Puisi-Puisi Pilihan Wahyu Prasetya
LUKA I
Wahyu Prasetya lahir 5 Februari 1957 di Malang, Jawa Timur dengan nama Eko Susetyo Wahyu Ispurwanto. Mulai menulis sejak 1979 dan karya-karyanya telah tersebar di berbagai media massa di dalam dan luar negeri, antara lain: Horison (Jakarta). Bahana (Brunei), dan Dewan Bahasa (Kuala Lumpur). Dia juga pernah mengembara ke sejumlah negara ASEAN pada tahun 1982 dan sempat bermukim di Berlin (1983-1985). Nama Wahyu Prasetya termasuk sosok yang diperhitungkan oleh Sutardji Calzoum Bachri dalam forum Puisi Indonesia 1987 yang digagas DKJ. Puisi-puisinya juga tergabung dalam sejumlah buku bersama dan tunggal, seperti Nafas Telanjang (bersama Bambang Widiatmoko, 1980), Tonggak IV (1987), Antologi Temu Penyair Indonesia (1987), Dialog Penyair Jakarta (1989), Amsal Patung (1997), dan Sesudah Gelas Pecah (1996). Penyair yang buku puisinya pernah diterbitkan oleh Sorbone University-Paris dan Forum Sastra Bandung ini telah ‘berpulang’ pada Rabu, 14 Februari 2018 di Bekasi.
belum sembuh pedih
aku mesti rebah kembali
belum hilang nyeriku
aku terkubur kembali
ujung belati dan peluru di sela hari
menggurismu berulangkali
ujung kuku dan tinju di gelap hari
menghentakmu berulangkali
masih kurasa rintihan dalam petaka
masih kudengar jeritmu dalam kata-kata
dendam yang rebah
tanpa nisan dan singgasana.
aku mesti rebah kembali
belum hilang nyeriku
aku terkubur kembali
ujung belati dan peluru di sela hari
menggurismu berulangkali
ujung kuku dan tinju di gelap hari
menghentakmu berulangkali
masih kurasa rintihan dalam petaka
masih kudengar jeritmu dalam kata-kata
dendam yang rebah
tanpa nisan dan singgasana.
Berlin 1983
PADA SUATU HARI KITA HANYA MAMPU
BERTANYA-TANYA
padamukah desah ini terkenali
pelukan pada tanah
bekunya darah sajakmu yang bertanya
tentang pijar lentera bagi doaku
untukmukah geram ini kembali
cium mesrah di bibir liang kubur
keringnya langit terselubung kearah lain
tanpa telunjuk menuding mukaku
jika suatu hari kita yang ragu dan saling bertanya
kekekalan diammu milik siapa?
kefanaan diamku milik siapa?
angin menjawab gelisah. Laut menjawab resah
cuma langit mampu menatap kepedihan
menyaksikan kaki tangan merangkak menujumu
jika suatu hari kita ragu dan tak bertanya
duka tetap mengendor dan geliat sia-sia
duka tetap segar dan menyeret harapan kita
ke segenap arah hati bergelombang
mengapai tiang-tiangmu, jawab segala sesal dan rindu!
pelukan pada tanah
bekunya darah sajakmu yang bertanya
tentang pijar lentera bagi doaku
untukmukah geram ini kembali
cium mesrah di bibir liang kubur
keringnya langit terselubung kearah lain
tanpa telunjuk menuding mukaku
jika suatu hari kita yang ragu dan saling bertanya
kekekalan diammu milik siapa?
kefanaan diamku milik siapa?
angin menjawab gelisah. Laut menjawab resah
cuma langit mampu menatap kepedihan
menyaksikan kaki tangan merangkak menujumu
jika suatu hari kita ragu dan tak bertanya
duka tetap mengendor dan geliat sia-sia
duka tetap segar dan menyeret harapan kita
ke segenap arah hati bergelombang
mengapai tiang-tiangmu, jawab segala sesal dan rindu!
Berlin.
SEPASANG SEPATU TAMBANG
Lelaki lelaki biasa itu meninggalkan
pintu rumah sebagai kepompong
Kini, kesudut masa kini, mereka menjelma
kupu kupu baja,
Merenangi hamparan tebing berlapis
tebing matahari
Lengan lengan tangan kedua kaki jelmalah
dump truk dan
Eskavator membuncah gerak ke batu batu
Dan api terus menumpahkan panas dari
setiap bahu
Batubara lava beku mematangkan puluhuna
ton jelaga
Sangit nafasmu bertukar hingga kelenjar
paru paru atau jantung
Sinar sianghari masih berapi,
menciptakan gumpalan debu
Penglihatan cepat kabur untuk menemukan
namamu namaku
Tabir debu hidup
Tirai keemasan yang membentangkan
cakrawala kebiruan
Tabir debu pada mati
Melepas derum mesin untuk membawamu
pergi,
Berputar tulang besi ke tulang tulang
terjal jurang disini
Ketika ada yang selalu tiba, selain
gemuruh tubuh bergelombang
Ditempa bebatuan, senyap yang
berbenturan
Kita bertemu lagi, aku dan kau relung
besi atau api
Api yang menjulang dari jiwa setengah
matang
Ribuan hektar bayang bayang bertebing
tebing tak sampai
Tegak dikedua sepatu tambang kita kelak
akan datang
Ke pintu pintu rumah yang jauh sekali
Tabir debu hidup
Tabir debu pada setiap hati
Setangkai bunga tumbuh di dataran besi
Gn. Timang, 2012
OBITUARI WAHYU PRASETYA
menghabiskan seluruh malam hari
lampu yang melekat di mata orang ramai
sedang di kegelapan, belantara lelaki siapa
begitu kecongkakan tiba runtuhlah segalanya
dengan senyum saja aku mengaku kalah
pada hidup dan suratan. selepas subuh
mungkin ada yang mengetuk pintu
dengan salam aku dan wahyu mengangguk
apakah ini bisa kau sampaikan
syair untuknya? kalau.
