dari Abu Ishaq, dari Amir ibnu Sa’d Al-Bajali, dari Abu Qatadah Al-Anshori sehubungan dengan ayat di atas: Bahwa sesungguhnya orang mukmin itu apabila mati (dan telah dimakamkan), maka ia didudukkan di dalam kuburnya dan dikatakan kepadanya, “Siapakah Tuhanmu ?” Ia menjawab, “Allah”. Dikatakan lagi kepadanya, “Siapakah nabimu ?”. Ia menjawab, “Muhammad ibnu Abdullah”. Pertanyaan tersebut diajukan kepadanya berkali-kali, kemudian dibukakan baginya sebuah pintu yang menuju ke neraka, lalu dikatakan kepadanya, “Lihatlah tempatmu di neraka itu seandainya kamu salah dalam jawabanmu”. Kemudian dibukakan baginya sebuah pintu menuju surga, lalu dikatakan kepadanya, “Lihatlah tempat tinggalmu di surga, karena kamu benar dalam jawabanmu”. Aapabila orang kafir mati, maka ia didudukkan di dalam kuburnya, lalu dikatakan kepadanya, “Siapakah Tuhanmu ? Siapakah nabimu ?”. Ia menjawab, “Saya tidak tahu, hanya saya mendengar orang-orang mengatakan sesuatu tentangnya”. Dikatakan kepadanya, “Kamu tidak tahu”. Kemudian dibukakan baginya sebuah pintu menuju surga, lalu dikatakan kepadanya, “Lihatlah tempatmu jika kamu benar dalam jawabanmu”. Kemudian dibukakan baginya sebuah pintu ke neraka, dan dikatakan kepadanya, “Lihatlah tempatmu sekarang, karena kamu salah dalam jawabanmu, (Tafsir Ibnu Katsir)
Ibnu Abi Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Usman, dari Hakim Al-Audi, telah menceritakan kepada kami Syuraih ibnu Muslimah, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Yusuf, dari ayahnya, dari Abu Ishaq, dari Amir ibnu Sa’d Al-Bajali, dari Abu Qatadah Al-Anshori sehubungan dengan ayat di atas: Bahwa sesungguhnya orang mukmin itu apabila mati (dan telah dimakamkan), maka ia didudukkan di dalam kuburnya dan dikatakan kepadanya, “Siapakah Tuhanmu ?” Ia menjawab, “Allah”. Dikatakan lagi kepadanya, “Siapakah nabimu ?”. Ia menjawab, “Muhammad ibnu Abdullah”. Pertanyaan tersebut diajukan kepadanya berkali-kali, kemudian dibukakan baginya sebuah pintu yang menuju ke neraka, lalu dikatakan kepadanya, “Lihatlah tempatmu di neraka itu seandainya kamu salah dalam jawabanmu”. Kemudian dibukakan baginya sebuah pintu menuju surga, lalu dikatakan kepadanya, “Lihatlah tempat tinggalmu di surga, karena kamu benar dalam jawabanmu”. Aapabila orang kafir mati, maka ia didudukkan di dalam kuburnya, lalu dikatakan kepadanya, “Siapakah Tuhanmu ? Siapakah nabimu ?”. Ia menjawab, “Saya tidak tahu, hanya saya mendengar orang-orang mengatakan sesuatu tentangnya”. Dikatakan kepadanya, “Kamu tidak tahu”. Kemudian dibukakan baginya sebuah pintu menuju surga, lalu dikatakan kepadanya, “Lihatlah tempatmu jika kamu benar dalam jawabanmu”. Kemudian dibukakan baginya sebuah pintu ke neraka, dan dikatakan kepadanya, “Lihatlah tempatmu sekarang, karena kamu salah dalam jawabanmu, (Tafsir Ibnu Katsir)
Qatadah mengatakan, “Adapun dalam kehidupan di dunia, maka Allah meneguhkan mereka dengan kebaikan dan amal saleh, sedangkan dalam kehidupan akhirat maksudnya diteguhkan dalam kuburnya”. (Tafsir Ibnu Katsir)
Indra Intisa selain
memberikan gambaran-gambaran ruang dan waktu di alam kubur maka Indra juga
memberikan gambaran ruang dan waktu ketika manusia menjalani kehidupan di
akhirat pada saat amal kebaikan dan keburukan manusia ditimbang. Di ruang dan waktu inilah yang disebut dengan
yaumul mizan (hari penimbangan). Pada hari ini seluruh amal kebaikan dan
keburukan manusia ditimbang mana yang lebih berat, apakah kebaikannya ataukah
keburukannya.
