Sebuah Pengantar: Kupuisikan Hatiku
Oleh Indra Intisa
Mabuk
Bulir-bilir anggur meluncur perlahan
Memecah di kerongkongan
Menghunjam lambung
Memabukkan
Kunang-kunang beterbangan mengitari jiwa
Lumpuh segala logika
Mati rasa
Koma
Temanggung,
11 Oktober 2016
Puisi lahir dari hati yang dalam. Ia bisa menggelegak
layaknya air yang sedang dijerang pada suhu 100 derjat celcius. Kadang kala ia
membeku seperti es yang hidup dan mendekam dalam lemari pendingin. Atau bisa
juga terbang lepas layaknya angin—ke sana ke mari—ke mana ia hinggap, menerpa
dan berjalan. Puisi yang lahir dari letupan-letupan, emosi, dan amarah, bisa
saja membakar siapa saja yang dilewatinya. Bukan saja pada diri penyair, tentu
saja di luar tuju yang ia maksud. Karena sifatnya multitafsir—penuh dengan
simbolik dan metafor, maka yang disampaikan bisa memebar layaknya cahaya.
Memancar ke mana saja. Tentu saja jika puisi adalah kemarahan ia bisa membakar
siapa saja yang didekatnya. Seperti api yang sedang membakar satu pohon, maka
pohon sekitar bisa ikut terbakar.
Penyair bisa saja mabuk oleh puisinya. Sekalipun tidak
berniat mengajak orang sekitar ikut mabuk. Orang-orang percaya bahwa penyair
hidup dari jalan sunyi. Mereka berjalan, tumbuh dan kembang dari sebuah
ketertutupan. Apakah benar seorang penyair itu adalah seorang yang malu-malu,
ragu-ragu, atau setengah-setengah dalam berbagi? Tetapi di luar itu, para
penyair adalah orang paling jujur, sekalipun isi puisinya terlihat berlebihan.
Orang awam bisa saja berpikir, “Itu tidak mungkin. Itu tidak logis.” Padahal
apa yang ia ungkapkan adalah sebuah gejolak yang sebenarnya—jauh lebih
bergejolak dari apa yang ia rasakan. Jika saja perumpamaan gunung menimpa diri dikatakan keterlaluan, maka sesungguhnya rasa
yang dirasakan penyair jauh dari itu semua. Itulah sebabnya muncul pepatah yang
mengatakan, “Sakit gigi lebih baik dibandingkan sakit hati.” Begitu pula dengan
rasa sedih, dendam, rindu, cinta, dsb., kadang melebihi dari apapun di dunia
ini—tidak mampu diungkapkan. Dan puisi adalah jalan lain untuk menampung
keadaan tersebut.
Membaca kumpulan puisi “Kupuisikan Hatiku”, karya Lontar
Shakuntala ini, memiliki tema dan bahasan yang luas. Benar sudah dari apa yang
tertera pada judul, “Kupuisikan Hatiku.” Penyair yang masih segan-segan,
malu-malu, atau tidak mau menunjukkan jati diri sesungguhnya—terlihat dari nama
yang bukan nama asli—kita sebut saja nama pena—merupakan seorang penyair yang
kuat. Penyair perempuan yang ingin disebut namanya Lontar Shakuntala ini,
secara tidak langsung telah menunjukkan sisi ketertutupannya terhadap sesuatu.
Tetapi di sisi lain ia ingin menunjukkan banyak hal kepada kita semua. Terkait
rasa hatinya, cinta, kritik sosial, nasihat, renungan, dan lain sebagainya yang
ia lihat dari alam. Barangkali baginya, tidak penting diketahui siapa kita
sesungguhnya. Cukup ketahui apa yang telah kita perbuat, lakukan, ungkapkan
pada alam dan semua kehidupan di dalamnya. Saya mengutip istilah, “Jangan lihat
orang dari luarnya. Gayanya. Namanya. Sukunya. Atau apa saja tanpa melihat apa
sesungguhnya yang terjadi di dalamnya. Isi kepala orang lain tidak bisa
dijengkal hanya karena melihat luarnya.”
Lontar Shakuntala termasuk penyair berbakat. Puisi-puisi
pendeknya ditulis dengan pemadatan diksi—pemilihan kata yang benar padat.
