Konsep Epistemologi Islam Muhammad Baqir Al-Shadr
Oleh Indra Kusuma
#KAWACA.COM ~ Pembicaraan epistemologi adalah
pembicaraan yang penting dalam filsafat, karena epistemologi terkait pada
wilayah apa itu pengetahuan, sumber kebenaran, validitas kebenaran dan
metodologi, yang dalam bahasa lain epistemologi berbicara pada wilayah theory of knowledge[1] dan merupakan fondasi terhadap ilmu
pengetahuan. Wacana epistemologi terus mencari jalan untuk menemukan bentuknya
yang tepat, namun epistemologi bisa disebut tidak akan pernah menemukan
bentuknya yang tepat karena masing-masing tempat memiliki kekhasan dan objek
kajian tersendiri.
Secara global epistemologi berpengaruh terhadap
peradaban manusia. Suatu peradaban, sudah tentu dibentuk oleh teori
pengetahuannya. Epistemologi
mengatur semua aspek studi manusia, dari filsafat dan ilmu murni sampai ilmu
sosial. Epistemologi dari
masyarakatlah yang memberikan kesatuan dan koherensi pada tubuh, ilmu-ilmu
mereka itu—suatu kesatuan yang merupakan hasil pengamatan kritis dari
ilmu-ilmu—dipandang dari keyakinan, kepercayaan dan sistem nilai mereka.
Epistemologilah yang menentukan kemajuan sains dan teknologi. Wujud sains dan
teknologi yang maju di suatu negara, karena di dukung oleh penguasaan dan bahkan pengembangan epistemologi. Tidak ada bangsa yang
pandai merekayasa fenomena alam, sehingga kemajuan sains dan teknologi tidak
akan pernah ada tanpa didukung oleh kemajuan epistemologi. Epistemologi
menjadi modal dasar dan alat yang strategis dalam merekayasa
pengembangan-pengembangan alam menjadi sebuah produk sains yang bermanfaat bagi
kehidupan manusia. Demikian halnya yang terjadi pada teknologi. Meskipun
teknologi sebagai penerapan sains, tetapi jika dilacak lebih jauh lagi ternyata
teknologi sebagai akibat dari pemanfaatan dan pengembangan epistemologi.
Epistemologi senantiasa mendorong
manusia untuk selalu berfikir dan berkreasi menemukan dan menciptakan sesuatu
yang baru. Semua bentuk teknologi yang canggih adalah hasil pemikiran-pemikiran
secara epistemologis, yaitu pemikiran dan perenungan yang berkisar tentang
bagaimana cara mewujudkan sesuatu, perangkat-perangkat apa yang harus
disediakan untuk mewujudkan sesuatu itu, dan sebagainya.
Dalam tradisi Barat ketika paradigma
epistemologi berjalan beriringan dengan perkembangan sejarah pemikiran filsafat
di Barat dan ketika sampai di postivisme, Barat menganggap dalam ilmu
pengetahuan inilah epistemologi yang tepat sehingga positivisme menjadi ukuran
terhadap ilmu pengetahuan. Paradigma positivistik menghendaki segala sesuatu
bersifat objektif, dalam arti segala sesuatu mesti bisa diukur dan terukur.
Ukuran segala sesuatu tersebut adalah bersifat rasional dan empirik atau dalam
bahasa sains hari ini terukur lewat apa yang disebut dengan metodologi ilmiah.
Paradigma positivistik menganggap alam hanya sekedar materi tanpa makna dan
alam berjalan dengan hukum-hukum mekanik.
Paradigma positivistik ini jika
dihadapkan pada umat beragama maka umat beragama tidak akan mengerti dengan
agamanya. Dalam Islam, alam bukanlah materi tanpa makna melainkan alam adalah
tanda terhadap kehadiran dan kebesaran Tuhan. Oleh karena itu, ilmu bertujuan
untuk menghadirkan makna pada jiwa dan jiwa pada makna. Dalam usaha menjawab
itu maka para ahli merumuskan epistemologi Islam yang berangkat dari dasar
metafisika Islam yang merupakan fondasi dasar epistemologi dalam Islam.