Pada puisi berjudul Timbangan ini saya menemukan titik
puncak seluruh rangkaian isi buku puisi perjalanan hidup manusia ini. Pada
puisi Timbangan Indra menggunakan
pola tuang dengan memberikan dua buah puisi (a) dan (b) dalam satu puisi yang
berjudul Timbangan. Pada puisi ini, kita bisa mudah memahami maksud
secara tersurat damal puisi ini namun apa yang terkandung secara tersirat pada
puisi ini maka kita akan terbawa pada sebuah rangkaian renungan yang begitu
panjang dan terus menerus dibawa dalam kegalauan sebagai muslim. Berikut ini
adalah puisi tersebut secara utuh untuk dapat kita cermati.
Timbangan
(a)
(b)
Syirik?
Ada
Durhaka?
Ada
Sesat?
Ada
Korupsi?
Ada
Tamak?
Ada
Rakus?
Ada
Ujub?
Ada
Riya?
Ada
Lalai?
Ada
…
Ada
Ada
Ada
|
Periksa salatnya. Tak ada. Cari di setiap tempat. Tak
ada. Di setiap sudut. Tak ada. Kalau-kalau bersembunyi karena
takut. Tak ada. Bagaimana dengan zakat? Tak perlu. Atau
puasa? Tak perlu. Atau haji? Tak perlu.
Kenapa tak perlu? Temukan dulu salatnya.
Coba periksa di tempat paling tersembunyi. Barangkali ia
pemalu. Suka menyembunyikan amalnya. Tak
ada. Coba periksa di bawah ketiaknya. Sudah diperiksa. Ia malah tertawa. Jangan digelitik. Ia memang
perasa. Kita periksa yang lain saja: sedekah, waqaf, infaq, silaturahmi,
zikir …
Stop! Tak perlu.
|
2018
Pada puisi ini saya membaca dan menelaah
berlama-lama, hingga berhari-hari karena apa yang secara ringan dituliskan
dalam puisi ini rupanya mengandung makna sebagai sebuah landasan pijak dari
setiap rangkain perjalanan hidup manusia. Pada uraian sebelumnya saya telah
menggambarkan bagaimana kehidupan manusia di alam kubur berdasarkan ayat Al
Quran Surat Ibrahim ayat 27 berikut tafsirannya menurut Ibnu Katsir. Pada saat
saya melanjutkan membaca Surat Ibrahim ini pada ayat 28--31 maka sesungguhnya
Allah telah memberikan peringatan agar diperhatikan oleh umat manusia bahwa
ketika manusia menukar nikmat-nikmat yang telah Allah berikan dengan kekafiran
maka sesungguhnya manusia telah menjatuhkan dirinya sendiri dalam kebinasaan.
Dan bagi manusia yang menjadikan dirinya dalam kekafiran sesungguhnya neraka
jahanamlah sebagai seburuk-buruknya tempat kediaman. Orang-orang kafir tersebut
telah menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah supaya mereka menyesatkan (manusia)
dari jalan Allah. Dan sesungguhnya tempat kembalinya mereka adalah neraka.
Setelah bergumul dalam kengerian-kengerian
tentang gambaran neraka terhentilah saya pada ayat ke-31 yang berbunyi “
Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku yang telah beriman; “Hendaklah mereka
mendirikan shalat, menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka
secara sembunyi ataupun terang-terangan sebelum datang hari (kiamat) yang pada
hari itu tidak ada jual beli dan persahabatan”.
