Koherensi Islam dan Negara - Ahmad Fadly
oleh Ahmad Fadly
#KAWACA.COM - Hegemoni filsafat matrealisme tidak bisa kita nafikkan pengaruhnya dalam perjalanan panjang pembaruan islam Indonesia. Epistemologi dangkal itu bernaung dikepala para penceramah-penceramah, Yang notabene memiliki Eksistensi yang besar di media sosial.
Parahnya adalah mayoritas diantara kita
(Baca : Anak muda) lebih suka membaca berita-berita atau informasi didepan
layar Gadget, ketimbang membaca buku. Sehingga tentunya kita termediasi untuk
bertransformasi langsung dengan kabar Hoax. Dalam hal ini saya tidak menganggap
semua berita dimedia sosial hoax, hanya saja saya melihat mayoritas begitu.
Karakter anak muda yang malas baca
sebenarnya adalah sasaran empuk penceramah berpahaman dangkal. Semisal ada
orang yang baru jago nulis Novel, sudah berani teriak-teriak di media dan menjelek-jelekkan ulama sebesar Quraish Shihab.
Sanad ilmu ente dari mana? Mungkin ini salah satu contoh dari orang-orang yang fakir sadar.
Masih jelas di kepala kita semua, saat Uztad berinisial TZ mengkritik habis-habisan
cara berpakaian Ketua PBNU, kata beliau “Sorban
lebih baik dari Kopiah, Gamis lebih baik daripada Batik”.
Menurut pandangan saya, ini adalah kritik yang sangat dangkal, sangat
matrealis dan murah. Saya rasa jenis pakaian bukan subtansi dari ajaran agama
islam. yang diajarkan dalam Fiqh, berkaitan dengan cara berpakaian adalah
menutup aurat. Bukan menutup aurat dengan jenis baju apa.
Informasi seperti ini yang saya anggap
dapat merusak tatanan berpikir anak muda
kekinian, yang jumlah waktunya berada di depan gadget
jauh lebih lama ketimbang waktu membacanya. Apalagi jika yang menyampaikan
fatwa-fatwa adalah Uztad yang begitu dikultuskan di media sosial.
Kaitannya dengan kondisi keIndonesiaan
adalah stabilitas keberagamaan kita hari ini tergantung orang-orang yang kita
percayai dalam menyampaikan Pencerahan-pencerahan kepada ummat banyak. Karena
tentu akan memberikan dampak terhadap perilaku kita dalam kehidupan sehari-hari
dalam berbangsa dan bernegara. Baik itu interaksi sosial maupun
persoalan peribadatan.
Rancuhnya bahwa orang-orang secara tidak
langsung dapat merusak pola pikir generasi muda
ini mendapat ruang yang seluas-luasnya. Mungkin ini
adalah bagian dari kebebasan pikir dan kebebasan
berbicara yang disahkan oleh negara dalam bingkai HAM. Lebih dari itu,
mungkin pemangku kebijakan kesulitan untuk mengidentifikasi muatan-muatan
ceramah yang berindikasi merusak generasi bangsa.
Menurut hemat saya, kaitannya tentang Islam
dan keindonesiaan, hari ini kita mesti banyak berbicara tentang nilai-nilai
Islam yang universal. Seperti keadilan, kemerdekaan, kemanusiaan, dan
kesejahteraan. Nilai-nilai ini adalah sebuah gagasan yang bisa diterima oleh
semua manusia yang menggunakan akalnya, terlepas dari apapun agamanya.
Siapa yang tidak ingin dalam kehidupan
ini diperlukan secara adil? Siapa yang
tidak ingin merdeka? Siapa yang tidak ingin sejahtera? Mulai hari ini anak muda harus banyak berbicara di kampus, di meja-meja ngopi, di lorong-lorong
kelas, tentang nilai Islam universal itu. Menumbuhkan semangat kebangsaan dan
keislaman, bahwa sesungguhnya keinginan negara sejalan dengan nilai yang
diperjuangkan oleh Islam.
Hari ini kita mesti membuka hijab besar
mengenai kontradiksi antara agama dan negara. Antara Islam dan
keindonesiaan. Bahwa sesungguhnya keduanya adalah entitas yang tidak bisa
dipisahkan. Keduanya mempunyai spriti yang sama.
Lebih jauh seorang antropolog asal
Amerika , William Marion Dalton menjelaskan, bahwa daya tarik utama dari Islam adalah
Islam mempunyai pandangan yang holistik mencakup sosio-politik. Tak hanya
sebagai agama yang bersandar pada kultus -kultus ritual, Islam juga memberi
dampak psikologis yang besar dalam masyarakat.
Menurut William, apa yang terkandung
dalam agama Islam adalah bibit-bibit imajinasi tentang tatanan sosial yang
lebih adil dan berkemanusiaan. Islam terbangun
dari spirit cinta kasih, kesetaraan, Keadilan, serta solidaritas terhadap
kemanusiaan.
Dalam hal ini kita tidak bisa menolak
sebuah kebenaran objektif bahwa Islam dan negara punya visi yang sama, sehingga
memiliki keterikatan yang sangat erat. Bahwa nilai-nilai universal Islam sama
dengan agenda-agenda pembaruan dalam perjalanan negara Indonesia. Sehingga kita akan jatuh pada sebuah kesimpulan, bahwa Islam dan negara
adalah dua entitas yang Inheren.
Makassar, 22 Feb 2018
Ahmad Fadly lahir di Kabuloang, 26 Maret 1993. Kini menempuh studi Ilmu Politik di Universitas Tomakaka Mamuju, dan menjabat sebagai Kabid PA HMI Cabang Manakarra.