Esai Narudin yang Paling Ngawur
Oleh Ersa Sasmita
#KAWACA.COM - Sebenarnya saya tidak
berniat ikut terlibat dalam polemik medsos antara Narudin Pituin (NP) dan para
penyair itu, tapi akhirnya ikut terusik juga ketika NP menurunkan tulisan
seputar puisi "Aku" Chairil Anwar. Tulisan kritik yang saya nilai paling ngawur dari tulisan
kritik yang pernah saya baca.
Bagaimana bisa dia menyebut diri kritikus
sastra bila menjelaskan dua larik dari puisi "Aku" saja sengawur itu.
Membaca "Aku" Chairil, haruslah lebih dulu menyelami kehidupan
penyair Angkatan 45 itu semasa hidupnya. Di kala itu, Chairil dikenal sebagai
sosok bergajulan, tukang ngutang, tapi tak pernah membayar, penggoda perempuan, bahkan--maaf—kabarnya suka plesiran ke tempat pelacuran kelas bawah, hingga dia
disebut-sebut menderita sypilis.
Oleh sebab itulah, penggambaran dirinya terasa pas pada
dua larik berikut:
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Dari kumpulannya terbuang
Binatang jalang adalah metafora sosok keseharian
Chairil yang dalam hidupnya dikenal tak teratur, bohemian, suka mendatangi
teman-temannya, termasuk pelukis Affandi untuk sekedar minta dengan bilang pinjam uang. Kondisi
ini diperkuat pada larik kedua. Ungkapan dari "kumpulannya terbuang"
janganlah diartikan dia keluar dari kumpulan binatang jalang lalu menjadi
binatang jinak, sebagaimana yang ditafsirkan NP, melainkan
larik ini mempertegas kondisi dirinya yang
dijauhi oleh sebagian besar kawan-kawannya, kecuali yang paham pribadi dan
kelakuannya.
Hanya ada beberapa
sahabatnya (termasuk Affandi) yang mau mengunjunginya di tempat dia menumpang
di Kompleks Perguruan Taman Siswa di Kemayoran, Jakarta Pusat, saat kondisi
fisik Chairil mulai menurun akibat "penyakit" yang dideritanya.
Demikianlah seharusnya menafsirkan makna "terbuang" pada larik kedua
itu.
Saya yakin, andai Pak HB Jassin masih hidup
sekarang ini, habislah kritikus bodoh tapi sok pintar itu ‘dimaki’ olehnya.
Berikut esai NP tersebut
yang pernah diposting melalui akun facebooknya:
DEKONSTRUKSI PUISI “AKU” CHAIRIL ANWAR
Oleh Narudin
Puisi “Aku” ialah puisi Chairil Anwar yang sangat terkenal. Di antara puisi Chairil yang bersifat nasionalis, religius, puisi “Aku” termasuk puisi yang bersifat individualis. Puisi “Aku” yang hendak ditelaah di sini dari segi dekonstruksi, bukan puisi “Aku” yang ditulis pada tanggal 8 Juni 1943, tetapi puisi “Aku” yang ditulis pada bulan Maret 1943. Dan satu catatan lagi, puisi “Aku” ini pun bukan pula versi puisi “Aku” dari buku Kerikil Tajam yang mengubah judulnya menjadi “Semangat” walaupun perbedaan mencoloknya hanya pada penggalan baris ke-2, kecuali tentu saja perbedaan bentuk puisi. Dalam versi buku Deru Campur Debu, tertulis “’Ku mau….”, sedangkan dalam versi buku Kerikil Tajam, tertulis “kutahu….”. Seluruh keterangan ini diberitakan oleh editor buku puisi karya Chairil Anwar berjudul Aku Ini Binatang Jalang (Gramedia, cetakan ke-24, Oktober, 2012), Pamusuk Eneste, pada tanggal 2 Oktober 1985, di Jakarta.
Kita segera tahu bahwa ungkapan Chairil “’Ku mau” itu merupakan sebuah intensi (kehendak); ungkapan Chairil “kutahu” itu merupakan sebuah atensi (perhatian). Hanya sifat kehendak tentu saja bermakna “suatu keinginan yang kuat”. Oleh sebab itu, puisi “Aku” versi buku Deru Campur Debu inilah yang sering dibacakan di pelbagai acara sastra atau saat memperingati hari kemerdekaan negara kita. Bahkan seorang politikus Anis Matta pernah menganjurkan agar kita sekalian membaca puisi “Aku” ini tatkala kita tengah kurang gairah atau lagi tak semangat. Simaklah satu puisi utuh Chairil itu di bawah ini.
AKU
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Maret 1943
Ternyata setelah saya baca secara dekonstruktif, puisi legendaris Chairil Anwar ini menyimpan baris-baris puisi yang tidak relevan. Jika tidak ingin disebut relevan (berkaitan), baris-baris ini menunjukkan ketidak-cermatan Chairil kala menulis puisi ini. Dua baris itu ialah:
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Dua baris ini tentu saja menunjukkan bahwa Chairil Anwar 1) seorang binatang jinak, dan 2) menyisipkan dua baris yang tak relevan (irrelevant lines) dalam satu puisi utuh. Kita bahas yang pertama, Chairil seorang binatang jinak, bukan seorang binatang jalang seperti diasumsikan selama ini!