Sebelum kita menjelaskan tentang
diskursus epistemologi, ada baiknya kita melihat terlebih dahulu apa yang
dimaksud dengan epistemologi. Secara etimologi, epistemologi berasal dari kata
Yunani, episteme dan logos. Episteme berarti pengetahuan, dan logos berarti ilmu. Menurut Harun Nasution, pengertian
epistemologi; episteme berarti
pengetahuan dan epistemologi adalah ilmu yang membahas tentang a). Apa
pengetahuan, b). Bagaimana memperoleh pengetahuan.[2]
Drs. R.B.S. Furdyartanto memberikan pengertian epistemologi sebagai berikut;
Epistemologi berarti: ilmu filsafat tentang pengetahuan atau dengan pendek
kata, filsafat pengetahuan.[3]
Widia Fithri mendefinisikan epistemologi sebagai teori pengetahuan yang benar[4].
Epistemologi juga diartikan cabang studi filsafat yang membahas ruang lingkup
dan batas-batas pengetahuan[5].
Dari dua pengertian di atas nampak bahwa epistemologi bersangkutan dengan
masalah-masalah yang meliputi: (1) Filsafat, yaitu sebagai
ilmu berusaha mencari hakekat dan kebenaran
pengetahuan; (2) Metode, yaitu sebagai metode bertujuan mengantarkan
manusia untuk memperoleh pengetahuan; (3) Sistem, yaitu sebagai suatu sistem
bertujuan memperoleh realitas kebenaran pengetahuan.
Diskursus epistemologi dapat dilacak dari sejarah pemikiran para filosof Yunani kuno,
yaitu Heraklitos (535-484 SM) yang berpendapat bahwa alam semesta ini selalu dalam keadaan berubah, sesuatu yang dingin
berubah menjadi panas,
dan begitu sebaliknya. Dunia
ini selalu bergerak, tidak ada yang tetap, panta
rhei, semuanya mengalir. Implikasi pernyataan ini
mengandung pengertian bahwa kebenaran selalu berubah, tidak
tetap.[6]
Sebaliknya Parmenides (304-475 SM)
berpendapat bahwa segala yang berasal dari penangkapan indera tidak ada yang layak disebut pengetahuan, dan bahwa satu-satunya pengetahuan sejati hanyalah berkaitan dengan konsep-konsep.[7]
Plato (427-347 SM) lebih
cenderung pada rasionalisme Parmenides. Ia berpendapat bahwa pengamatan
inderawi tidak memberikan pengetahuan yang kokoh karena sifatnya selalu
berubah-ubah. Plato tidak mempercayai kebenaran pengamatan inderawi dalam proses pencarian pengetahuan. Ia
mengemukakan bahwa di luar wilayah
pengamatan inderawi ada “ide”. Dunia “ide” bersifat tetap,
tidak berubah-ubah dan kekal.[8] Aristoteles
(384-322 SM) menyanggah teori Plato dengan mengatakan bahwa ide-ide bawaan
tidak ada. Jika Plato menekankan adanya
dunia ‘ide’ yang
berada di luar benda-
benda empirik, maka Aristoteles tidak mengakui adanya dunia seperti itu.
Hukum-hukum dan pemahaman yang bersifat universal bukan hasil bawaan dari sejak
lahir, melainkan dari pemahaman yang dicapai lewat proses panjang pengamatan
empirik manusia. Aristoteles mengakui bahwa pengamatan inderawi itu berubah-ubah, tidak
tetap atau kekal.
Tetapi dengan pengamatan dan penyelidikan yang terus menerus
terhadap hal-hal dan benda-benda konkret,
maka akal akan dapat melepaskan atau mengabstraksikan idenya
dari benda konkret tersebut.[9] Menurut
Aristoteles pengetahuan harus selalu berisi
kenyataan yang dapat diindera, yang merangsang budi
kita kemudian diolah oleh akal pikir.[10]
Pada era hellenisme Romawi
muncul Plotinus (205-270
M) yang berupaya memadukan atau melakukan sintesis antara ajaran Plato dan Aristoteles, tetapi
pada prakteknya ia condong kepada Plato.[11] Plotinus
berpendapat bahwa Yang Satu adalah pangkal
dari segala-galanya. Yang Satu adalah Yang Asal, Yang Sempurna, Yang Menjadi
Sebab Pertama dari segala yang ada,
dari Yang Satu mengalir menjadi wujud yang beragam melalui proses “emanasi”. Proses pelimpahan dari Yang Satu ini
dapat dianalogkan dengan proses pancaran cahaya.
