”Anak Dagang” Puisi Esai Hamzah Fansuri oleh Abdul Hadi W.M.
”ANAK DAGANG” PUISI ESAI HAMZAH FANSURI
Oleh Abdul Hadi W.M.
Puisi esai bukan fenomena baru dalam sejarah kesusastraan dunia, jika yang dimaksud adalah puisi yang mengandung pemikiran pribadi penulisnya berkaitaan dengan berbagai persoalan dalam kehidupan. Dalam kesusastraan Melayu, ia terutama tampak dalam syair-syair tasawuf Hamzah Fansuri. Untaian syair Hamzah Fansuri secara umum dapat dikatakan merupakan tafsir penyair terhadap ayat-ayat sufistik al-Quran yang ditransformasikan ke dalam ungkapan estetis sastra. Saya ingin mengambil contoh puisi yang menggunakan tatamsil atau simbol anak dagang.
Tamsil anak dagang banyak dijumpai dalam
sajak-sajak Hamzah Fansuri. Ia terutama berfungsi sebagai penanda kepengarangan
atau kesufian. Sebagai penanda kepenyairan ia sering dipertukarkan dengan
penanda lain seperti faqir dan anak jamu (orang yang bertamu). Alangkah
serasinya apabila penanda ini dihubungkan dengan citraan simbolik perahu dan
kapal serta laut. Pemakaian tams.il anak dagang dan faqir, diambil dari
al-Qur’an dan Hadis. Di samping itu ia memiliki konteks sejarah, khususnya
dengan penyebaran agama Islam dan pembentukan kebudayaannya di Nusantara.
Kata dagang memang berarti merantau dan
menjadi orang asing di sebuah negeri. Ia diterjemahkan dari kata Arab gharib
(asing) dan selalu dirujuk pada Hadis, yang bunyinya, ”Kun fi al-dunya
ka’annaka gharibun aw ’abiru sablin wa `udhdha nafsahu min ashabi al-qubur”
(”Jadilah orang asing atau dagang di dunia ini, singgahlah sementara dalam
perjalananmu, dan ingatlah akan azhab kubur.”). Dalam syairnya Hamzah Fansuri
menulis:
Hadis
ini daripada Nabi al-Habib
Qala
kun fi al-dunya ka’annaka gharib
Barang
siapa da’im kepada dunia qarib
Manakan
dapat menjadi habib
(Ik.
VIII Ms. Jak. Mal. 83)
Kekasih Tuhan dipertentangkan dengan
orang yang mencintai dunia secara berlebihan. Dagang atau faqir sejati menurut
penyair ialah dia yang karib dengan Tuhannya dan asing serta tak merasa terpaut
pada dunia. Kata gharib, yang oleh penulis Melayu diterjemahkan menjadi dagang,
berarti ”Orang atau diri yang asing terhadap dunia” (al-Attas 1971:8), yaitu
seorang ahli suluk yang menyadari bahwa di dunia ini ia adalah orang asing yang
pergi merantau dan singgah sementara untuk mengumpulkan bekal. Kampung
halamannya yang sejati bukan di dunia ini. Imam al-Ghazali dalam Kimiya-i
Sa`adah mengatakan: “Dunia ini adalah sebuah pentas aatau pasar yang disinggahi
oleh para musafir dalam perjalanannya menuju ke negeri lain. Di sini mereka
membekali diri dengan berbagai bekal agar supaya tujuan perjalanan tercapai”
(Mohammad Bagir 1984:39). Hamzah Fansuri menulis:
Pada
dunia nin jangan kau amin
Lenyap
pergi seperti angin
Kuntu
kanzan tempat yang batin
Di
sana da’im yogya kau sakin
Lemak
manis terlalu nyaman
Oleh nafsumu engkau tertawan
Sakarat
al-mawt sukarnya jalan
Lenyap
di sana berkawan-kawan
Hidup
dalam dunia upama dagang
Datang
musim kita ’kan pulang
La
tasta’khiruna sa’atan lagi kan datang
Mencari
ma`rifat Allah jangan alang-alang
(Ik.
XX Ms. Jak. Mal. 83)
La tasta’khiruna sa`atan (Q 34:30)
artinya tidak dapat ditunda waktunya. Di ihat dari sudut agama anak dagang
diberi arti positif oleh penyair. Ia adalah orang yang menyadari secara
mendalam bahwa realitas yang sejati tidak berada di alam fenomena yang
senantiasa berubah, melainkan di dalam Tuhan yang kekal. Tanda anak dagang
sejati ialah cinta dan penyerahannya yang penuh kepada Tuhan, dan keyakinannya
yang teguh terhadap ikhtiar dirinya dalam mengatasi segala kesukaran hidup.