Pada puisi Timbangan secara lugas Indra telah
memberikan gambaran tentang timbangan buruk manusia namun juga pada ruang dan
waktu penimbangan tersebut malaikat atas perintah Allah pun menimbang amal
kebaikan manusia. Namun pada puisi ini secara mengejutkan Indra menuliskan
pertanyaan-pertanyaan yang begitu tegas dan dijawab dengat tegas. Keterkejutan
saya terhenti pada larik pertama bagian b
tentang memeriksa shalat setelah keburukan-keburukan dan dosa manusia ditimbang
sebagaimana yang tergambar pada bagian a.
Ketika shalat tak ada maka amalan-amalan kebaikan yang lain pun menjadi tak
perlu lagi dilihat dan dicari bahkan termasuk di tempat tersembunyi yang
bernama zikir karena semua amalan kejahatan telah ada sementara shalat tidak
ada padanya.
“Periksa salatnya. Tak ada. Cari di
setiap tempat. Tak ada. Di setiap sudut. Tak ada. Barangkali
bersembunyi karena malu. Tak ada. Bagaimana dengan zakat? Tak perlu.
Atau puasa? Tak perlu. Atau haji? Tak perlu.
Kenapa tak perlu? Temukan dulu salatnya.
Sudah diperiksa. Termasuk di tempat paling
tersembunyi, tetap tak ketemu. Kita periksa yang lain saja: sedekah, waqaf,
infaq, silaturahmi, zikir …
Stop! Tak perlu”
Pada kata Stop! Tak perlu ini perenungan panjang dan
perdebatan-perdebatan batin saya terjadi. Begini ketika itu yang langsung saya
rasakan, kenapa amalan-amalan kebaikan sudah tidak perlu lagi dicari bukankah
amalan kebaikan sekecil biji zarah pun akan dihitung. Di sini saya berpikir
lama betapa beraninya Indra menuliskan puisi seperti ini. Namun, setelah beberapa
waktu saya menelaah makna dan terus menggali ayat-ayat Alquran tentang shalat
dan keutamaan shalat makan saya menemukan hermenautika dari apa yang
disampaikan Indra dalam puisinya.
Memang secara ekstrim
Indra begitu tegas bahwa sudah tidak perlu lagi amalan kebaikan yang lain
ditimbang ketika keburukan-keburukan begitu berat dalam timbangan sementara
shalat tidak ada dalam timbangan kebaikan. Karena kita pahami bahwa shalat
adalah tiang agama. Ketika shalat ditegakkan maka sebagai tiang agama dia akan
berdiri kokoh untuk menyangga agama tersebut namun jika shalat tidak ditegakkan
maka runtuhlah agama. Sebagaimana kita ketahui bahwa sesungguhnya shalat itu
mencegah kita dari perbuatan keji dan munkar. Maka tepatlah bahwa jika perbuatan-perbuatan
keburukan yang lebih banyak dikerjakan karena shalat tidak pernah dikerjakan
(ditegakkan).
Perintah Allah adalah
dirikanlah shalat bukan semata mengerjakan shalat, namun shalat yang dalam
pengertian shalat yang mampung mencegah manusia dari perbuatan keji dan mungkar
bukan semata shalat sebagai menjalankan kewajiban rutinitas umat muslim dengan
melakukan geraka-gerakan dan bacaan shalat. Shalat diharapkan menjadi
pengendali hati manusia karena shalat yang dikerjakan sudah mampu mencegahnya dari
perbuatan keji dan munkar.
Dalam surat Al-Maun
Allah menyatakan tentang celakanya bagi orang-orang yang shalat, yaitu
orang-orang yang lalai dalam shalatnya. Lalai di sini bukan dalam pengertian
lupa mengerjakan shalat, namun orang-orang yang berbuat riya dan enggan
(menolong dengan) barang berguna, dan ini dimaksudkan pertolongan yang harus
dilakukan untuk memberikan makanan bagi orang miskin dan larangan menghardik
anak yatim, karena yang demikian itu sesungguhnya telah mendustakan agama
allah.