Jadi, pengetahuan dapat
diperoleh manusia melalui pancaran langsung dari Yang Satu atau Tuhan.
Pemikiran ketiga tokoh filosof di atas (Plato, Aristoteles, dan Plotinus)
merupakan representasi pola pemikiran filsafat yang
berkembang secara menyeluruh di dunia Islam dalam bingkai ajaran Islam.[12]
Perlu diingat,
bahwa dalam epistemologi terdapat beberapa
perbedaan mengenai teori pengetahuan, karena setiap ilmu memiliki obyek,
metode, sistem, dan tingkat kebenaran yang berbeda-beda, baik dari sudut
pandang maupun metode.[13] Dalam wacana
pemikiran Islam, secara historis para filosof Muslim telah membahas
epistemologi yang diawali dengan membahas sumber-sumber pengetahuan yang berupa
realitas. Realitas dalam epistemologi Islam
tidak hanya terbatas
pada realitas fisik, tetapi juga mengakui adanya
realitas yang bersifat nonfisik, baik
berupa realitas imajinal (mental) maupun realitas metafisika murni.[14] Mengenai alat
pencapaian pengetahuan, para pemikir Islam secara umum sepakat ada tiga alat
epistemologi yang dimiliki manusia untuk mencapai pengetahuan, yaitu; indera,
akal, dan hati. Berdasarkan tiga alat tersebut,
maka terdapat tiga metode pencapaian pengetahuan, yaitu:
a) metode observasi sebagaimana yang dikenal
dalam epistemologi Barat,
atau juga disebut metode bayāni yang menggunakan indera sebagai
pirantinya, b) metode
deduksi logis atau demonstratif (burhāni)
dengan menggunakan akal, dan c) metode intuitif atau ‘irfāni dengan menggunakan hati.[15]
Miska M. Amien menyatakan, bahwa epistemologi Islam
membahas masalah-masalah epistemologi pada umumnya dan juga secara khusus
membicarakan wahyu dan ilham, sebagai sumber pengetahuan dalam Islam.[16] Wahyu hanya
diberikan Allah kepada para nabi dan rasul melalui Malaikat Jibril, dan
berakhir pada Nabi Muhammad Saw., penutup para nabi dan rasul.[17] Wahyu hanya khusus
untuk para nabi, karena ia merupakan konsekwensi kenabian
dan kerasulan.[18]
Ilham adalah inspirasi atau
pancaran ilahi yang ditiupkan ruh suci ke dalam hati nabi atau wali.[19]
Inspirasi atau intuisi
pada prinsipnya dapat diterima setiap orang.[20] Oleh sebab itu, di satu sisi epistemologi
Islam berpusat pada Allah, dalam arti Allah sebagai sumber pengetahuan dan
kebenaran, tetapi di sisi lain, epistemologi Islam berpusat pada manusia,
dalam arti manusia
sebagai pelaku pencari pengetahuan
(kebenaran).
Terkait dengan bahasan epistemologi Islam, Amin
Abdullah.[21] menyatakan bahwa dalam wacana filsafat Islam,
wilayah metafisika, epistemologi, dan etika menyatu dalam bentuk mistik (mysticism).
Aspek yang lebih menarik dikaji lebih dalam dari ketiga ranah tersebut
adalah hubungan antara “mistisisme” dan “epistemologi”. Di sinilah urgensi epistemologi Islam, karena menurut
laporan sejarah para filosof dan sufi Muslim secara dinamis dari zaman ke zaman
telah melakukan upaya pemaduan atau harmonisasi antara mistisisme dan filsafat dalam rangka mencapai pengetahuan hakiki,
sehingga muncul berbagai paradigma dalam epistemologi Islam.
Sejarah mencatat, bahwa di kalangan filosof Muslim
Paripatetik memiliki perhatian yang sangat kuat dalam membahas epistemologi.
