Latahnya Afrizal Malna ke Penyair Anwar
Oleh Indra Intisa
#KAWACA.COM ~ Kita tentu setuju, bahwa Chairil Anwar adalah seorang
penyair terbesar yang ada di Indonesia. Tidak sedikit orang, baik pemula,
senior, praktisi, dan dari bangsa-bangsa lain yang ikut serta meneliti,
mendalami, dan mengupas jauh-jauh terkait karya sastra yang telah dibuat oleh
Chairil Anwar. Tentu nama besar dan keagungan karyanya sangat terkenal dan
fenomenal. Akan banyak penyair pemula—yang masih malu-malu—meniru, mengikuti
jejak jalan Anwar. Pun gaya bahasa dan menulis puisi.
Lain daripada itu, Arfizal Malna adalah penyair yang
besar dan hidup setelah zaman Chairil Anwar. Ia terkenal dengan karya yang
mengupas dunia modern dan kehidupan urban, serta objek material dari lingkungan
tersebut. Korespondensi antarobjek itulah yang menciptakan nuansa dan gaya
puitiknya. Imaji-imaji dalam kehidupan sehari-hari, secara berdampingan
ditampilkan secara gaduh, hiruk-pikuk, hampir-hampir chaotic, kacau balau,
semrawut, dan hal-hal yang hadir dalam kehidupan urban. Kekuatan karya sastra,
khususnya puisi dengan diksi-diksi aneh, tema urban (kota), tentu merupakan hal
yang unik sekaligus baru. Bagaimana sebuah lemari, pintu, televisi, kabel,
pabrik, hotel, pecahan kaca, atau apa saja yang ada di sekitar bisa dijadikan
sebuah metafor baru yang cenderung gelap dan surel. Kegelapan simbol bisa juga
terjadi karena ketidakbiasaan kita melihat makna kias—yang biasa mengambil
diksi alam, layaknya daun, air, gunung, dst. Berbanding terbalik dengan Sapardi
Djoko Damono yang banyak memakai alam sebagai bahasan renungan dalam
puisinya—personifikasi, simile dan metafor alam.
Afrizal Malna pun, ikut serta membahas Chairil Anwar
dalam puisinya. Mari kita simak puisinya berikut ini:
PENYAIR ANWAR
Aku
mengaji, anwar anwar
Hidup
dari pasar terbuka dalam tubuh
Orang
tanah yang ditutup senja, anwar anwar
Berlari
seperti kura tak henti membawa jagat
Irama
abad, anwar anwar
Berdentang-dentang
dalam dagingku
Minta
perawan dalam sesaji langit yang jauh
Anwar
membelah tubuh jadi kota mengalir
Menyimpan
tanah dari hujan dan padi-padi
Anwar
mengirim tubuh kaku ke daging-daging
Dihembus
pasar ke pohon-pohon sunyi
Jadi
penyair seribu tahun. O
Makani
Tuhan dalam kuburmu anwar anwar
Aku
orang sunyi berlalu dalam cerita
Puisi Anwar yang ditulis oleh Malna, terkesan gelap dan
mantrais. Saya katakan mantrais itu meminjam ala mantra yang ditulis latah
berulang-ulang. Mantra banyak memakai perulangan bunyi. Sedangkan Malna banyak
mengulang diksi-diksi tertentu yang dimaksud sebagai penguat. Repetisi dari
beberapa diksi, merupakan salah satu ruh dari puisinya. Kalau kita baca, puisi
yang ditulisnya pun telah mengirimkan sinyal frustasi, semerawut, kacaubalau,
yang meneror otak kita. Apakah itu gagal? Tentu tidak. Malna memang piawai
memainkan piskologis pembaca melalui diksi-diksi latah yang meneror.
Dalam kata pengantar bukunya, “Museum Penghancur
Dokumen”, Malna berkata bahwa ia terinspirasi kepada hujan yang terus-menerus
jatuh—merupakan sebuah kelatahan dalam memasukkan diksi. Hujan yang jatuh
sambung-menyambung hidup dalam puisi latahnya. Saya mengatakan latah itu
seperti sebuah keadaan yang ikut-ikut, ulang-mengulang kejadian dan keadaan
yang sama. Apa yang kita simak dan tangkap dari titik hujan yang terus-menerus
jatuh dan menghujam kepala atau wajah kita?
Puisi di atas mengirim diksi /Anwar/ sebanyak sepuluh
kali. Delapan di antaranya adalah kata ulang anwar yang ditulis tanpa tanda
sambung (-). Dua di antara berdiri sendiri. Diksi “Anwar” yang direpetisi mampu
memenuhi otak pembaca—seolah semerawut, tapi bukan. Bagi saya, ini adalah
mantra khasnya Malna. Mantra yang berbeda dari Sutardji. Mantra yang menikam
psikis manusia. Melalui diksi aneh, unik dan urban. Jadi, gilalah seperti Anwar.
Karena Anwar. Atau gila karena mengkaji yang sepotong. Seperti Anwar yang
ditulis tanpa Chairil.
Pulau Punjung, 24 Maret 2017
Indra
Intisa, lelaki yang sangat produktif dalam menulis, baik puisi, esai, maupun
cerpen. Sejumlah buku telah lahir dari tangannya, Panggung Demokrasi (2015), Nasehat Lebah (2015), Ketika Fajar (2015),Teori dan Konsep (Puisi Tiga Kata, 2015), Dialog Waktu (2016), Dunia dalam Sajak (2016), Sang Pengintai (2016),
serta Sungai
yang Dikencingi Emas (2017). Ompi -biasa dipanggil- juga menyukai
dunia musik, kini bekerja sebagai PNS, dan tinggal di Sumbar.