Sama dengan gagasan dagang adalah
gagasan faqir. Dalam tasawuf ia diartikan sebagai pribadi yang tidak lagi
terpaut pada dunia. Keterpautannya semata-mata pada Tuhan. Ada dua ayat
al-Qur`an yang dijadikan rujukan, yaitu Q 2:268 dan Q 35-15. Dalam Q 2:268,
dinyatakan lebih kurang, ”Setan mengancammu dengan ketiadaan milik (al-faqr)
dan menyuruhmu melakukan perbuatan keji. Tetapi Allah menjanjikan ampunan dan
karunia kepadamu dari-Nya sendiri dan Allah maha luas pengetahuan-Nya.” Adapun
dalam Q 35 :15 dinyatakan, ”Hai manusia ! Kamulah yang memerlukan (fuqara’)
Allah. Sedangkan Allah, Dialah yang maha kaya lagi maha terpuji.” (Yusuf Ali
1983: 109 dan 1157-8).
Mengikuti pengertian ini Hamzah Fansuri
menyatakan bahwa faqir yang sejati ialah Nabi Muhammad s.a.w. Dalam seluruh
aspek kehidupannya beliau benar-benar hanya tergantung kepada Tuhan. Ini
ditunjukkan pada keteguhan imannya. Kata sang penyair:
Rasul
Allah itulah yang tiada berlawan
Meninggalkan
tha`am (tamak) sungguh pun makan
`Uzlat
dan tunggal di dalam kawan
Olehnya
duduk waktu berjalan
Perkataan ”`Uzlat dan tunggal di dalam
kawan” dapat ditafsirkan bahwa, walaupun Nabi Muhammad s.a.w. seorang yang
gemar berzuhud, tetapi beliau tidak meninggalkan kewajibannya dalam kegiatan
sosial. Sedangkan perkataan ”Olehnya duduk waktu berjalan” dapat ditafsirkan
bahwa, walaupun hatinya hanya terpaut pada Tuhan, namun beliau tetap aktif
mengerjakan urusan dunia dengan penuh kesungguhan dan pengabdian. Kata ’duduk’,
yaitu tidak bergerak atau berjalan, dapat ditafsirkan bahwa keyakinannya kepada
Allah s.w.t sangat teguh. Jika ditafsirkan demikian maka gagasan faqir tidak
dapat disamakan dengan asketisme pasif dan eskapisme.
Dalam syairnya yang lain (Ikat-ikatan
II, Ms.. Jak. Mal. 83) seorang faqir sejati diumpamakan galuh-galuh atau laron
yang berani terjun ke dalam nyala api disebabkan cintanya yang mendalam kepada
cahaya. Ia adalah contoh dari jiwa yang berani berkuban demi cita-cita
keruhanian yang tinggi. Dalam kaitan ini penyair menyatakan:
Dunia
nin jangan kau taruh-taruh
Supaya
dekat mahbub yang jauh
Indah
sekali akan galuh-galuh
Ke
dalam api pergi berlabuh
Hamzah
miskin hina dan karam
Bermain
mata dengan Rabb al-`Alam
Selamnya
sangat terlalu dalam
Seperti
mayat sudah tertanam
(Ik.
II Ms. Jak. Mal. 83)
Anak
dagang juga digambarkan sebagai anak mu’alim yang tahu jalan. Cintanya yang
mendalam dan imannya yang teguh, memberinya pula pengetahuan diri yang
mendalam. Hamzah Fansuri menulis:
Kenali
dirimu hai anak dagang
Jadikan
markab (kapal) tempat berpulang
Kemudi tinggal jangan kau goyang
Supaya
dapat dekat kau pulang
Fawq
al-markab (di geladak kapal) yogya kau jalis (duduk)
Sauhmu
da’im baikkan habis
Rubing
syari`at yogya kau labis
Supaya
jangan markabmu palis
Jika
hendak engkau menjeling sawang
Ingat-ingat
akan ujung karang
Jabat
kemudi jangan kau mamang
Supaya
betul ke bandar kau datang
Anak
mu`allim tahu akan jalan
Da’im
berjalan di laut nyaman
Markabmu
tiada berpapan
Olehnya
itu tiada berlawan
(Ik.
XVIII, Ms. Jak. Mal. 83)
Dalam syairnya yang lain (ikat-ikatan
XVII) taMs.il anak dagang diganti anak jamu: Dengarkan hai anak jamu/ Unggas
itu sekalian kamu/ `Ilmunya yogya kau ramu /Supaya jadi mulia adamu.” Anak jamu
diumpamakan juga sebagai unggas yang
tinggal dalam kandang syariat dan memliki berbagai kelengkapan rohani:
`Ilm al-yaqin nama `ilmunya
`Ayn al-yaqin hasil tahunya
Haqq al-yaqin akan lakunya
Muhammad nabi asal gurunya
Syari`at akan tirainya
Tariqat akan bidainya
Haqiqat akan ripainya (ripinya)
Ma`rifat akan isainya (isinya)
Jelaslah bahwa yang dimaksud faqir oleh
penyair bukanlah orang miskin biasa dalam artian papa dan menderita, serta tak
berpengetahuan. Ibn Abu `Ishaq al-Kalabadhi, sufi abad ke-11 M, dalam bukunya
al-Ta`arruf li Madzzhabi ahl al-Tashawwuf mengatakan, ”Ibn al-Jalla mengatakan,
’Kefaqiran ialah bahwa tiada sesuatu pun yang menjadi milikmu, atau jika memang
ada sesuatu, itu tidak boleh menjadi milikmu’. Perkataan ini mengandung arti
yang sama dengan firman Tuhan, ’Sedangkan mereka lebih mengutamakan kepentingan
orang banyak, dibanding semata-mata kepentingan mereka sendiri, sekalipun
mereka dalam kesukaran’” (Arberry 1976:118).