Filsafat Paripatetik adalah gabungan Aristotelian-Neoplatonis, sebagai corak
pertama filsafat Islam yang mencapai kematangannya di tangan Ibn
Sina. Dalam tradisi pemikiran Islam dikenal
dengan “massya’i”, yang berarti
berjalan, karena Aristoteles dalam menyampaikan ajarannya berjalan-jalan
di sekitar gedung olah raga di kota Athena yang bernama paripatos.[22]
Al-Kindi (801-860 M) menyebutkan ada tiga macam pengetahuan manusia, yaitu; pengetahuan inderawi,
pengetahuan rasional, dan pengetahuan intuisi. Pertama, pengetahuan inderawi,
yaitu pengetahuan yang diperoleh secara
langsung ketika orang mengamati obyek-obyek material, kemudian dalam proses tanpa tenggang waktu dan tanpa berpindah ke imajinasi. Pengetahuan yang diperoleh dengan jalan ini bersifat
tidak tetap, tetapi selalu
berubah dan bergerak setiap waktu. Kedua, pengetahuan rasional, yakni
pengetahuan yang diperoleh dengan jalan menggunakan akal yang bersifat universal, tidak parsial dan
bersifat immaterial.
Pengetahuan ini menyelidiki sampai pada hakikatnya. Sebagai contoh adalah
orang yang mengamati
manusia, menyelidikinya sampai
pada hakikatnya dan sampai pada kesimpulan bahwa manusia adalah makhluk yang
berfikir. Ketiga, pengetahuan ishrāqi
yang merupakan pengetahuan yang datang dan
diperoleh langsung dari pancaran
nur-Ilahi. Puncak pengetahuan ini adalah
pengetahuan yang diperoleh para Nabi untuk membawakan ajaran yang
berasal dari wahyu
Tuhan. Menurutnya pengetahuan inilah yang mutlak dan
benar. Pengetahuan ini hanya dimiliki oleh mereka yang
berjiwa suci dan dekat dengan
Allah.[23]
Al-Farabi (870-950 M), mengemukakan bahwa manusia memperoleh pengetahuan melalui daya mengindera,
menghayal, dan berfikir, di mana ketiga daya ini merujuk pada kedirian
manusia, yaitu: jism, nafs, dan ‘aql. Pertama, daya mengindera yang memungkinkan manusia
untuk menerima rangsangan seperti panas dan dingin, yang dengan daya ini
manusia dapat mengecap, membau, mendengar suara, meraba, dan melihat. Kedua, daya menghayal yang memungkinkan
manusia untuk memperoleh kesan dari hal-hal yang dirasakan setelah obyek
tersebut lenyap dari jangkauan indera. Daya ini adalah menggabungkan atau memisahkan seluruh kesan-kesan yang ada sehingga
menghasilkan potongan-potongan atau kombinasi- kombinasi yang beragam, dan hasilnya bisa jadi benar,
bisa jadi salah. Ketiga, daya berfikir yang memungkinkan
manusia memahami berbagai pengertian, sehingga dapat membedakan yang mulia
dari yang hina
serta menguasai seni
dan ilmu.[24]
Ibn Sina (980-1037 M) mengemukakan teori al-Rūh al- Muqaddas (ruh yang disucikan), yakni jiwa insani
yang merupakan fakultas rasional
yang dipersiapkan dari
keterjagaan dan berhubungan dengan
akal universal, dan
kebutuhannya dicukupi dengan ilhām dan
wahyu.[25]
Sesuai dengan tradisi
filsafat Yunani yang universal, Ibn Sina menyatakan bahwa seluruh pengetahuan adalah sejenis abstraksi
untuk memahami bentuk sesuatu yang diketahui.
Ia berpendapat bahwa pengetahuan yang benar dapat diperoleh lewat akal yang merupakan satu-satunya sarana yang
melaluinya, sehingga kita mampu mencapai kebenaran dan membangun kepribadian.[26]
Ibn Rushd
(1126-1198 M) yang populer sebagai “Komentator Aristoteles” berpendapat, bahwa
jalan untuk mencapai pengetahuan ada dua macam, yaitu indera dan rasio. Ibn
Rushd berpendapat, bahwa hanya pengetahuan yang dihasilkan rasio yang bisa dianggap sebagai
pengetahuan sejati, sedang pengetahuan hasil indera tidak
mencapai derajat tersebut, sebab masih bisa tertipu oleh
bayangannya sendiri.[27] Menurut Ibn Rushd,
untuk mendapatkan pengetahuan yang benar tentang Pencipta alam ini hanya dengan
penalaran yang benar berdasarkan logika. Logika merupakan sarana untuk
mendapatkan hakikat kebenaran meyakinkan, yang disebut dengan “metode burhāni” (demonstratif).[28] Akan tetapi,
Ibn Rushd juga berpendapat bahwa jalan untuk menuju kebenaran tidak hanya
melalui refleksi filsafat
(burhāni), namun
ada jalan lain, yakni melalui
analisa mendalam terhadap
kitab suci.[29]
Berdasarkan uraian ringkas tentang
pemikiran epistemologi dari
para filosof muslim Paripatetik menunjukkan bahwa akal atau rasiolah yang
paling dominan sebagai sarana untuk memperoleh pengetahuan yang benar dengan
menggunakan metode demonstratif (burhāni). Posisi al-Qur’an dan al-hadis bagi mereka adalah hanya sebagai
alat legitimasi, sehingga penerapannya dengan cara memberikan takwil yang
rasional.
