Puisi: Rasa, Bahasa, Wacana - Sugiono MP
oleh Sugiono MP
#KAWACA.COM - Beberapa penyair maya meminta agar saya memberikan krisan. Tak selalu kulakukan. Demi kebaikan dan kewajaran proses perjalanan kepenyairannya. Sebab, penilaian karya seni, apalagi puisi, amat relatif. Tergantung pada parameter apa yang digunakan oleh penilai. Banyak teori yang bisa digunakan, satu sama lain saling-silang, dan semua benar adanya berdasar argumentasi yang dipakai.
#KAWACA.COM - Beberapa penyair maya meminta agar saya memberikan krisan. Tak selalu kulakukan. Demi kebaikan dan kewajaran proses perjalanan kepenyairannya. Sebab, penilaian karya seni, apalagi puisi, amat relatif. Tergantung pada parameter apa yang digunakan oleh penilai. Banyak teori yang bisa digunakan, satu sama lain saling-silang, dan semua benar adanya berdasar argumentasi yang dipakai.
Bagi saya, pemuisi yang bergantung pada penilaian pihak lain, siapa jua dia, bahkan dari seorang kritisi pun, menunjukkan bahwa yang bersangkutan belum memiliki pendirian dan sikap kedirian (position). Umumnya mereka adalah para pemula atau yang tengah mencari-cari bentuk kesejatian (warna) puisinya. Saya kawatir penilaian akan memengaruhi perjalanan sastranya. Kalau positif tidak apa-apa. Tapi jika negatif, saya merasa berdosa. Maka, biarlah waktu yang akan jadi penentu.
Namun demikian, dari pengalaman menggauli kata-kata selama setengah abad, saya bisa sampaikan beberapa hal tentang modal untuk menulis puisi yang baik. Di antaranya, olah rasa, bahasa, dan wacana. Apakah itu?
Rasa, tak hanya indrawi, tapi juga jiwani. Senang, nyaman, sedih, sakit, rindu, pilu, gulana, cinta, sayang, pesona, dendam, amarah, dan anekarasa di dada, selayaknya tersublim sehingga bukan sekedar letup emosi sesaat yang mentah. Terolah sebagai bahasa rasa dan tertulis dengan rasa bahasa yang tertepis. Kenapa? Karena puisi yang ditulis tak hanya disimpan di kotak pandora. Ia akan diapresiasikan kepada pembaca, penikmat, yang tak lepas dari hukum dan kaidah komunkasi yang beridiomkan rasa dan logika.
Wacana berarti bacaan (reading), juga wawasan (insight). Karena puisi bermuatan pesan, maksud dan tujuan, tersurat atau pun tersirat, maka penyair haruslah berwacana, berwawasan. Itulah yang membedakan bobot puisi dan usia puisi. Syair yang tak lekang dimakan waktu adalah yang memiliki pesan tentang nilai-nilai hakiki kehidupan yang tersembunyi di balik untaian diksi.
Nah, adakah yang akan kau tanyakan? Jika tidak, coba lakukanlah. Salam sastra.
Bogor, 220218
Sugiono MP/Mpp adalah wartawan, penulis biografi, memori, dan histori yang lahir di Surabaya, 9 Desember 19530. Sempat meraih Hadiah Junarlistik Adinegoro untuk metropolitan (1984) dan Penulis Pariwisata Terbaik (1984). Bukunya yang sudah terbit: Belajar dan Berjuang (1985), Srikandi Nasional dari Tanah Rencong (1987), Sang Demokrat Hamengku Buwono IX (1989), Jihad Akbar di Medan Area (ghost writer, 1990), Menjelajah Serambi Mekah (1991), Ketika Pala Mulai Berbunga (ghost writer, 1992), Melati Bangsa, Rangkuman Wacana Kepergian Ibu Tien Soeharto (1996, Persembahan Wiranto), Pancaran Rahmat dari Arun (1997), Biografi Seorang Guru di Aceh (2004, biografi Prof. DR. Syamsuddin Mahmud), Anak Laut (2005, biografi Tjuk Sukardiman), Selamat Jalan Pak Harto (2008), Pengabdi Kemanusiaan (2010), dan Aceh dalam Lintasan Sejarah 1940-200 (2014).
Dia pernah bekerja di beberapa penerbitan, antara lain: Sinar Harapan (s/d 1984), Majalah Sarinah (1984-1988), Majalah Bridge Indonesia (1990-1995), Harian Ekonomi Bisnis Indonesia (1996), dan Komunikasi (1998). Kini dia sebagai Pemimpin Redaksi majalah online NEOKULTUR.