Puisi: Perjalanan yang tak Pernah Selesai oleh Joko Pinurbo
PUISI: PERJALANAN YANG TAK PERNAH SELESAI*
OLEH JOKO PINURBO
#KAWACA.COM - Sajak-sajak
Astrajingga Asmasubrata mengingatkan saya pada puisi Toto Sudarto Bachtiar yang
berjudul “Keterangan” (1955). Sajak yang merupakan “curhat” kepada H.B. Jassin
ini merupakan salah satu sajak yang terus hidup dan mengaktualisasikan maknanya
dalam benak saya. Dengan sajak inilah saya selalu merenungkan kembali apa
sesungguhnya hakikat kerja seorang penyair. Bait terakhir sajak tersebut berbunyi
demikian:
Tanpa
merasa tahu tentang apa
Dia
menyeret langkahnya
Sampai
di mana dia akan tiba
Tapi
dengan jari kakinya ditulisnya sebuah sajak
Puisi memang bukan sekadar untaian kata-kata nan
elok di atas kertas. Apa lagi, seperti dikatakan dalam salah satu frasa sajak
Toto Sudarto, “kata tak cukup buat berkata”. Puisi adalah jejak-jejak
perjalanan dan pergulatan batin yang mengasyikkan dan menggairahkan justru
karena diliputi ketidakpastian. Sajak-sajak Astrajingga tentulah merupakan
bagian yang menyatu dengan perjalanan dan pergulatan batinnya yang sarat dengan
penghayatan dan tanggapan atas berbagai peristiwa dan pengalaman hidup.
Bentuk lain dari perjalanan batin penyair kita ini
adalah penjelajahan dan perjumpaannya dengan karya penyair-penyair lain. Benarlah
bahwa seorang penyair sesungguhnya tidak menulis di atas kertas kosong. Tidak
jarang ia menulis puisi di atas puisi lain yang pernah atau sedang dibacanya.
Dalam arti ini, karyanya merupakan respons atau tanggapan atas karya lain yang
menjadi sumber belajar dan sumber inspirasinya. Wajar juga jika kita sering
menemukan puisi yang seakan-akan merupakan versi lain dari puisi lain. Kita
sama tahu, Chairil Anwar pun telah dengan cerdas dan lihai melakukan kerja
semacam ini. Begitulah proses belajar yang mesti dijalani seorang penyair untuk
menemukan bahasanya sendiri.
Selalu belajar kepada hidup dan kepada puisi,
itulah spirit yang mewarnai sajak-sajak Astrajingga. Menulis puisi tak lain
merupakan bagian dari proses pencarian. Kapan dan di mana pencarian itu akan
berakhir? Ketika seorang penyair sudah “merasa tahu tentang apa” dan mengerti
benar “di mana dia akan tiba”, ketika dia merasa kata-katanya sudah “cukup buat
berkata”, barangkali ia sudah mati.
Angkat kopimu dan nikmati baris-baris sajak
Astrajingga “Di Hadapan Secangkir Kopi”:
Ibu,
hari esok yang dicari belum kudapatkan
Cuma
jejak demi jejaknya mengarahkan kakiku
Terus
berjalan. Dari Marunda ke Pamulang
Nasib
seperti pendulum raksasa melontarku
Ke
utara lalu ke selatan sebelum pecah berderai
Di
hadapan secangkir kopi beratus angin duduk
Kureguk
sampai tandas. Aku menyaput geletar
Yang
menjalar di gigir malam sebab pencarian
Mesti
dilanjutkan, mungkin ke barat atau mungkin
Ke
timur. Antara Kedoya dan Klender kubawa Ibu
Menuju
itu
Yogyakarta,
6 Oktober 2017