Salah seorang pemikir besar Islam
yang ikut dalam perbincangan epistemologi adalah Muhammad Baqir al-Shadr[30].
Nama aslinya adalah Muhammad Baqir al-Shadr Haidar Ibn Ismail al-Shadr yang
lahir di Kazimain, Baghdad pada tahun 1350 H / 1931 M. dia adalah seorang
sarjana, ulama, guru dan tokoh politik yang dibesarkan dalam lingkungan yang
religius.[31]
Menurut al-Shadr, epistemologi adalah diskusi yang mempersoalkan sumber-sumber
dan asal-usul pengetahuan dengan meneliti, mempelajari, dan mencoba
mengungkapkan prinsip-prinsip primer kekuatan struktur pikiran yang
dianugerahkan kepada manusia.[32]
Bagi al-Shadr epistemologi adalah bagian penting yang menduduki pusat
permasalahan di dalam filsafat terutama filsafat modern. Epistemologi terkait
kepada bagimana pengetahuan itu muncul di dalam manusia? Bagaimana kehidupan
intelektual tercipta, termasuk setiap pemikiran dan konsep-konsep pemikiran
yang muncul sejak dini? Dan apakah sumber yang memberikan kepada manusia arus
pemikiran dan pengetahuan ini?. Setiap manusia tentu mengetahui berbagai hal
dalam kehidupan, dan dalam dirinya terdapat berbagai macam pemikiran dan
pengetahuan dan tidak diragukan lagi bahwa banyak pengetahuan manusia itu
muncul dari pengetahuan lainnya. Karena itu, akan meminta pengetahuan terdahulu
(yang sudah dimiliki) untuk menciptakan pengetahuan baru. Permasalahannya
adalah bagaimana kita “meletakkan tangan kita” diatas “garis-garis primer”
pemikiran dan atas sumber umum pengetahuan pada umumya.[33]
Al-Shadr menyebutkan bahwa doktrin
rasional sajalah yang dapat memecahkan problem
pembenaran (justifikasi) pengetahuan dan membuat kriteria dan
prinsip-prinsip primer pengetahuan.[34]
Pengetahuan primer terjadi pada diri manusia dengan berangsur-angsur, tetapi
keberangsuran itu tidak berarti bahwa hal itu terjadi karena pengalaman
eksternal, karena kita telah membuktikan bahwa pengalaman eksternal tidak
mungkin merupakan sumber pokok bagi pengetahuan. Keberangsuran itu adalah
sesuai degan gerak substansial dan perkembangan jiwa manusia. Perkembangan dan jiwa substanial itulah yang membuat
jiwa bertambah sempurna dan sadar akan informasi primer dan prinsip-prinsip
dasar, sehingga membuka kapasitas-kapasitas dan kekuatan-kekuatan yang
tersembunyi didalamya. Jadi, jiwa manusia itu sendiri secara potensial
mengandung pengetahuan primer ini dan dengan gerak substansial, intensitas
wujud jiwa bertambah, seihngga apa yang diketahui secara potensial itu menjadi
diketahui secara aktual.[35]
Al-Shadr juga menyebutkan bahwa
semua teori empirikal dalam ilmu-ilmu alam itu berdasarkan sejumlah pengetahuan
rasional yang tidak tunduk kepada eksperimen, tetapi akal langsung
mempercayainya. Pengetahuan-pengetahuan rasional yang tidak tunduk kepada
eksperimen itu ialah: pertama,
prinsip kausalitas, dalam arti tidak mungkinnya “kebetulan”. Karena, kalau “kebetulan itu mungkin tentu seorang ilmuwan alam
tidak dapat menjelaskan secara umum banyak fenomena yang tampak dalam
eksperimen-eksperimennya. Kedua, prinsip
keselarasan antara sebab dan akibat. Prinsip ini menyatakan bahwa hal-hal yang
serupa dalam realitasnya niscaya bergantung pada sebab yang sama. Ketiga, prinsip non-kontradiksi yang
menyatakan kemustahilan terjadinya
penafian dan penetapan sekaligus.[36]
Dari uraian tersebut terlihat bahwa pembuatan kesimpulan ilmiah dari eksperimen
selamanya bergantung pada penalaran silogistik yang didalamnya pikiran manusia
berangkat dari yang umum ke yang khusus, dan dari yang universal ke yang
partikular, persis seperti pendapat doktrin rasional. Jadi menurut Al-Shadr,
empirisme tidak bisa lepas dari rasionalitas.
