Mukadimah II: Perjalanan Pagar Kenabian
oleh Sofyan RH. Zaid
I
Dengan mengucap nama Allah yang Maha Pengasih, lagi Maha Penyayang, tepat pukul 16.00 WIB, Sabtu 31 Januari 2015 di Fit and Food (milik Fithor Faris), Jati Kramat, Bekasi, buku Pagar Kenabian diluncurkan. Peluncuran tersebut ditandai dengan penyerahan buku secara simbolik dari Indra Kusuma (CEO TareSI Publisher) kepada saya. Kemudian, saya menyerahkannya kepada beberapa orang sebagai perwakilan dari tamu undangan. Setelah itu, acara diskusi buku pun dimulai, Weni Suryandari selaku moderator memanggil saya sebagai penulis, dan Yudhistira ANM Massardi sebagai pembicara. Diskusi dan tanya jawab berlangsung khusyuk, hangat, dan penuh kekeluargaan.
Dengan mengucap nama Allah yang Maha Pengasih, lagi Maha Penyayang, tepat pukul 16.00 WIB, Sabtu 31 Januari 2015 di Fit and Food (milik Fithor Faris), Jati Kramat, Bekasi, buku Pagar Kenabian diluncurkan. Peluncuran tersebut ditandai dengan penyerahan buku secara simbolik dari Indra Kusuma (CEO TareSI Publisher) kepada saya. Kemudian, saya menyerahkannya kepada beberapa orang sebagai perwakilan dari tamu undangan. Setelah itu, acara diskusi buku pun dimulai, Weni Suryandari selaku moderator memanggil saya sebagai penulis, dan Yudhistira ANM Massardi sebagai pembicara. Diskusi dan tanya jawab berlangsung khusyuk, hangat, dan penuh kekeluargaan.
Selanjutnya, Hasan Bisri BFC yang bertindak
sebagai MC mengundang sejumlah orang yang hadir untuk tampil membaca puisi, di
antaranya: Imam Maarif, Bambang Joko Susilo, Komar Ibnu Mikan, Herman Syahara,
Budhi Setyawan, Mabda Dzikara, Nani Tandjung, Rini Intama, Nila Hapsari, Alya
Salaisha, Dian Rusdiana, Kamil Dayasawa, Zaeni Boli, dan lainnya. Acara ditutup
dengan Musikalisasi Puisi Ane Matahari (alm), dan doa bersama yang dipimpin
oleh Muhammad Zia Emil. Untuk mengabadikan momen sebagai kenangan, foto bersama
tidak ketinggalan.
II
Rasanya seperti baru kemarin Pagar
Kenabian diluncurkan, ternyata sudah dua tahun berlalu, sampai tahun 2017.
Dalam kurun waktu dua tahun perjalanan Pagar Kenabian, telah sampai di beberapa
tempat, seperti: Yogyakarta, Madura, Madiun, Jember, Malang, Jakarta, dan
lainnya untuk dibedah dan diskusikan. Selain itu, beberapa tulisan tentang Pagar
Kenabian terbit di sejumlah media, baik berupa kritik sastra, apresiasi,
review, resensi, dan lainnya, antara lain:
- “Membuka Pagar Kenabian: Memasuki Rumah Kepenyairan Sofyan RH. Zaid” oleh Jamal T. Suryanata (Majalah Sastra Horison, Nopember 2015);
- “Sofyan Melompati Pagar Pesantren” oleh Marhalim Zaini (Riau Pos, 01 Nopember 2015);
- “Puisi (Tanpa) Pagar” oleh Alex R Nainggolan (Lampung Post, 17 Mei 2015);
- “Puisi Pagar dalam Katarsis Batin Penyair” oleh Subaidi Pratama (Rakyat Sumbar, 04 Juni 2016);
- “Pembaharuan dalam Puisi Sofyan RH. Zaid” oleh Weni Suryandari (AyoBekasi, 06 Februari 2015);
- “Bukan Sembarang Pagar” oleh Dimas Indiana Senja (Kabar Banten, 14 Maret 2015);
- “Pengaruh Kehidupan Pesantren di Puisi Pagar Kenabian” oleh Jack Waluya (Buletin Jejak, Maret 2015);
- “Puisi Pagar, Pertemuan Estetis dan Semangat Pembaharuan” oleh Indra Kusuma (KabarBangsa, 07 Juni 2015);
- “Pagar Kenabian: Sebuah Suara dari Pesantren” oleh Khairul Umam (KabarBangsa, 14 Desember 2015);
- “Pagar Kenabian: Sebuah Universalitas Agama dan Filsafat” oleh Matroni Muserang (Buletin Jejak, April 2015);
- “Sofyan RH. Zaid Memilih Jalan Lain lewat Pagar Kenabian” oleh Ayid Suyitno PS (Berita Buana, 15 Juni 2015);
- “14 Tahun Kesunyian Sofyan RH. Zaid” oleh M. Iqbal Dawami (Resensor Buku, 30 Juni 2015);
- “Pagar Kenabian karya Sofyan RH. Zaid: Puisi Khas Pesantren dan Sumbangsinya terhadap Sastra Indonesia” oleh Esti Ismawati (Manuskrip);
- “Pagar Kenabian: Sebuah Kesadaran atau Keniscayaan(?)” oleh Dimas Arika Mihardja (Manuskrip);
- “Penyair Dituntut Menjelajah Wilayah Estetik Baru” oleh Herman Syahara (Manuskrip);
- “Pagar Kenabian Kembali ke Akar Kembali ke Sumber: Sebuah Kondisi Kesusastraan Indonesia Kontemporer” oleh Shiny Ane (Manuskrip)
- “Gaya Kepenyairan Sofyan RH. Zaid dalam Buku Pagar Kenabian: Kajian Stilistika” oleh Luftiah Noviyanti (Skripsi, Universitas Jember)
Maka, melalui mukadimah II ini saya ingin menyampaikan
terima kasih yang tak berpagar kepada mereka yang telah meluangkan waktu dan
upaya tulus menulis tentang Pagar Kenabian. Sebagai bentuk terima kasih
dari penerbit, TareSI Publisher telah mengkonfirmasi akan menerbitkan semua
tulisan tersebut -bersama tulisan lain yang akan muncul kemudian- dalam satu
buku utuh berjudul “Puisi Pagar: Buku tentang Buku Pagar Kenabian karya
Sofyan RH. Zaid” pada tahun 2019. Semoga rencana tersebut terlaksana dengan
baik tanpa ada aral apapun. Saya juga mengucapkan terima kasih yang tak
berpagar kepada tiga dewan juri Sayembara Buku Puisi HPI (Maman S Mahayana,
Abdul Hadi WM, dan Sutardji Calzoum Bachri) yang telah memilih Pagar
Kenabian masuk 15 nominasi Anugerah Hari Puisi Indonesia 2015.