Sekalipun tema yang diusung terlihat umum dan melebar, tetapi ia tetap mampu
menulis dan menyusunnya dalam sebuah ketersangkutpautan yang terikat padat,
rapi dan kuat. Kita bisa mabuk saat masuk dalam-dalam ke setiap puisinya. Kita
bisa merasakan haru, sedih, senang, marah, yakin, termenung, dan lain
sebagainya. Seperti pada puisi berikut:
Jiwaku
Berkabung
Cinta
dan rindumu, berkabut dusta
buatku
tersengal
tertatih
di pembaringan
dalam
genang lara tak berkesudahan
Kini,
kucoba redam amarah
tawarkan
darah dan nanah
yang
telanjur pecah
meratai
jiwa
Temangggung, 25 Agustus 2016
Puisi elegi yang ditulis di atas, tentu mampu membuat
kita ikut tersengal, berdetup, dan merasakan apa yang seolah terjadi pada diri
penyair. Pemanfaatan citraan penglihatan seperti “kabut, nanah, darah”, dst.,
tentu mampu seolah-seolah membuat kita melihat sudut gambarnya. Tentu saja
bergabung dengan citraan rasa seperti “berkabung, pembaringan, amarah, pecah”,
dst., yang bisa membuat kita sesak. Kita bayangkan saja sebuah keadaan
berkabung, ada suasana duka yang mendalam, ada tangis, ada hiruk-pikuk yang
tertahan, dst., yang berat untuk diungkapkan. Permainan rima “ah” pada
larik-larik akhir tentu juga menjadi efek sugesti desah yang dalam pada rasa
yang ditimbulkan. Kita perhatikan juga puisinya yang berikut ini:
Gerimis
Bias indahmu
Menetes di jemari
Kedua tanganku
Senja menghilang
Dekap kabut perlahan
Gigil malamku
Puisi pendek dua bait yang ditulis seperti pola tuang
haiku, 5-7-5 di atas tentu juga mampu membawa hiasan tertentu dalam buku ini.
Tetapi, jika kita mau menelaahnya dalam-dalam, pada larik ketiga bait pertama,
sesungguhnya tidak benar jumlah suku katanya berjumlah 5. Jika dipecah justru
menjadi 6 suku kata, yaitu: ke-du-a-ta-ngan-ku. Ketidaksengajaan—saya
beraprangka terhadap penyair—dari jumlah suku kata yang berlebih sebenarnya
menunjukkan jiwa penyair memang benar-benar menggelora. Ada hal lain yang lebih
dalam yang perlu diolah dan dirasakan dari sekadar penentuan jumlah fisik yang
hanya terlihat dari luar saja. Sesungguhnya batinlah yang paling berpengaruh.
Sekalipun sedikit tertutup, sesungguhnya Lontar
Shakuntala tidak benar-benar menutup diri. Ia pun dengan berbesar hati
memberikan wadah, meluangkan tempat untuk beberapa penyair pilihan—dari
keluarga terdekat dan orang-orang dekat—untuk bergabung dalam buku antologi
ini. Sekalipun jumlahnya sedikit, tetapi cukup kuat sebagai pemberi sugesti
dalam buku ini. Seperti pada puisi berikut ini:
Ki
Hajar Dewantara
Karya: Martadinata Delviani
Ki
Hajar Dewantara
Kau
pahlawan pendidikan
Bagi
bangsa Indonesia
Namamu
harum
Kau
selalu dikenang
Baktimu
sungguh agung
Cita-citamu
akan kami lanjutkan
Temanggung, Maret 2017
Puisi di atas boleh saja terlihat sederhana dan diafan.
Tetapi sungguh, puisi di atas adalah sebenar puisi yang jujur dari lubuk hati.
Puisi yang ditulis oleh seorang anak kelas 2 SD, sekaligus anak kesayangan dari
penyair Lontar Shakuntala. Begitulah dalamnya hati penyair, siapa saja bisa
turut serta, tentu saja keluarga terdekatnya untuk menyatu dan berkumpul dalam
sebuah puisi. Karena hakikatnya puisi adalah jiwa paling dalam. Benar adanya
bahwa, “Kupuisikan Hatiku”. Dan keluarga adalah bagian dari puisi.
Pulau
Punjung, 01 Mei 2017
Indra
Intisa, lelaki yang sangat produktif dalam menulis, baik puisi, esai, maupun
cerpen. Sejumlah buku telah lahir dari tangannya, Panggung Demokrasi (2015), Nasehat Lebah (2015), Ketika Fajar (2015),Teori dan Konsep (Puisi Tiga Kata, 2015), Dialog Waktu (2016), Dunia dalam Sajak (2016), Sang Pengintai (2016),
serta Sungai
yang Dikencingi Emas (2017). Ompi -biasa dipanggil- juga menyukai
dunia musik, kini bekerja sebagai PNS, dan tinggal di Sumbar.