Puisi Pilihan Zainal Arifin Thaha
Ciuman
Terakhir Menjelang Kematian
di bawah matahari yang meledakledak
keringat begitu deras melumuri tangan malaikat
dan aku yang terpingsan-pingsan dekat jendela
memandang wajahmu dengan gaib asmaradana
"tuhan, beri aku ciuman sebelum nyawa merenggang
meninggalkan tanah surga yang jalang rupawan"
dan matahari mulai lingsir kesebelah wuwung
malaikat merayap-rayap mencari letak nyawa
tangis begitu mengharap hingga ini kamar bagai debur gelombang
tangan menggapai meraih-raih alam lain yang penuh camar
"tuhan, beri aku ciuman biar segera melesat ini sukma
dan terlemparlah bangkai badan dari biru semesta"
Adalah Darah
tetapi bagiku puisi adalah darah
dan engkau begitu maksa merampasnya
padahal di sana ada tuhan
ada janji dan kematian
dan engkau terus saja tak peduli
seakan permainan
dan puisi bagiku tetaplah darah
meski kau tampartampar ini wajah
setelah melipat syairnya
dan meberendongkan ancaman merobeknya
engkau telah kuperingatkan
namun terus saja tak mau mengerti
berlari tinggalkan engkau dari emosi
begitu kutengok sebelum hilang lalu
dari mataku telah berlumuran darah
sekujur tubuhmu
1996
Ziarah Doa
Dan doa adalah
Persembahyangan dalam ziarah
Menali hasrat penuh sedekap
Bersujud diri merambah akrab
Lalu salam sewangi kembang
Bagi kiri kanan tiada pandang
Dan zikir senantiasa sumilir
Mengalirkan cinta dari hulu hingga hilir
Dalam doa ada senyum shalawat
Kepada sesama erat berjabat
Itulah ziarah sepanjang shalat
Pinta dan rahmat diaminkan para malaikat
1996
di bawah matahari yang meledakledak
keringat begitu deras melumuri tangan malaikat
dan aku yang terpingsan-pingsan dekat jendela
memandang wajahmu dengan gaib asmaradana
"tuhan, beri aku ciuman sebelum nyawa merenggang
meninggalkan tanah surga yang jalang rupawan"
dan matahari mulai lingsir kesebelah wuwung
malaikat merayap-rayap mencari letak nyawa
tangis begitu mengharap hingga ini kamar bagai debur gelombang
tangan menggapai meraih-raih alam lain yang penuh camar
"tuhan, beri aku ciuman biar segera melesat ini sukma
dan terlemparlah bangkai badan dari biru semesta"
Adalah Darah
tetapi bagiku puisi adalah darah
dan engkau begitu maksa merampasnya
padahal di sana ada tuhan
ada janji dan kematian
dan engkau terus saja tak peduli
seakan permainan
dan puisi bagiku tetaplah darah
meski kau tampartampar ini wajah
setelah melipat syairnya
dan meberendongkan ancaman merobeknya
engkau telah kuperingatkan
namun terus saja tak mau mengerti
berlari tinggalkan engkau dari emosi
begitu kutengok sebelum hilang lalu
dari mataku telah berlumuran darah
sekujur tubuhmu
1996
Ziarah Doa
Dan doa adalah
Persembahyangan dalam ziarah
Menali hasrat penuh sedekap
Bersujud diri merambah akrab
Lalu salam sewangi kembang
Bagi kiri kanan tiada pandang
Dan zikir senantiasa sumilir
Mengalirkan cinta dari hulu hingga hilir
Dalam doa ada senyum shalawat
Kepada sesama erat berjabat
Itulah ziarah sepanjang shalat
Pinta dan rahmat diaminkan para malaikat
1996
Zainal Arifin Thaha adalah sastrawan
yang lahir di Kediri, 05 Agustus 1972. Gus Zainal—sapaan akrabnya—merupakan
Umbu Landu Paranggi kedua di Yogyakarta. Ia tidak hanya sastrawan yang
produktif menulis puisi, cerpen, opini, artikel, dan esai, di berbagai media
massa melainkan juga getol mendidik anak-anak muda “kurang beruntung” di
Yogyakarta untuk bisa menulis. Kecintaan beliau pada dunia literasi, khususnya
sastra, dibuktikannya dengan merintis pondok pesantren menulis yang diberi nama
Pondok Pesantren Mahasiswa Hasyim Asy’ari Yogyakarta atau yang lebih dikenal
dengan nama Komonitas Kutub. Dari pesantren yang didirikan awal tahun 2000-an
itu lahir penulis-penulis muda berbakat dan berkibar sampai sekarang.
Gus Zainal
mulai muncul ke publik sebagai seorang sastrawan yang produkitif di awal dekade
90-an. Karya-karyanya, baik puisi atau yang lainnya, banyak dipublikasikan di
media massa. Di antaranya, Kompas, Republika, Pelita, Swadesi, Simponi,
Mutiara, Bisnis Indonesia, Harian Terbit, Merdeka, Majalah Panji Masyarakat,
Majalah Amanah, Majalah Hidayatullah, Majalah Alkisah, Pikiran Rakyat, Wawasan,
Suara Merdeka, Rindang, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Merapi, Yogya Post,
Bernas, Suara Muhammadiyah, Solo Pos, Surabaya Pos, Surya, Jawa Pos, Karya
Dharma, Mimbar Pembangunan Agama, Banjamasin Post, dan lain sebagainya.
Buku puisi
tunggal Zainal Arifin Thoha adalah Air Mata Hati (Buku Laela,
Yogyakarta, 2002). Selain itu, puisinya juga terkumpul dalam beberapa antologi
bersama, di antaranya; Ketakutan (Cordova, Yogyakarta, 1992), Musim (Eska,
Yogyakarta, 1993), Sendyakala (Cordova, Yogyakarta, 1994), Risalah
Badai (Eska, Yogyakarta, 1995), Rumpun Bambu, (Sila, Yogyakarta,
1997), Tamansari (FKY, Yogyakarta, 1998), Embun Tajjalli (FKY,
Yogyakarta, 2000), Sembilan Penyair Muda Indonesia (Studio-9, Mojokerto,
2000), dan lain-lain.
Gus Zainal
bersama kawan-kawan sastrawannya seperti, Ahmad Tohari, Mustofa W. Hasyim,
Sholeh UG, Jadul Maula juga sempat menerbitkan Majalah Fadhilah; majalah
sastra pesantren satu-satunya di Indonesia. Pada 17 Maret 2007 di umurnya yang
masih cukup muda, 35 tahun, Gus Zainal dipanggil oleh Sang Yang Maha Kasih.
Namun, sampai saat ini karya-karyanya masih utuh dan masih kerap dibacakan.
Bahkan karya terbesarnya berupa pondok pesantren menulis itu masih utuh sampai
hari ini. Banyak anak-anak muda berbakat dari seluruh penjuru negeri ini
belajar menulis; mengkaji puisi dan cerpen—di Komunitas Kutub peninggalan
beliau. “Jika kau bukan anak raja, kalau kau bukan anak pejabat, maka jadilah
penulis.” Begitulah ucap Gus Zainal, menyitir ungkapan al-Ghazali, kepada
santri-santrinya.