Kesan Singkat Membaca Pagar Kenabian karya Sofyan RH. Zaid oleh Cahyatunisa
#KAWACA.COM - Sebelumnya, saya ucapkan
terima kasih yang tak
berpagar kepada penyair Sofyan RH. Zaid telah berbagi buku mungil ini ke
saya yang jauh di Purwokerto dan bukanlah siapa-siapa. Tentu saya sangat
bahagia tiada tara.
Pertama kali membuka Pagar Kenabian, saya langsung terkesan pada motto bukunya
yang keren:
"Bukan untuk mereka yang
berjuta-juta, bukan juga untuk seseorang, bukan pula untuk diriku. Aku menulis
untuk karya itu sendiri. Ia menuliskan dirinya lewat diriku."
Marina
Tsvetavea (1892-1942).
Selanjutnya saya baca Mukadimah, daftar isi, dan puisinya dari bab ke
babyang terdiri dari 4 bagian: Sabda Kesunyian, Sabda Kebenaran, Sabda
Kebijaksanaan, dan Sabda Keselamatan. Berbagai macam ekspresi, emosi serta imajinasi dihadirkan dalam setiap puisinya. Saya
hanya berpikir: kok bisa sedalam itu ya? Lain lagi dengan keunikan tersendiri
buku ini dengan tanda pagar (#) pada tiap jeda baris dengan rima akhir yang sama.
Terlepas dari itu semua, puisinya bagus dan keren.
Membaca buku ini kita seperti bertemu atau paling tidak melihat perjumpaan
para tokoh hebat, seperti Paz, Daud, Isa, Rene, Marx, Kant, Plato, Farabi,
Jibril, Khidir, Musa, Suhrawardi, Iqbal dan Goethe, Sadra, Galileo, Ghazali,
Rilke, Attar, Rabi'ah, Adam, Hawa, Sofyan dan Rumi, Jailani, dan masih banyak
lagi.
Ada beberapa bait puisi yang ingin saya cuplik karena bisa memotivasi saya
sebagai pembaca, menghadirkan imajinasi, dan rasa seperti melihat dan
mengalaminya sendiri, misalnya puisi “Butterfly Effeect”:
jangan takut ketinggian # semasih ada
lautan
kita menjadi kupu-kupu # terbang
menembus waktu
kepak kita di Jakarta # mencipta
taufan di Canberra
melayang rendah dan tinggi #
keseimbangan akal dan hati
Kemudian sebuah puisi di mana para tokoh
itu banyak berkumpul, yakni
pada puisi “Filsafat
Agama”:
Kau terus bernyanyi # di panggung
sunyi
Paz membaca puisi # Daud meniup hati
kali darah berhenti # sejenak aku
mati
Isa memberi kursi # kepala bergoyang
sendiri
Rene menuangkan anggur # aku
bersulang luhur
di puncak tertinggi jiwaku # filsafat
dan agama bersatu
Sebenarnya masih banyak yang ingin saya cuplik, namun cukuplah begitu. Intinya
keren habis.
Cahyatunisa, lahir di Banyumas, 18 Mei 1992. Menyukai puisi sejak kecil. Kini
Tinggal di Legok Kaliwedi, Kebasen, Banyumas sebagai guru ngaji.