Memahami Puisi - Sugiono MP
oleh Sugiono MP
#KAWACA.COM - Sejatinya, puisi adalah roh literasi. Sari pati tuturan prosa. Perasan. Kristal. Oleh karenanya, dia tidak berpanjang-panjang, bertele-tele, meliuk-liku dalam argumentasi, laiknya tulisan verbal. Umumnya sajak lebih ringkas, padat, bernas, berisi pesan hakiki, baik yang jelas, samar, atau pun gelap. Nuansa keindahan rasa bahasa berbalur irama dan musikalisi diksi, simbol-simbol serta metafora, pesan-pesan hakiki baik yang tersurat atau pun yang tersirat, biasa terwadahi dalam puisi.
#KAWACA.COM - Sejatinya, puisi adalah roh literasi. Sari pati tuturan prosa. Perasan. Kristal. Oleh karenanya, dia tidak berpanjang-panjang, bertele-tele, meliuk-liku dalam argumentasi, laiknya tulisan verbal. Umumnya sajak lebih ringkas, padat, bernas, berisi pesan hakiki, baik yang jelas, samar, atau pun gelap. Nuansa keindahan rasa bahasa berbalur irama dan musikalisi diksi, simbol-simbol serta metafora, pesan-pesan hakiki baik yang tersurat atau pun yang tersirat, biasa terwadahi dalam puisi.
Sebagaimana roh, yang hanya menjadi hak prerogatif pengetahuan Yang Maha Tahu, maka syairan pun hanya terfahami oleh strata tertentu dalam dunia perpuisian. Ini bukanlah diskriminasi. Akan tetapi memang demikian adanya.
Para penelaah, sekritis apa pun, cuma berkemampuan memaknai lewat larikan kekata yang tersurat. Jika terbacakan membran suara, irama dan intonasi yang bisa menambahkan. Termusikalisasi pun, tak lebih dari aktivitas irama nada yang mempertambah dasar penilaian. Sedangkan makna di balik aksara yang tersirat, roh dari karya cipta itu, barangkali cuma kreatornya yang lebih kafah memeluknya. Tak jarang seorang kritisi melompati batas realitas cipta, atau bahkan tidak menjangkaunya. Sesungguhnya penelaah hanya menjelaskan persepsinya semata atas syairan yang tersajikan.
Oleh karenyanya, bagi pemula, terus sajalah menulis. Menulis terus. Merangkai kekata, menuangkan liris baris, menyanggit bait-bait sajakmu. Jangan pedulikan yang lain. Kecintaanmu pada puisi, kekawinmu atas kekata, kesetian dan ketekunanmu pada jagat penulisan syair, jalankan tanpa henti, tanpa lelah, sampai mencapai muara susastramu.
Bagaimana jika publik tak memahaminya? Tak apa. Sebab tak selalu yang nyata itu termahfumi adanya. Selain Tuhan, toh kamu barang tentu memahaminya. Percayalah, waktu yang akan jadi penentu. Seperti Galileo yang karyanya baru diakui kebanarannya setelah 360 tahun, begitu pun kiranya nasib puisi yang tak terapresiasi oleh publik pada masanya. Nah, jangan galau. Menulislah terus. Terus menulis. Pada saatnya pengakuan akan tiba bila karyamu memang bermutu. Salam sastra.
Bogor, 230218
Sugiono MP/Mpp adalah wartawan, penulis biografi, memori, dan histori yang lahir di Surabaya, 9 Desember 19530. Sempat meraih Hadiah Junarlistik Adinegoro untuk metropolitan (1984) dan Penulis Pariwisata Terbaik (1984). Bukunya yang sudah terbit: Belajar dan Berjuang (1985), Srikandi Nasional dari Tanah Rencong (1987), Sang Demokrat Hamengku Buwono IX (1989), Jihad Akbar di Medan Area (ghost writer, 1990), Menjelajah Serambi Mekah (1991), Ketika Pala Mulai Berbunga (ghost writer, 1992), Melati Bangsa, Rangkuman Wacana Kepergian Ibu Tien Soeharto (1996, Persembahan Wiranto), Pancaran Rahmat dari Arun (1997), Biografi Seorang Guru di Aceh (2004, biografi Prof. DR. Syamsuddin Mahmud), Anak Laut (2005, biografi Tjuk Sukardiman), Selamat Jalan Pak Harto (2008), Pengabdi Kemanusiaan (2010), dan Aceh dalam Lintasan Sejarah 1940-200 (2014).
Dia pernah bekerja di beberapa penerbitan, antara lain: Sinar Harapan (s/d 1984), Majalah Sarinah (1984-1988), Majalah Bridge Indonesia (1990-1995), Harian Ekonomi Bisnis Indonesia (1996), dan Komunikasi (1998). Kini dia sebagai Pemimpin Redaksi majalah online NEOKULTUR.