III
Saya pribadi, membagi konsep garapan
penerbitan buku antologi puisi itu menjadi dua: Pertama, “buku puisi”, yakni
buku yang memuat sejumlah puisi secara tematis, atau setidaknya ada benang
merah yang terhubung dari masing-masing puisi atau bab di dalamnya. Kedua,
“kumpulan puisi”, yaitu buku yang memuat sejumlah puisi non tematis, hanya
mengumpulkan puisi pilihan dan yang terbaik, tidak (harus) ada benang merah, atau
puisi-puisinya berdiri sendiri-sendiri. Dari awal Pagar Kenabian memang
diniatkan sebagai jenis antologi puisi yang pertama, yaitu buku puisi. Menerbitkan
“buku puisi” sebelum akhirnya nanti menerbitkan “kumpulan puisi” bagi saya yang
pemula merupakan pilihan yang tepat.
Bagaimana pun menerbitkan antologi puisi seperti
mengunjuk layang-layang. Harus mampu membaca arah angin, menaikkan
layang-layang, mengulur tali, dan membiarkannya menari di udara. Lalu kita
duduk menunggu sambil sesekali melihatnya: Apakah layang-layang itu masih ada
ada di sana dan mampukah bertahan melawan angin? Atau jangan-jangan sudah
menukik ke tanah, putus tali, tersangkut ranting, atau habis dihajar hujan.
Menurut Sutardji Calzoum Bachri antologi puisi paling tidak menunjukkan sejauh
mana capaian estetik, peralihan tema, pengucapan, dan pencarian-penemuan
seorang penyair dalam proses kreatifnya. Untuk itulah barangkali Pagar
Kenabian diterbitkan.
IV
Sekitar pertengahan tahun 2016, TareSi
meminta izin untuk mencetak ulang Pagar Kenabian karena beberapa orang
memesan, sementara stok bukunya telah habis. Awal tahun 2017, TareSI kembali
‘memaksa’ saya dengan membawa satu alasan yang sulit saya tolak, yakni tanggung
jawab moral. Tanggung jawab moral kepada orang-orang memesan buku dan menunggu.
Selain itu, juga tanggung jawab moral kepada beberapa lembaga dan komunitas
yang mengundang untuk mendiskusikan Pagar Kenabian. Saya pun menyerah dan
menyetujui rencana tersebut. Barangkali hal ini juga bisa menjadi upaya kreatif
menyebar-luaskan atau ‘memasyaratkan’ puisi pagar sebagai spirit (dari)
pesantren. Pada cetakan kedua ini, saya juga melakukan revisi pada beberapa
puisi berdasarkan masukan beberapa orang dan kesalahan di cetakan pertama.
Mencetak ulang Pagar Kenabian bisa
jadi juga salah satu cara mengisi kekosongan atau “seni dalam menunggu”. Saya punya
rencana jangka panjang untuk membuat trilogi puisi pagar yang akan terbit tiap
5 tahun sekali. Dimulai dengan Pagar Kenabian (2015), Pagar Cahaya
(2020), dan Pagar Tunggal (2025). Jarak 5 tahun bukan sesuatu yang bersifat
‘gaya-gayaan‘ atau ‘lagu-laguan’. Namun memang menyiapkan naskah untuk penerbitan
buku bagi saya tidaklah mudah. Alasan utamanya karena saya termasuk orang yang
tidak produktif dalam berpuisi. Baik tidak produktif dalam arti kuantitatif,
maupun kualitatif.
Dalam arti kuantitatif, saya selalu kesulitan
menyelesaikan puisi yang saya tulis, khususnya ketika masuk pada tahap
pengeditan dan ‘pemberian ruh’. Dalam satu bulan, tidak mesti saya bisa menyelesaikan
satu sampai tiga puisi, ditambah lagi dengan hal-hal lain yang menyita waktu di
luar puisi. Dalam arti kualitatif, saya selalu merasa bahwa tidak semua puisi
yang selesai saya cipta, berhasil menjadi puisi. Dari 10 puisi, barangkali
hanya 1 atau 2 yang layak menjadi puisi, sisanya sebagai latihan untuk
‘dibuang’. Dalam kurun waktu 5 tahun, semoga saya diberi kekuatan dan kemudahan
untuk mewujudkan rencana jangka panjang tersebut.
Terakhir, bagi saya, “seseorang yang
mencintai puisi, boleh istirahat dalam menulis, namun jangan pernah istirahat
dalam membaca”.
Semoga Allah. Semoga Muhammad. Amin sajak.
Amin bijak.
Bekasi, 08 April 2017
Salam Kenabian
Sofyan RH. Zaid