Aroma Tubuh Sendiri dan Minyak Wangi Para Kyai - Hasan Aspahani
AROMA TUBUH SENDIRI DAN MINYAK WANGI PARA KYAI*
OLEH HASAN ASPAHANI
#KAWACA.COM - Ketika tempat dan alamat tak lagi menjadi tujuan, puisi bisa membawa kita ke banyak persinggahan. Ketika kita membuka diri untuk diganggu dan meninjau lagi di mana posisi kita berada di antara baik dan buruk, benar dan salah, bagus dan jelek, maka puisi menghidangkan banyak makna kepada kita.
Situasi itulah yang
saya rasakan ketika berjalan-jalan di sepanjang sajak di buku ini. Penyair kita
sedang berjalan dan singgah di banyak tempat. Menemui banyak orang.
Pertemuan-pertemuan dan perjalanan itu tentu saja memperkaya batinnya. Dengan
bekal dan dalam situasi seperti itu saya kira sajak-sajak di buku ini lahir.
Ibarat santri,
penyair kita sowan ke kyai-kyai besar, memeluk dan cium tangan. Ada wangi yang
melekat dan penyair kita ini membiarkan kita ikut menikmati aroma itu. Aroma
Kirdjomuljo, Ramadhan KH, Acep Zamzam Noor, Afrizal Malna, Joko Pinurbo, dan
tentu itu tak menghilangkan aroma tubuhnya sendiri yang saya tahu itu bukan
olesan parfum.
Dalam pertemuannya
dengan para kyai itu, penyair kita khusyuk mengaji. Ia mencatat dan mencoba
menyusun pelajaran dengan bahasanya sendiri. Ia kini bisa melihat jauh lebih
banyak, apa yang mungkin dulu tak ia perhatikan.
Di manakah sekarang
penyair kita ini berada? Dia sepertinya tak ingin terlalu terikat pada tempat
dan waktu. Semacam upaya melonggarkan ruang gerak. Semacam melepaskan diri dari
waktu. Mungkin itu yang membuat dia tak mencantumkan kota dan tahun penulisan
sajak-sajaknya di buku ini. Tapi bisakah sajak sepenuhnya lepas dari ruang dan
waktu? Saya kira sajak yang baik itu adalah sajak yang terus tumbuh, menjalar,
tak tercerabut dari titik awal kelahirannya tapi terus mencapai kita sebagai
pembaca dengan sulur-sulur maknanya. Sajak-sajak di buku ini berpotensi menjadi
sajak seperti itu.
Saya yakin - dan
ingin melihat - penyair kita ini terus berjalan. Menjadi saksi lebih banyak
peristiwa, mendengar lebih banyak suara, merenung lebih suwung.
Jakarta, 18 September 2017
*Pengantar Buku Miryam karya Astrajingga Asmasubrata