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulanNYA terbuang
Perhatikan anafora kata “-nya” di akhir kata “kumpulannya” yang saya tulis dengan huruf besar “-NYA”. Kata “-nya” di sana mengacu kepada frasa “binatang jalang”. Maka, bentuk yang jelas terbaca seperti ini:
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulan (binatang jalang) terbuang
Kalau dikatakan dari kumpulan binatang jalang terbuang, maka itu berarti si aku binatang jalang keluar dari kumpulan binatang jalang alias sama dengan ia jadi binatang jinak. Teliti dua baris di atas dengan penulisan satu kalimat seperti ini agar lebih mudah dimengerti: Aku ini binatang jalang/ Dari kumpulan binatang jalang terbuang/. Sampai analisis ini, Chairil Anwar ternyata tidak hati-hati, makna kiasnya jadi menyimpang, bukan lagi seperti sering dituduh orang Chairil si binatang jalang, namun Chairil justru si binatang jinak. Itulah sebabnya, pada tanggal 13 November 1943, beberapa bulan kemudian, Chairil menulis puisi “Doa” yang ditujukan kepada pemeluk teguh yang berisi ucapan religiusnya sebagai hamba Tuhan yang baik—sebagai “seorang binatang jinak”. Sebelum kematian Chairil pun, ia berseru, “Tuhanku, Tuhanku, Tuhanku.” Begitu informasi yang ada.
Kedua tentang masalah sisipan dua baris yang tak menyambung atau tak relevan?
Benar. Puisi “Aku” sesungguhnya bersifat “nafi—isbat” dalam kajian Sufisme atau dalam istilah W.T. Stace di dalam buku Mysticism and Philosophy (1961, halaman 163) disebut “the paradox of vacuum plenum”, yaitu menolak sekaligus menegaskan.
Bait-bait puisi yang menolak (nafi) ialah:
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Sementara itu, bait-bait puisi yang menegaskan (isbat) ialah:
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Sesungguhnya, dua gabungan nafi—isbat di atas ialah bentuk-bentuk bait yang bermakna relevan dan utuh. Coba saja dibaca secara berkesinambungan dari bait-bait nafi ke bait-bait isbat. Kata-kata penolakan itu ialah “tak” atau “tidak”; kata-kata penegasan itu ialah “biar” atau “tetap”. Sedangkan, tiba-tiba muncul dua baris yang tak berkaitan utuh secara maknawi:
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Atau akan lebih gampang terbaca seperti ini, sudah jelas sekali:
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulan (binatang jalang) terbuang
Terakhir baris: Aku mau hidup seribu tahun lagi/. Baris ini menurut Donny Gahral Adian dalam salah satu buku filsafatnya sebagai petisi eksistensialis Chairil Anwar yang tak tercapai. Metafora (makna kiasan) bahwa karya-nya yang harus dikenang 1000 tahun pun tentu saja tak diisyaratkan secara terang dalam baris puisi itu oleh Chairil sendiri dengan melihat makna utuh puisi itu. Sebab, camkan, Chairil membuka puisinya pun dengan kalimat pengandaian: “Kalau sampai waktuku….”. Ternyata dia hanya pintar berandai-andai, ceroboh dalam menyisipkan dua baris yang tak relevan dan bermakna bertolak belakang.
Ya, benar, Chairil Anwar bukan si binatang jalang, tapi si binatang jinak.
Ingat, sejinak-jinaknya binatang, tetap saja binatang!
***
2018
Oleh Narudin
Puisi “Aku” ialah puisi Chairil Anwar yang sangat terkenal. Di antara puisi Chairil yang bersifat nasionalis, religius, puisi “Aku” termasuk puisi yang bersifat individualis. Puisi “Aku” yang hendak ditelaah di sini dari segi dekonstruksi, bukan puisi “Aku” yang ditulis pada tanggal 8 Juni 1943, tetapi puisi “Aku” yang ditulis pada bulan Maret 1943. Dan satu catatan lagi, puisi “Aku” ini pun bukan pula versi puisi “Aku” dari buku Kerikil Tajam yang mengubah judulnya menjadi “Semangat” walaupun perbedaan mencoloknya hanya pada penggalan baris ke-2, kecuali tentu saja perbedaan bentuk puisi. Dalam versi buku Deru Campur Debu, tertulis “’Ku mau….”, sedangkan dalam versi buku Kerikil Tajam, tertulis “kutahu….”. Seluruh keterangan ini diberitakan oleh editor buku puisi karya Chairil Anwar berjudul Aku Ini Binatang Jalang (Gramedia, cetakan ke-24, Oktober, 2012), Pamusuk Eneste, pada tanggal 2 Oktober 1985, di Jakarta.
