Debat Puisi Esai dan Beberapa Pertanyaan - Dwi Klik Santosa
#KAWACA.COM - Acara debat sastra kemarin, bagaimanapun dan meski berapapun jumlahnya, tetap
bunyinya dibiayai Denny JA. Dan tapi kenapa pendukung dari kubunya yang hadir
hanya segelintir dibandingkan kubu yang sedari tahun 2014 menolak dengan garang
hadirnya puisi esai sebagai peluru untuk menembuskan nama si pemilik lembaga
survei itu sebagai Sastrawan Indonesia Paling Berpengaruh?
Saya masih mengingat, ketika terjadi polemik terhadap proses, terbit dan
mendistribusinya buku "33 Sastrawan Indonesia Paling Berpengaruh"
yang mencatatkan nama Denny JA menjadi bagian yang masif di situ, Gola Gong
dengan rumah dunianya ingin juga memfasilitasi debat itu dengan mempertemukan
Tim 8 sebagai penyusunnya dengan tim sorak penolak konsep lahirnya buku aneh
itu. Toh, terdengar berita pula, inisiasi Gong itu juga konon akan dibiayai
Denny JA. Dan singkat cerita, peristiwa itu pun tidak terlaksana, karena
ternyata tidak ada dari tim 8 yang bersedia datang. Padahal tim sorak penolak
buku itu sudah menggalang iuran dan bersedia konvoi menuju ke Serang, rumah
Gong.
Kenapa Narudin Pituin bersedia hadir dan demikian fanatiknya, membela
Denny JA yang dikatakannya dalam forum debat kemarin di Guntur 49 Manggarai
sebagai "pelopor yang berkarisma dan punya pengaruh yang bla bla bla
...." Padahal di tahun sebelumnya, Narudin pernah membuat pernyataan tentang
sumirnya puisi esai sebagai konsep dalam penulisan karya sastra. Padahal di
debat itu, kalau sejujurnya harus saya katakan sebagai ajang saja untuk
mencemooh sikapnya yang terlampau heroik membela Denny JA.
Perlu sejujurnya pula saya akui, di sore menjelang senja dilanjutkan
hingga malam, di hari Imlek itu terbit pertanyaan di benak saya: ada apa dengan
Narudin Pituin? Siapa itu sebenarnya Denny JA? Wajarkah pertanyaan itu? Tentu saja berikut keanehan yang lain.
Kenapa debat itu dibiayai Denny JA? Dan kenapa pula pendukung Narudin Pituin
yang hadir cuma se-iprit sehingga ketika setiap pernyataanya direspon dengan
bunyi koor bergemuruh, hanya nyengir saja dan ketika ia merasa telah membuat
pernyataan gagah lalu meminta tepuk tangan penonton .... sepi saja bahkan
tatap-tatap mata menyipit, dan menyorot kepadanya sambil geleng-geleng kepala.
"Woooowww ..."
Berikut tentang puisi esai, seperti apa yang telah dijelaskan Saut
Situmorang dan banyak tulisan dari teman-teman lainnya, mungkin sudah demikian
jelasnya. Bagaimana asal mulanya hingga kerancuannya sebagai konsep, sehingga
menimbulkan kerancuan jika dinyatakan sebagai klaim oleh Denny JA sebagai si
pelopor munculnya genre baru. Saya ndak ingin mengulas itu, tapi ingin
menggelontorkan ketidakmengertian saja dengan lahirnya pertanyaan demi
pertanyaan. Kenapa para tokoh yang selama ini dibegawankan ... eh, dianggap
besar karena kompeten dan tahu menyoal sastra, khususnya perkembangan sastra di
Indonesia, kok diam saja?
Bukankah sangat fantastis dan mengejutkan, merenungkan sebuah fakta bahwa
munculnya puisi esai yang lantas mencuatkan nama Denny JA sebagai klaim si
pelopornya ditandai sebagai lahirnya genre baru? Saya tidak menuduh tapi saya
akui berdzu'udzon : apakah ada peran Denny JA juga, sehingga semuanya saja pada
bungkam dan enggan bicara?
Tentu tidak salah, bukan, jika kemudian saya bertanya lagi : ada apa
dengan orang-orang yang bergelut dengan sastra? Kemudian ada apa dengan sastra
Indonesia? Nah, siapa yang pantas, layak dan sebaiknya bisa dan fasih
menjawabnya?
Dwi Klik Santosa lahir pada 09 Januari 1974. Pernah menjalani pendidikan akademis di Jakarta
dan Yogya. Pernah menjadi aktivis,
wartawan, dan mendirikan sanggar bermain bagi anak-anak dan remaja di
kampung lahirnya. Pegiat seni dan budaya, berkelana dan singgah dari tempat ke
tempat di Sukoharjo, Solo, Jogja dan Jakarta. Kini, bekerja sebagai copywriter
di Zentha Hitawasana, Jakarta.