Hoax, Suriah dan Terminologi Mayoritas - Mabda Dzikara
oleh Mabda Dzikara
#KAWACA.COM ~ Beberapa hari yang lalu, Silatnas al-Syami yang digelar di Medan telah menghasilkan poin-poin rekomendasi yang menurut saya menarik dan sangat up to date untuk Indonesia zaman now. Rekomendasi ini pun telah membuktikan bahwa para alumni Suriah merupakan kader-kader Ahlussunnah yang konsisten, progresif dan berani untuk menyuarakan sebuah narasi keislaman moderat yang sedang dinantikan oleh masyarakat Indonesia. Setidaknya, alumni Suriah adalah poros alumni Timur Tengah pertama - setau saya - yang merekomendasikan secara serius untuk perang melawan hoax, radikalisme, ekstrimisme dan kriminalitas yang menggunakan propaganda agama; Pun soal terminologi mayoritas (Assawad al-A'dhom) dan tradisi transformasi keilmuan baik "riwayah" maupun "dirayah" yang merupakan inti utama dari ajaran Ahlussunnah wal Jamaah.
Begitu pentingnya narasi komperhensif tentang Ahlussunnah, khususnya dari para alumni Timur Tengah, sehingga jargon mulia ini tidak dipakai hanya sekedar untuk propaganda sentimen keagamaan yang seringkali berujung kekerasan. Semoga hal baik ini akan diikuti oleh sejumlah organisasi alumni Timur Tengah yang lain, sehingga akan tercipta konter narasi yang dinamis untuk perkembangan Islam moderat di Indonesia, dan pastinya menjadi gerbong baru pengawal moderasi disamping NU dan Muhammadiyah.
Berita hoax dan narasi kebencian memang sedang masif di Indonesia. Bukan hanya soal politik, tapi juga hoax dalam persoalan primodial semacam agama dan akidah yang menurut saya memiliki daya rusak yang lebih dahsyat dari hanya sekedar hoax masuknya jutaan pekerja China ke Indonesia. Hoax konflik Sunni-syiah di Suriah contohnya. Hoax itu telah menciptakan umpatan-umpatan yang tidak main-main; "Kafir!; "; "Laknatullah alaik! "; "Semoga segera diazab Allah!", dll, yang menurut saya lebih greget dari hanya umpatan "cebong" atau "micin". Hoax yang memantik isu primodial semacam ini harus kita lawan lebih serius sebab dampaknya akan membuat seseorang bukan hanya dianggap anak kodok, tapi juga disumpahi masuk neraka. Heuheu..
Maraknya hoax di Indonesia terkait isu Sunni-syiah di Suriah ini, jika boleh saya berpendapat, salah satunya disebabkan karena tidak sedikit orang yang terlalu sentimen dengan hal yang sebenarnya mereka tidak pahami secara utuh. Akhirnya, sentimen itulah yang menjadikan mereka membabi buta menyerang sesuatu atau seseorang yang dirasa tidak sejalan dengan mereka. Apalagi jika ada orang yang dia kagumi "kebetulan" juga termakan hoax. Rasanya seperti berhadapan dengan Ibu-ibu bawa motor matik yang pasang lampu sen kanan, tapi beloknya ke kiri. Dan ternyata itu istri kita. Yasudah, pasrah aja lah. Heuheu...
Korban hoax garis keras menurut saya sebenarnya tidak banyak, hanya saja mereka sangat amat militan baik di darat maupun udara, sehingga cukup menakutkan jika tidak ada konter narasi yang menyeimbangkan. Konter narasi hoax agama mestilah juga yang memahami agama, untuk itulah mengapa peran alumni Timur Tengah yang mayoritas belajar agama punya nilai strategis untuk menghadirkan konter narasi ini. Tentu para alumni Timur Tengah yang juga tidak gampang termakan provokasi-provokasi primodial.
