Inkonsistensi Narudin tentang Puisi Esai
#KAWACA.COM - Debat puisi esai (16/02/2018) memang telah usai. Namun ada satu hal yang cukup menarik untuk kita ingat, yaitu ketika Saut Situmorang (SS) memaparkan inkonsistensi Narudin Pituin (NP) tentang puisi esai. Barangkali jauh sebelum NP ‘dekat’ dengan Denny JA (DJA) dan mendukung puisi esai, NP melalui facebook (1 Agustus 2015) menulis:
“Dari diskusi
sebelumnya, ada 2 hal yang perlu saya sorot dari komentar-komentar. Pertama.
soal "puisi esai". "Puisi esai" ingin mengandaikan dirinya
"puisi genre baru", padahal istilah "puisi esai" itu
"contradictio in terminis" (istilah rancu, karena puisi dan esai
punya Wilayah masing-masing) Kalau "kecanggihannya" terletak pada
catatan kaki yang panjang lalu dengan mengabaikan nilai-nilai puitik (aestetis)
ucapannya, tentu ini problem lebih berat karena abad ke-15 atau abad ke-16 pun
di Inggris, karya-karya sastra Shakespeare menggunakan catatan kaki, dan tak
membuat pembacanya lantas "lebih terpikat dengan catatan kakinya".
Pengamatan saya, puisi esai selain bernilai populer, cenderung lebih bagus
catatannya adalah semacam "kebaruan yang mundur" dalam
perpuisian tanah air. Kalau hendak menulis artikel sosio-politik, ya, menulis saja yang baik.
Tapi, dengan menutup mata, kita berusaha keras menghormati "puisi
esai" atas nama "semoga ada nilai didaktis" (meskipun
ketelanjuran ini sungguh telanjur secara sosiologis). Masalah kedua, tetap
harus dibedakan karya sastra pop (dangkal) dengan karya sastra mumi (dalam)
agar kita terdidik dan tambah mawas diri terhadap karya-karya yang penghayatan
hidupnya dangkal dan rendah, dan tak mengindahkan fungsi estetik dan
linguistik, demi kemajuan, demi kebaikan manusia (dalam arti luas) seutuhnya.”
Selanjutnya, pada kolom
komentar -menanggapi komentar Indra Intisa yang mengatakan puisi esai itu
njelimet- NP menulis:
“Hmm, baik, Bang Indra. Saya bicara sedikit
lagi. Kecenderungan politis dapat saja terjadi. walaupun kita mesti ekstra
hati-hati memandangnya,
karena "sesuatu yang ajek dapat berubah dengan iming-iming uang",
dan itu saya nilai "kehancuran bangunan kemurnian sastra kita“. Dan kita perlu bukti konkret jika politik uang ini sebagai
ideologi rendah (false consciousness), "kesadaran palsu". Kedua, soal
“puisi telanjang yang ditengarai harus" pun harus dicermati benar arah
atau tendensi sesungguhnya. Jangan sampai verifikasi data/sampel yang
"bikinan" itu (make-up) menjadi senjata "merendahkan hakikat
puisi" sebenarnya. Dan tentu responden itu tak lain sekadar "pukul
rata statistik yang diragukan kesahihahnnya" secara reseptif sastra.
Begitu.”
Kemudian Toy Pelena turut
berkomentar menyinggung soal politik sastra yang bisa menghacurkan sejarah sastra,
tokoh, dan karya sastra itu sendiri. Selain itu, Toy juga bertanya: Jika NP
dikasih uang 10 juta, apa NP bersedia memuji puisi esai? Berselang 7 menit, NP
menanggapi komentar tersebut dengan menulis:
“Dan satu lagi,
lihat betapa pemahaman sastra kita (sedang) hancur. Maka. Solusinya, mari kita berjuang bersama, demi memperbaiki "luka
sastra" kita ini. Minimal dengan sumbangsih sederhana saya buku kritik
puisi Analisis Modern Buku Puisi dan Puisi (2015) dan buku Sejarah Sastra
lndonesia-mu yang
terbit September, ya? Amin. Ingat pesan Ali bin Abi Thalib r.a. ini,
"Orang tahu pada orang
tak tahu karena ia pernah tidak tahu. tapi orang tak tahu pada orang tahu
karena memang ia belum tahu." Mari kita berbagi karya sastra bermanfaat
demi kebaikan masa kini dan masa depan sastra kita. Amin. Wah,
saya bukan seorang neo-Kapitalis dibayar uang Iangsun berubah haluan. Itu sungguh rendah. Saya berbagi
ilmu, Kang Toy. Ingat itu.”
Informasi tersebut tentu sangat
berbeda dengan sikap NP belakangan ini yang getol mendukung puisi esai sebagaimanayang
dipertanyakan SS:
“Apakah Narudin
Pituin memang sejak dari awal adalah pendukung Puisi Esai Denny JA seperti yang
tersirat dalam kutipan dari tulisan Denny JA di atas? Kalau tidak, kenapa
Narudin Pituin bisa berubah begitu drastis? Apakah uang memang begitu mempesona
bagi jiwa-jiwa mati kaum Munafik?”
Mendengar pertanyaan SS dalam
debat tersebut, penonton riuh bertepuk tangan tanpa diminta.