Seusai Persekusi Gagal Pihak Kontra Puisi Esai - Narudin
SEUSAI PERSEKUSI GAGAL PIHAK KONTRA PUISI ESAI
Oleh Narudin
Debat pro-kontra puisi esai pada hari Jumat, 16 Februari 2018, berlangsung di Yayasan Budaya Guntur 49, Jakarta, sangat menggelitik baik bagi pihak pro maupun untuk pihak kontra terhadap puisi esai. Debat pro-kontra puisi esai itu merupakan debat serial pro-kontra puisi esai yang pertama dari 6 rencana debat serial selama 6 bulan sepanjang tahun 2018. Debat pro-kontra ini dipandu oleh Isti Nugroho, seorang penerjemah puisi esai bertajuk “Sapu Tangan Fang Yin” karya Denny JA ke dalam teater bersama Indra Trenggono.
Debat pro-kontra puisi esai itu melibatkan empat pendebat (pembicara), berturut-turut Narudin vs Saut Situmorang, Kamerad Kanjeng vs Eko Tunas. Debat dimulai pukul 16.00 WIB, usai pukul 19.00 WIB. Susunan acara debat dibagi tiga sesi. Pertama, sesi bicara selama 15 menit dari masing-masing kubu. Kedua, sesi merespons pembicaraan pada sesi pertama selama masing-masing 5 menit. Dan ketiga, sesi tanya-jawab dengan hadirin di tempat itu. Kegaduhan sekaligus keributan yang sengaja dilakukan oleh pihak kontra tak terkendali rupa-rupanya sebab hadirin dari pihak kontra sekitar 80%, sedangkan hadirin dari pihak pro sekitar 20% saja. Jumlah hadirin yang pincang ini tentu saja bukan tanpa alasan karena pihak kontra memang telah merencanakan persekusi walaupun akhirnya persekusi itu pun gagal alias tak berhasil, tak menang sedikit pun jua! Pertama, emosi dan caci-maki yang serampangan sangat mewarnai jalannya debat yang menegangkan itu. Pihak pro hendak menjelaskan puisi esai dan para penulis puisi esai, tetapi pihak kontra tak menyimak dengan baik isi makalah yang dikemukakan oleh pihak pro sedemikian rupa sehingga debat tersebut bukan sebuah acara debat yang baik. Debat yang baik hanya dikerjakan oleh pihak pro, Narudin, yakni mengungkapkan tesis (tema), lalu merespons, dan menyimpulkan tesis. Sedangkan, pihak kontra, Saut Situmorang, cuma membaca makalah yang ia bawa dari rumahnya seraya membacakan makalah itu dari awal sampai akhir secara menjemukan dan penuh amarah—diselingi dengan kata-kata makian kepada pihak pro.
Seusai persekusi gagal pihak kontra puisi esai, berikut beberapa hal yang patut disimak secara khidmat di sini menyangkut Terms of Reference (ToR) acara debat pro-kontra puisi esai serial pertama di Yayasan Budaya Guntur 49, Jakarta, pukul 16.00 WIB—19.00 WIB. ToR tersebut yang berasal dari bahasa Inggris “Terms of Reference” sebagai “the matters to which a study or report is limited”. Pihak kontra tak berbicara berdasarkan ToR yang sudah diberikan. Artinya, batasan kajian dilanggar secara resmi di atas pentas debat oleh pihak kontra, yaitu Saut Situmorang dan Eko Tunas. Mereka membaca dan berbicara secara umum, bahkan terlalu umum, begitu rupa sehingga pembacaan dan pembicaraan mereka tak menyentuh pokok debat pro-kontra puisi esai sesuai dengan ToR yang telah diberikan beberapa hari sebelumnya oleh moderator debat, Isti Nugroho.