Meminjam istilah Gus Mus, "Orang Waras jangan Mau Ngalah", gerakan konter narasi hoax harus dilakukan, tapi juga mesti dengan tetap waras, beretika, memberikan logika serta data yang proposional. Sebab melawan hoax sesungguhnya adalah melawan kerancuan etika dan logika.
Syekh Usamah Sayyid al-Azhari, seorang ulama muda al-Azhar Mesir pernah menganalogikan proses verifikasi kebenaran sebuah berita dengan proses verifikasi hadis. Semakin banyak jalur periwayatan hadis yang bersambung kepada para Ulama-ulama yang adil dan dhobit (kuat hafalan), tidak syadz (asing) dan tidak ber'ilat (cacat), maka hadis tersebut bisa dikategorikan mutawatir. Jika tidak, maka hadis tersebut lemah dan hanya boleh digunakan untuk hal-hal yang terbatas semacam "Fadhail al-A'mal". Dalam proses verifikasi ini, para ulama juga mengecek dengan teliti biografi setiap perawi sampai negara dan kota mana saja yang pernah dikunjungi oleh perawi tersebut.
Sebagai contoh al-Imam Ibnu Asakir (w. 571 H), seorang ulama hadis dari Suriah dan guru dari Sultan Shalahuddin al-Ayyubi yang memiliki karangan "Tarikh Dimasyqa" (Sejarah Damaskus). Dalam karyanya tersebut Ibnu Asakir mencatat laporan-laporan tentang tokoh-tokoh dan ulama serta penguasa yang pernah mendiami Damaskus, termasuk para perawi hadis. Sehingga dapat terdeteksi siapa saja orang-orang yang pernah berkunjung langsung ke Damaskus dan meriwayatkan kisah tentangnya atau orang-orang yang hanya sekedar meriwayatkan berita tentang Damaskus dari orang lain. Yang jelas, validitas hadis (baca; berita) dari orang-orang yang pernah berkunjung langsung, merasakan kehidupan dan mencium keringat masyarakat sebuah daerah yang dikisahkan, insya Allah lebih kredibel.
Walaupun metode ini agak sulit jika diterapkan dalam proses verifikasi berita, tapi setidaknya kita bisa mengambil benang merahnya, yaitu carilah sumber informasi yang paling kredibel dan otoritatif dalam usaha kita mendedah sebuah berita. Kalaupun sulit, carilah yang paling mendekati syarat-syarat verifikasi yang tadi disebutkan; sumber berita yang valid; objektif; logis; dan otoritatif. Dalam kasus Suriah, mengapa kita harus lebih percaya kepada kesaksian para alumni dan mahasiswa Suriah? Sebab mereka lebih memahami konteks dan kultur daerah yang mereka kisahkan. Beberapa kota seperti Aleppo dan Raqqa yang dulu dikuasai pemberontak sudah dibuka, jelas tidak susah bagi mereka untuk mengakses langsung keadaan disana serta mendapatkan berita dari koran-koran lokal dan tokoh-tokoh otoritatif setempat.
Di dalam tradisi hadis pula, ilmu atau pengetahuan itu dibagi menjadi dua; riwayah (transmisi hadis dari orang ke orang) ; dirayah (epistemologi hadis/pemahaman substansi hadis). Saya, misalkan, mendapatkan hadis dari fulan yang mendapatkan dari fulan dari fulan dan seterusnya. Itu adalah riwayah. Adapun dirayah adalah pemahaman saya tentang isi dari hadis tersebut; kandungannya; hukum di dalamnya; proses pensabdannya; dll. Riwayah dan dirayah sama-sama penting. Tapi, jika ditanya, mana dari keduanya yang paling penting? Jelas dirayah, yaitu pemahaman substansi sebuah hadis/ilmu, ketimbang rekam transmisinya. Saat ini banyak yang mengaku mendapatkan riwayat ilmu/hadis dari ulama fulan atau fulan hanya sebagai legitimasi bahwa ilmunya bersanad, tapi justru pemahaman dan pengamalannya bertentangan.