kalau salam sujud. di situ segalanya
habis. tanpa menangis. ketika lampu.
bias bulan dan matahari.
gelas yang kosong. membayangkan
seseorang terbaring dengan tenang
tanpa.
tanpa raungan sirene lewat
tangisan panjang atau anak
sungai yang pulang ke laut.
1997
lampu yang melekat di mata orang ramai
sedang di kegelapan, belantara lelaki siapa
begitu kecongkakan tiba runtuhlah segalanya
dengan senyum saja aku mengaku kalah
pada hidup dan suratan. selepas subuh
mungkin ada yang mengetuk pintu
dengan salam aku dan wahyu mengangguk
apakah ini bisa kau sampaikan
syair untuknya? kalau.
kalau salam sujud. di situ segalanya
habis. tanpa menangis. ketika lampu.
bias bulan dan matahari.
gelas yang kosong. membayangkan
seseorang terbaring dengan tenang
tanpa.
tanpa raungan sirene lewat
tangisan panjang atau anak
sungai yang pulang ke laut.
1997
SESUDAH GELAS PECAH
sebelum kau selesaikan lagu terakhir
telinga itu terlepas
asap rokok yang membakar seorang teman dari kertas
berhadapan dengan meja yang menyediakan nafas,
juga janji memabukan, supaya tak mengubah diri siapa
siapa
selain musik yang berjatuhan menimpa kedua sepatumu
dan melemparkan kepingan jari jari tangan ke arah jendela
memecahkan genggaman kita di sana
habiskanlah malam hari yang mengisi botol atau udara
jam berapa sekarang? “aku sudah melukai bayangan ini”
kemudian seorang teman dari pecahan kaca, gelas, cermin,
bahkan ia berasal dari angin yang kau tiup lewat keluhan
sampai kini aku tak ingin menceritakan kepada orang lain
sejak cucuran urat nadi itu mengalirkanku sebagai kran
dan menceburkan benih gerimis airmata manusia biasa
sebelum kau selesaikan lagu terakhir leher itu terkulai
ada yang ingin menemukannya
ada yang mencarinya. ada di manakah?
Malang, 1994
asap rokok yang membakar seorang teman dari kertas
berhadapan dengan meja yang menyediakan nafas,
juga janji memabukan, supaya tak mengubah diri siapa
siapa
selain musik yang berjatuhan menimpa kedua sepatumu
dan melemparkan kepingan jari jari tangan ke arah jendela
memecahkan genggaman kita di sana
habiskanlah malam hari yang mengisi botol atau udara
jam berapa sekarang? “aku sudah melukai bayangan ini”
kemudian seorang teman dari pecahan kaca, gelas, cermin,
bahkan ia berasal dari angin yang kau tiup lewat keluhan
sampai kini aku tak ingin menceritakan kepada orang lain
sejak cucuran urat nadi itu mengalirkanku sebagai kran
dan menceburkan benih gerimis airmata manusia biasa
sebelum kau selesaikan lagu terakhir leher itu terkulai
ada yang ingin menemukannya
ada yang mencarinya. ada di manakah?
Malang, 1994
Wahyu Prasetya lahir 5 Februari 1957 di Malang, Jawa Timur dengan nama Eko Susetyo Wahyu Ispurwanto. Mulai menulis sejak 1979 dan karya-karyanya telah tersebar di berbagai media massa di dalam dan luar negeri, antara lain: Horison (Jakarta). Bahana (Brunei), dan Dewan Bahasa (Kuala Lumpur). Dia juga pernah mengembara ke sejumlah negara ASEAN pada tahun 1982 dan sempat bermukim di Berlin (1983-1985). Nama Wahyu Prasetya termasuk sosok yang diperhitungkan oleh Sutardji Calzoum Bachri dalam forum Puisi Indonesia 1987 yang digagas DKJ. Puisi-puisinya juga tergabung dalam sejumlah buku bersama dan tunggal, seperti Nafas Telanjang (bersama Bambang Widiatmoko, 1980), Tonggak IV (1987), Antologi Temu Penyair Indonesia (1987), Dialog Penyair Jakarta (1989), Amsal Patung (1997), dan Sesudah Gelas Pecah (1996). Penyair yang buku puisinya pernah diterbitkan oleh Sorbone University-Paris dan Forum Sastra Bandung ini telah ‘berpulang’ pada Rabu, 14 Februari 2018 di Bekasi.