Jadi inti dari
semuanya adalah shalat yang didirikan secara tegak (secara benar dalam
implementasi hidup sehari-hari) sehingga karena shalatlah manusia terhindar
dari berbuat keji dan munkar, shalat menjadi benteng pengendali diri manusia
untuk tidak berbuat tamak, ujub, kibir, riya, bahkan juga mengabaikan
masyarakat miskin dan memperbesar dan memperkenyang perutnya sendiri sehingga
lupa adanya hari akhir dan hari pembalasan. Maka yang demikian itulah neraka
sebagai tempat terakhirnya, yang di dalamnya terdapat api yang menyala-nyala
yang melahap dalam kobaran bara apinya sepanjang waktu selama-lamanya di mana
waktu di dunia adalah sehari di alam akhirat. Dapat kita bayangkan betapa lama
waktu yang menjadi tak terhingga.
Sampai pada puisi
terakhir inilah koda dapat kita temukan. Koda merupakan bagian akhir dari
cerita yang mengandung makna dari cerita atau amanat/hikmah yang dapat diambil
dari cerita. Koda sebagai nilai ataupun pelajaran yang dapat diambil dari suatu
cerita. Koda ini dapat ditemukan setelah membaca semua cerita dalam hal ini
adalah puisi dari awal hingga akhir puisi. Koda yang disampaikan Indra pada
keseluruhan puisinya, yaitu nasihat, pelajaran, dan peringatan bagi pembaca
untuk menjalankan hidup sebagaimana kehidupan si fulan yang penuh bersahaja dan
taat dalan kehidupan beragama. Pembaca diberikan
penggambaran-penggambaran/pelajaran kehidupan si tuan sebagai orang yang buruk
budi pekertinya dan tidak menaati perintah-perintah agama. Pelajaran yang dapat
dipetik bahwa shalat adalah kuinci kehidupan di dunia karena berdiri tegaknya
shalat dapat membawa manusia agar tercegah dari perbuatan keji dan munkar.
Adanya koda yang
tersirat pada puisi terakhir berjudul Akhirnya inilah sesungguhnya
penanda bahwa buku kumpulan puisi kuberi
kau nama: tuan. bukan fulan sebagai puisi panjang dengan
judul-judul dan isi yang saling terkait dan mengikat satu sama lain yang
membentuk sebuah alur cerita. Di awal puisi membentuk sebuah orientasi kemudian
dilanjutkan dengan adanya komplikasi-komplikasi dan titik-titik klimaks yang mengerikan.
Titik-titik klimaks puisi yang membewa pembaca pada kengerian-kengerian
akhirnya diturunkan ke dalam dua bagian puisi dalam satu puisi terakhir. Di
puisi terakhir kita seperti dibawa dalam titik-titik kelunglaian agar mencapai
sebuah kesadaran tertinggi akan arti hidup dan bagaimana semestinya hidup harus
dijalankan. Emosi dan psikologi pembaca diajak bermain-main dan menjadi kacau
balau karena isi puisi yang direnungi. Semua pembaca yang bisa membaca dan
mendalami buku puisi ini dapat mengambil intisari dan hikmah dalam pesan-pesan
yang tersampaikan dalam akhir puisi sebagai akhir kisah perjalanan sebuah
cerita.
Demikianlah Indra Intisa menyuarakan
penafsiran-penafsirannya terhadap pemahaman-pemahaman pada ayat-ayat Alquran
secara berani dan tegas dalam puisi-puisinya. Semoga hadirnya buku kumpulan
puisi ini mampu menggugah hati dan keyakinan masyarakat muslim untuk terus
memperbaiki diri dalam menjalankan kehidupan di dunia dengan peribadatan agar terhindar
dari perbuatan keji dan munkar demi bekal menuju alam kehidupan setelah mati.
Selamat membaca buku ini!
*Kata
Pengantar untuk buku kumpulan puisi kuberi kau nama: tuan. Bukan fulan karya
Indra Intisa