Al-Shadr juga memperlihatkan
hubungan yang erat antara filsafat dan ilmu pengetahuan, karena menurutnya ilmu
pengetahuan kadang-kadang memberikan fakta-fakta tertentu kepada filsafat agar
filsafat dapat menerapkan prinsip-prinsipnya pada fakta-fakta itu. Dengan
begitu, ia dapat mengemukakan kesimpulan-kesimpulan filsafat baru. Filsafat
juga membantu metode empirikal dalam ilmu pengetahuan dengan hukum-hukum dan
prinsip-prinsip rasional yang digunakan seorang ilmuwan untuk melangkah dari
pengalaman langsung ke hukum ilmiah umum. Hanya saja, meskipun demikian
filsafat terkadang tidak membutuhkan pengalaman inderawi sama sekali, tetapi ia menyimpulkan teori filosofis dari
pengetahuan rasional terdahulu. Karena itu kita katakan bahwa tidaklah harus
bagi kandungan filsafat itu untuk berubah terus menerus mengikuti pengalaman
empirikal, dan tidak harus pula bagi keseluruhan filsafat untuk menyertai
prosesi ilmu pengetahuan dalam tahapan perjalanannya.[37]
Bekasi, 9 Agustus 2016
[1] Widia Fithri, S.Ag.M,Hum, Wacana Filsafat Ilmu, (Padang: Azka, 2004), hal. 27.
[2] Harun Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: 1978),
hal.10.
[3] Drs. R.B.S.
Furdyartanto, Epistemologi, (Yogyakarta, 1978), hal. 8.
[4] Widia Fithri, S.Ag.M,Hum, Wacana Filsafat Ilmu, (Padang: Azka, 2004), hal. 27.
[5] DR. Soedjono Dirdjosisworo, S.H., Pengantar Epistemologi dan Logika,
(Bandung: Remadja Karya CV, 1985), hal. 1.
[6] Ahmad Tafsir, Filsafat
Umum, Akal dan Hati Sejak Thales Sampai James, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
1998), hal. 41.
[7] Imam Wahyudi, Pengantar Epistemologi,
(Yogyakarta: LIMA dan Faisal Fondation, 2007), hal. 87.
[8] Amroni Drajad, Suhrawardi, Kritik Falsafah Paripatetik, (Yogyakarta: LKIS, 2005), hal.
80.
[9] Musa Asy’arie, Filsafat Islam, Kajian Ontologis, Epistemologis, Aksiologis, dan
Perspektif, (Yogyakarta: LESFI, 1992), hal. 23.
[10] Imam Wahyudi, Pengantar
Epistemologi, (Yogyakarta: LIMA dan Faisal Fondation, 2007), hal. 90.
[11] Fu’ad Al-Ahwani, Dirāsat al-Falsafah al-Islāmiyyah, (Mesir: Daar al-Fikr, tt), hal.
85.
[12] Amroni Drajad, Suhrawardi, Kritik Falsafah Paripatetik, (Yogyakarta: LKIS, 2005),
hal. 18.
[13] Suhartono, Suparlan, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: al-Ruzz Media), hal.118.
[14] Mulyadi Kartanegara, Panorama Filsafat Islam, (Bandung: Mizan, 2002), hal. 58.
[15] Mulyadi Kartanegara, Panorama Filsafat Islam, (Bandung: Mizan, 2002), hal. 63.