Telah Lahir Angkatan Puisi Esai dan Genre Baru
Telah lahir Angkatan Puisi Esai di tahun 2018. Puisi esai telah lahir dengan Gerakan Puisi Esai Nasional secara besar-besaran yang dicetuskan oleh Denny JA dan para pendiri Angkatan Puisi Esai (founding fathers and mothers), dan segala hal yang mendukung kelahiran puisi esai pun sangat produktif. Sudah dan akan ada 70 buku yang ditulis oleh 250 penulis puisi esai dari Aceh hingga Papua. Puisi esai punya komunitas penulis. Seperti kata H.B. Jassin, sebuah angkatan sastra dapat terbentuk akibat situasi politik atau kondisi sosial yang tengah berlangsung, seperti Angkatan 45 dan Angkatan 66.
Seperti sudah diakui secara luas, secara nasional, puisi esai ialah genre baru. Tak pernah ditulis oleh para penyair Indonesia sebelumnya, bahkan di luar negeri sekali pun. Puisi esai tidak sama dengan renungan filosofis Alexander Pope dalam buku An Essay on Man, tidak sama dengan spekulasi hidup-mati manusia T.S. Eliot yang diambil dari keyakinan Hindu dan Buddha dalam buku The Waste Land. Tidak sama dengan prosa lirik Linus Suryadi AG, puisi epik Ajip Rosidi, puisi pamflet W.S. Rendra, puisi demonstrasi Taufiq Ismail, dan lain-lain. Puisi esai ialah puisi peristiwa sosial yang nyata! Catatan kaki dalam puisi esai sangat utama sebagai fakta sosial yang terjadi, dapat dilacak sumbernya. Catatan kaki (sebab) bagi puisi (akibat). Dalam puisi dulu umumnya, jika ditemukan catatan kaki, itu sekadar penjelas istilah atau keterangan yang bersifat definitif saja—bahkan dapat diabaikan sampai taraf tertentu. Dulu puisi (sebab) bagi munculnya catatan kaki (akibat). Hal ini dapat disebut sebagai gejala “indeks terbalik” di mana catatan kaki sebagai api; puisi sebagai asap. Catatan kaki fakta atau berita; puisi fiksi atau cerita. Catatan kaki ialah realitas sosial; puisi ialah imajinasi dari realitas sosial termaktub.
Dokumen Historis dan Teknik Marketing Gerakan Puisi Esai Nasional
Puisi esai karena fiksi historis (historical fiction)—yang penting untuk mencatat 170 batin bangsa Indonesia dari 34 provinsi oleh 170 penulis puisi esai dari pelbagai kalangan penyair dan non-penyair—merupakan sebuah dokumen historis (historical document) bagi bangsa Indonesia yang multi-budaya ini. Bersama 170 puisi esai yang berisi fakta sosio-historis-kultural dari seluruh provinsi itu, maka akan direkamlah segala khazanah budaya bangsa Indonesia. Jadi, pemikir dinamis atau pemikir modern (modern thinker) yang memikirkan nasib bangsa Indonesia ke depan harus pro terhadap Gerakan Puisi Esai Nasional ini selama positif. Alhasil, dokumen historis itu dapat segera dimanfaatkan oleh kaum sosiolog, kaum sejarawan, kaum budayawan, kaum sastrawan, kaum sineas, kaum sutradara, dan sebangsanya.