Kita segera tahu bahwa ungkapan Chairil “’Ku mau” itu merupakan sebuah intensi (kehendak); ungkapan Chairil “kutahu” itu merupakan sebuah atensi (perhatian). Hanya sifat kehendak tentu saja bermakna “suatu keinginan yang kuat”. Oleh sebab itu, puisi “Aku” versi buku Deru Campur Debu inilah yang sering dibacakan di pelbagai acara sastra atau saat memperingati hari kemerdekaan negara kita. Bahkan seorang politikus Anis Matta pernah menganjurkan agar kita sekalian membaca puisi “Aku” ini tatkala kita tengah kurang gairah atau lagi tak semangat. Simaklah satu puisi utuh Chairil itu di bawah ini.
AKU
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Maret 1943
Ternyata setelah saya baca secara dekonstruktif, puisi legendaris Chairil Anwar ini menyimpan baris-baris puisi yang tidak relevan. Jika tidak ingin disebut relevan (berkaitan), baris-baris ini menunjukkan ketidak-cermatan Chairil kala menulis puisi ini. Dua baris itu ialah:
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Dua baris ini tentu saja menunjukkan bahwa Chairil Anwar 1) seorang binatang jinak, dan 2) menyisipkan dua baris yang tak relevan (irrelevant lines) dalam satu puisi utuh. Kita bahas yang pertama, Chairil seorang binatang jinak, bukan seorang binatang jalang seperti diasumsikan selama ini!
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulanNYA terbuang
Perhatikan anafora kata “-nya” di akhir kata “kumpulannya” yang saya tulis dengan huruf besar “-NYA”. Kata “-nya” di sana mengacu kepada frasa “binatang jalang”. Maka, bentuk yang jelas terbaca seperti ini:
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulan (binatang jalang) terbuang
Kalau dikatakan dari kumpulan binatang jalang terbuang, maka itu berarti si aku binatang jalang keluar dari kumpulan binatang jalang alias sama dengan ia jadi binatang jinak. Teliti dua baris di atas dengan penulisan satu kalimat seperti ini agar lebih mudah dimengerti: Aku ini binatang jalang/ Dari kumpulan binatang jalang terbuang/. Sampai analisis ini, Chairil Anwar ternyata tidak hati-hati, makna kiasnya jadi menyimpang, bukan lagi seperti sering dituduh orang Chairil si binatang jalang, namun Chairil justru si binatang jinak. Itulah sebabnya, pada tanggal 13 November 1943, beberapa bulan kemudian, Chairil menulis puisi “Doa” yang ditujukan kepada pemeluk teguh yang berisi ucapan religiusnya sebagai hamba Tuhan yang baik—sebagai “seorang binatang jinak”. Sebelum kematian Chairil pun, ia berseru, “Tuhanku, Tuhanku, Tuhanku.” Begitu informasi yang ada.
Kedua tentang masalah sisipan dua baris yang tak menyambung atau tak relevan?
Benar. Puisi “Aku” sesungguhnya bersifat “nafi—isbat” dalam kajian Sufisme atau dalam istilah W.T. Stace di dalam buku Mysticism and Philosophy (1961, halaman 163) disebut “the paradox of vacuum plenum”, yaitu menolak sekaligus menegaskan.
Bait-bait puisi yang menolak (nafi) ialah:
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Sementara itu, bait-bait puisi yang menegaskan (isbat) ialah:
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Sesungguhnya, dua gabungan nafi—isbat di atas ialah bentuk-bentuk bait yang bermakna relevan dan utuh. Coba saja dibaca secara berkesinambungan dari bait-bait nafi ke bait-bait isbat. Kata-kata penolakan itu ialah “tak” atau “tidak”; kata-kata penegasan itu ialah “biar” atau “tetap”. Sedangkan, tiba-tiba muncul dua baris yang tak berkaitan utuh secara maknawi:
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Atau akan lebih gampang terbaca seperti ini, sudah jelas sekali:
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulan (binatang jalang) terbuang
Terakhir baris: Aku mau hidup seribu tahun lagi/. Baris ini menurut Donny Gahral Adian dalam salah satu buku filsafatnya sebagai petisi eksistensialis Chairil Anwar yang tak tercapai. Metafora (makna kiasan) bahwa karya-nya yang harus dikenang 1000 tahun pun tentu saja tak diisyaratkan secara terang dalam baris puisi itu oleh Chairil sendiri dengan melihat makna utuh puisi itu. Sebab, camkan, Chairil membuka puisinya pun dengan kalimat pengandaian: “Kalau sampai waktuku….”. Ternyata dia hanya pintar berandai-andai, ceroboh dalam menyisipkan dua baris yang tak relevan dan bermakna bertolak belakang.
Ya, benar, Chairil Anwar bukan si binatang jalang, tapi si binatang jinak.
Ingat, sejinak-jinaknya binatang, tetap saja binatang!
***
2018
Ersa Sasmita adalah nama pena dari Erwan Sasmita. Seorang jurnalis senior yang menetap di Jakarta. Karya puisinya pernah
diikutkan dalam sejumlah Buku Antalogi, antara lain Dari Negeri Langit (2014),
Sang Peneroka(2015), Metamorfosis (2015), 1000 Haiku Indonesia (2015) dan
Palagan (2016). Buku puisinya yang baru saja
terbit adalah Geisha.