Buku: Ulat Perempuan Musa Rupat karya Norham Abdul Wahab
Kumpulan Cerpen
Penerbit : Yayasan Sagang, Pekanbaru, Cetakan Pertama: Februari 2018
Pengantar: Amien Wangsitalaja dan Riza Pahlefi
Sampul dan Atak: Furqon LW
Ilustrasi : Dantje S Moeis dan Furqon LW
Jumlah Halaman: xxv + 133
Harga: Rp. 50.000,-
“Sebagai sastrawan, Norham Abdul Wahab mengalirkan ide sastra profetik ke dalam bentuk karya yang berkelas. Karya-karyanya tidak menggurui pembaca. Bayang-bayang tentang “diri lena” dan “diri kritis” menari-nari secara elok di perenungan pembacaan pembaca. UPMR menuntun pembaca secara halus dan elegan menuju menung yang tinggi. Ia menuntun saja, bukan menggurui.” (Amien Wangsitalaja)
“Kisah-kisah suram yang ditulis dan dikemas, sepertinya menafikan fungsi rekreatif dari sebuah karya sastra. Bagaimana mungkin kisah-kisah kusam dapat menjadi hiburan bagi seorang pembaca. Hanya pembaca yang ‘sakit’, yang dapat terhibur dengan sajian tragedi yang tak berkesudahan. Namun, di sinilah letak kepiawaian NhAW merangkai kata demi kata, mengemas alenia demi alenia, untuk memerangkap pembaca agar menyelesaikan bacaan, hingga ke titik terakhir.” (Riza Pahlefi)
NORHAM ABDUL WAHAB
Dulu dikenal juga dengan nama Norham Wahab. Sebuah nama yang tak dapat dipisahkan dari sejarah sastra kontemporer Riau. Ia, setelah menamatkan bangku kuliah di Fakultas Sastra UGM Yogyakarta, pada pertengahan tahun 1990-an lalu, balik kandang ke Pekanbaru, dan langsung menjadi sumbu penyala gairah kesusastraan kala itu. Lahir di Bengkalis, Riau, Norham dulu dikenal sebagai penanggungjawab halaman budaya “SAGANG”, yang disegani saat masih menjadi suplemen Harian “Riau Pos”, edisi Ahad. Dari tangan amatannya, lahir bejibun cerpenis dan penyair Riau, yang hari ini masih bertapak dengan kokoh. Sebutlah di antaranya: Husnizar Hood, Ramon Damora, Syaukani Alkarim, Hang Kafawi, Murparsaulian, dan beberapa nama lainnya. Menghilang cukup lama, mantan jurnalis senior ini kini aktif di jalan dakwah wa tabligh, sambil menjalankan sejumlah perniagaan. Sekarang ia lebih banyak menghabiskan waktu di sebuah desa kecil yang tidak terlalu jauh dari Gunung Lawu: Desa teMboro, Karas, Magetan, Jawa Timur, bersama istri tercinta dan ketiga anaknya. Ketika ditanya alasan hijrah ke sana, ia menjawab, “Kampung TeMboro adalah Madinah-nya Indonesia. Sebuah kampung yang indah untuk beribadah dan berkarya.”***