Pun saya yakin begitu juga dengan berita. Dalam menggali sebuah kesimpulan berita, seorang pembaca harus memahami konteks berita sehingga tidak ada kesimpulan yang terkesan dipaksakan.
Contohnya seperti berita hasil muktamar di Mesir pada tahun 2013 tentang Suriah, dimana konon ada 500 ulama Dunia berkumpul dan sepakat bahwa Basyar Assad dan yang mendukungnya harus dibunuh. Muktamar ini memang ada dan dilaksanakan di Mesir, namun justifikasi bahwa ulama dunia sepakat untuk memvonis bunuh adalah mengada-gada. Sebab saat itu pimpinan tertinggi Azhar saja tidak diundang sebagai yang memiliki otoritas keagamaan disana. Pun ratusan ulama Ahlussunnah poros utama lainnya di Timur Tengah maupun Dunia. Dari sini terlihat jelas bahwa fatwa itu dihasilkan oleh sebuah muktamar yang tidak legitimed. Akhirnya, fatwa bunuh inilah yang menjadikan Syekh Said Ramadhan al-Buthy syahid di tangan radikalis pro fatwa sebab dianggap mendukung Basyar Assad.
Orang yang mengaku dirinya Ahlussunnah pasti terbiasa dengan metode riwayah dan dirayah. Itulah mengapa santri-santri pesantren yang terbiasa mengaji kepada para kiyai atau mahasiswa Timur Tengah yang rajin talaqqi ke para masyayikhnya akan cendrung terjaga dari hoax murahan macam isu perang Sunni-syiah.
Jika terlalu sulit untuk memahami riwayah dan dirayah, hal yang paling sederhana - menurut saya- adalah ikut terminologi mayoritas. Tentu dalam perspektif agama, maksud mayoritas disini bukan suara orang awam seperti kita, tapi pendapat mayoritas para ulama moderat - bukan ulama radikal- atau yang merepresentasikan lembaga keulamaan, agar kita masuk kategori "Assawad al-A'dhom".
Jika dalam kasus Suriah, mayoritas para cendekiawan terkemuka di Mesir, Suriah, bahkan Indonesia menyatakan bahwa konflik ini bukan Sunni melawan Syiah, lalu kenapa kita ko terus ngeyel menyatakan bahwa konflik ini adalah Sunni-syiah sebab ada statement Ustadz yang "kebetulan" kurang informasi tentang ini? Mengatakan konflik ini bukan Sunni-syiah itu bukan berarti membela Basyar Assad. Itu beda pembahasan. Para alumni Suriah pun, sependek yang saya pahami tidak pernah membela Basyar Assad, apalagi dengan membabi-buta. Informasi tentang Suriah mereka hadirkan dengan rasa inshof untuk memberikan pemahaman yang utuh tentang konflik ini.
Akhirnya, saya ingat apa yang disampaikan Syekh Taufiq al-Buthy (anak dari Syekh Said Ramadhan al-Buthy) , saat Silatnas Syam tahun lalu di Jogja yang kebetulan saat itu saya dan istri hadir disana. Beliau ditanya, "Apakah anda membela Basyar Assad?", "Kami tidak membela Basyar Assad. Para cendekiawan seperti kami malahan berupaya untuk memberikan nasehat terbaik kepada Assad untuk kita semua dapat keluar dari fitnah ini", ungkap beliau.
Jika orang sebaik Nabi Musa as., Allah utus kepada pemimpin seburuk Fir'aun, namun dengan sebuah amanah untuk menasihati Fir'aun dengan nasehat yang paling lembut. Bagaimana pendapat sahabat sekalian ketika kita ingin memberikan nasehat kepada pemimpin yang tidak lebih buruk dari Fir'aun dan kita yang tidak ada seujung kukunya lebih baik dari Nabi Musa as.?
Tabik!