[16] Miska M. Amien, Epistemologi Islam, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1983), hal.
10.
[17] Amatullah Amstrong, Khazanah Istilah Sufi, Kunci Memasuki Dunia Tasawuf, ter. Nasrullah
dan Ahmad Baiquni (Bandung: Mizan, 1996), hal. 312.
[18] Mulla Sadra, Iksir
al-‘Arifin (Tokyo: Jami’ah Tokyo, 9184), hal. 914.
[19] Amatullah Amstrong, Khazanah Istilah Sufi, Kunci Memasuki Dunia Tasawuf, ter. Nasrullah
dan Ahmad Baiquni (Bandung: Mizan, 1996), hal.112.
[20] Jumantoro dan Syamsul Munir, Kamus Ilmu Tasawuf (Wonosobo: Amza,
2005), hal. 86.
[21] M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi, (Yoyakarta: Pustaka Pelajar,
2006), hal. 14.
[22] Dick Hartoko, Kamus
Populer Filsafat, (Jakarta: Rajawali Press, 1986), hal. 79.
[23] Ahmad Musthofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), hal. 104.
[24] Ahmad Zaenul Hamdi, Tujuh Filsuf Muslim, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004), hal. 77.
[25] Ibn Sina, Ahwāl
al-Nafs, ter. M.S. Nasrullah (Bandung: Pustaka Hidayah, 2009), hal. 167.
[26] MM Sharif (ed), A history of Muslem Philosophy (Delhi: Low Price Publication, 1998),
hal. 159.
[27] Suparman Syukur, Epistemologi dalam Filsafat Ibn Rusyd, (Yogyakarta: IAIN Sunan
Kalijaga, 1996), hal. 145.
[28] Suparman Syukur, Epistemologi Islam Skolastik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hal.
84.
[29] Suparman Syukur, Epistemologi Islam Skolastik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hal.
86.
[30] Selanjutnya disebut al-Shadr.
[31] Fuad Mahbub Siraj, Prinsip Kausalitas Muhamad Baqir al-Shadr, (Jakarta: Jurnal
Universitas Paramadina, No. IV Vol. 7,
2010) hal. 304.
[32] Muhammad Baqir Ash-Shadr, Falsafatuna Pandangan Muhammad Baqir Ash-Shadr terhadap Pelbagai Aliran Filsafat Dunia, terj. M.
Nur Mufid bin Ali, (Bandung: Penerbit Mizan, 1991) hal. 25.
[33] Muhammad Baqir Ash-Shadr, Falsafatuna Pandangan Muhammad Baqir Ash-Shadr terhadap Pelbagai Aliran Filsafat Dunia, terj. M.
Nur Mufid bin Ali, (Bandung: Penerbit Mizan, 1991) hal. 25.
[34] Muhammad Baqir Ash-Shadr, Falsafatuna Pandangan Muhammad Baqir Ash-Shadr terhadap Pelbagai Aliran Filsafat Dunia, terj. M.
Nur Mufid bin Ali, (Bandung: Penerbit Mizan, 1991) hal. 50
[35] Muhammad Baqir Ash-Shadr, Falsafatuna Pandangan Muhammad Baqir Ash-Shadr terhadap Pelbagai Aliran Filsafat Dunia, terj. M.
Nur Mufid bin Ali, (Bandung: Penerbit Mizan, 1991) hal. 51
[36] Muhammad Baqir Ash-Shadr, Falsafatuna Pandangan Muhammad Baqir Ash-Shadr terhadap Pelbagai Aliran Filsafat Dunia, terj. M.
Nur Mufid bin Ali, (Bandung: Penerbit Mizan, 1991) hal. 47.
[37] Muhammad Baqir Ash-Shadr, Falsafatuna Pandangan Muhammad Baqir Ash-Shadr terhadap Pelbagai Aliran Filsafat Dunia, terj. M.
Nur Mufid bin Ali, (Bandung: Penerbit Mizan, 1991) hal. 63.
Indra Kusuma, lahir di Jakarta, 19 Maret 1986. Alumni PP Sunan Giri, Pasuruan, dan Falsafah Agama, Universitas Paramadina, Jakarta. Lelaki yang menyebut dirinya sebagai ‘penikmat puisi dan kopi’ ini tinggal di Bekasi sebagai CEO TareSI Publisher.