Gerakan Puisi Esai Nasional yang menggunakan teknik marketing dengan honor besar itu sesungguhnya teknik pemasaran yang telah banyak dipraktikkan oleh Denny JA di dunia politik dan di dunia bisnis. Masyarakat sastra Indonesia masih awam sekali soal ini. Seperti pernah disampaikan oleh yang punya modal pribadi, Denny JA, bahwa setiap gerakan memerlukan dana besar asal bukan uang negara, bukan uang pihak asing, bukan uang pabrik rokok, bukan uang haram! Dana itu sebagai apresiasi wajar bagi jerih payah para penulis puisi esai yang memang patut dihargai. Karya sastra harus dihargai tinggi. Itulah corak berpikir zaman now yang tepat. Denny JA bukan seorang kapitalis, tetapi ia ingin menghormati jasa kreatif orang lain, sesama manusia yang sedang menuangkan gagasannya lewat medium puisi esai. Ini murni gerakan masyarakat sipil (civil society): dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dengan slogan bersahaja, antitesis terhadap aksioma eksklusif Chairil Anwar tempo dulu: yang bukan penyair boleh ambil bagian. Sebab di sinilah saatnya mengembalikan puisi ke tengah gelanggang, ke jantung masyarakat, setelah selama sekitar 30 tahun terakhir puisi Indonesia dipenuhi oleh puisi-puisi kesepian, jauh dari denyut nadi sosial. Puisi mereka hanya dapat dimengerti oleh kelompoknya saja, kemudian dikomentari oleh kelompoknya itu pula belaka. Puisi-puisi gelap, puisi-puisi kosong makna, puisi-puisi yang berisi bunga-bunga kata belaka seperti jerami mengambang di atas air, seru penyair Inggris abad ke-17, John Dryden. Muncullah kemudian kritikus sastra dunia seperti Dana Gioia dan John Barr, bahkan sampai orang seperti John F. Kennedy merasa bahwa puisi harus terjun ke gelanggang masyarakat agar puisi dapat menjeritkan batin terpendam masyarakat agar politik dan puisi saling berkaitan secara intim—pada akhirnya hidup akan lebih aman dihuni. Bayangkan sejenak, para politikus membaca puisi; para penyair lebih peduli pada politik. Itulah yang diharapkan oleh John F. Kennedy.
Kasus Sastra Paling Heboh Sejak Indonesia Merdeka
Gerakan Puisi Esai Nasional adalah kasus sastra paling heboh sejak Indonesia merdeka. Karena Gerakan Puisi Esai Nasional berlangsung secara serentak di seluruh provinsi Indonesia, yakni 34 provinsi dengan melibatkan 170 penulis puisi esai dari pelbagai kalangan penyair dan non-penyair, masing-masing provinsi terdiri atas 5 orang penulis puisi esai dengan menulis puisi esai berdasarkan kenyataan sosial yang terjadi di sana. Belum pernah terjadi sejak Indonesia merdeka.
Sejak tahun 1995 kehidupan kita ialah kehidupan media sosial, misalnya, Facebook, twitter, Instagram, Youtube, dan sejenisnya demikian semarak mengabarkan suatu isu baik oleh pihak ahli maupun oleh pihak awam sama sekali. Tak ada larangan di media sosial untuk menulis apa pun. Akibatnya, budaya rendah seperti caci-maki, fitnah, berita palsu atau hoaks dapat tersebar hanya dalam satu klik saja. Tak berlebihan jika diutarakan bahwa pihak pro dan pihak kontra puisi esai dengan sendirinya telah melegitimasi sudah berdirinya Angkatan Puisi Esai dengan genre barunya sekaligus kasus sastra terhebohnya setelah Indonesia merdeka atau bahkan sebelum Indonesia merdeka. Kasus puisi esai ini lebih heboh daripada kasus polemik kebudayaan, lekra vs manikebu, dan sastra kontekstual. Inilah kasus sastra yang terjadi di zaman media sosial dengan daya pengaruh yang bersifat nasional. Inilah gerakan sastra yang besar, sistematis, serempak dalam satu waktu, yaitu mulai awal tahun 2018.
Dan kemudian, apabila ada pihak kontra yang masih cemburu secara sosial dengan istilahnya “puisi esai prabayar”, maka itulah Filsafat Cemburu Sosial ala Filsafat Marxis—mudah menuduh orang yang punya modal sebagai gembong kapitalis. Padahal, Denny JA melakukannya dengan niat ingin berkarya sebagai manusia kreatif-inovatif yang punya dana halal. Diamanatkan, lawanlah karya dengan karya, bukan melawan karya dengan larangan berkarya—apalagi ditambah dengan cara-cara yang tak beradab seperti caci-maki, fitnah, adu domba penuh kata-kata keji dan kasar.
Seusai persekusi gagal pihak kontra puisi esai, mari kita bangun sastra Indonesia yang mulia, indah bagai hujan berderai-derai.
***
Dawpilar, 20 Februari 2018
_
*) Narudin, sastrawan, penerjemah, kritikus sastra
_
*) Narudin, sastrawan, penerjemah, kritikus sastra
Sumber: Status Facebook
Narudin Pituin (2 Maret 2018, 5:14 WIB)