Sedangkan Ali Utsman al-Hujwiri dalam
Kasyf al-Mahjub, mengatakan dengan mengutip seorang sufi, ”Laysa al-faqr man
khala min al-zad, inna-ma alfaqr man khala min al-murad, yakni ’Faqir bukan
orang yang tak punya rezeki/penghasilan, melainkan yang pembawaan dirinya hampa
dari nafsu rendah’.” Dia juga mengutip Syekh Ruwaym, ”Min na`t al-faqr hifzzhu
sirrihi wa syanatu nafsihi wa ada’u fazi dhatihi’, yakni ’Ciri faqir ialah hatinya
terlindung dari kepentingan diri, dan jiwanya terjaga dari kecemaran serta
tetap melaksanakan kewajiban agama.” (Nicholson 1982:35).
Dalam ikat-ikatan XIX Hamzah Fansuri
menggambarkan bahwa seorang faqir merupakan pribadi yang elok sebab telah memfanakan
seluruh potensi dirinya (akal, rasa, diri jasmani, nyawa) ke dalam tujuan
spiritual kehidupan.
Sidang
faqir empunya kata
Tuhanmu
zahir terlalu nyata
Jika
sungguh engkau bermata
Lihatlah
dirimu rata-rata
...
Kekasihmu
zahir terlalu terang
Pada
kedua `alam nyata terbentang
Ahl
al-Ma`rifa terlalu menang
Washilnya
da’im tiada berselang
...
Hamzah
miskin orang`uryani
Seperti
Isma`il jadi qurbani
Bukannya
`Ajami lagi `Arabi
Nentiasa
washil dengan Yang Baqi
`Uryan arti harfiahnya ialah telanjang,
maksudnya orang yang hatinya tulus. Dalam bait tersebut Hamzah Fansuri
menyamakan faqir dengan pribadi Nabi Ismail a.s. yang sedia mengurbankan nyawa
dan dirinya dalam memenuhi perintah Tuhan. Seorang faqir adalah pribadi
universal yang tidak terikat lagi oleh warna kulit, ras dan kebangsaan.
Sejak lama telah muncul anggapan luas
bahwa tasawuf atau tariqat yang diajarkan Hamzah Fansuri mengabaikan syari`at.
Namun dalam beberapa bait syairnya Hamzah Fansuri justru menekankan betapa
pentingnya syari`at. Sebagai contoh dalam bait berikut:
Syari`at
Muhammad terlalu `amiq (dalam)
Cahayanya
terang di negeri Bayt al-`athiq
Tandanya
ghalib sempurna thariq (jalan)
Banyaklah
kafir menjadi rafiq (kawan)
Bayt
al-`athiq itulah bernama Ka`bah
`Ibadat
di dalamnya tiada berhelah
Tempatnya
ma`lum di tanah Mekkah
Akan
qiblat Islam menyembah Allah
(Ik. IV Ms. Jak. Mal 83)
Dikatakan bahwa syari`at mengandung
makna yang dalam dan di dalamnya membentang jalan yang sempurna menuju Tuhan.
Bahkan menurut para sufi syari`at itu merupakan jalan besar, sedang tariqat
merupakan lorong kecil (Tirmingham 1973, 5).
Demikianlah uraian ringkas puisi esai
Hamzah Fansuri. Puisi sejenis juga dijumpai dalam sajak-sajak Iqbal dalam buku
seperti Asrar-i Khudi, Pas Chih Bayad Kad dan Parlemen Setan.
Abdul Hadi WM, dikenal sebagai penyair sufi dan seorang profesor di Universitas
Paramadina Jakarta. Dia lahir di Sumenep,
Madura, 24 Juni 1946, tepatnya di Pasongsongan. Dia merupakan seorang
‘pengembara’, sejak lulus sekolah menengah pertama, dia sudah keluar dari
Madura untuk menimbah ilmu. Mulai dari Surabaya, Bali, Yogyakara, Bandung,
Jakarta, sampai luar negeri, seperti Amerika, dan Malaysia. Dari kota ke kota
hingga mancanegara itulah, dia menempuh pendidikan sampai tahap akhir sebagai
doktor sekaligus sebagai dosen tamu.
Karya-karyanya tersebar di sejumlah media, buku
bersama, dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa asing. Buku puisi yang pernah
lahir dari tangannya antara lain: Riwayat (1967) Laut Belum Pasang
(1971), Cermin (1975), Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur
(1975), Meditasi (1976) Tergantung Pada Angin (1977), Anak
Laut Anak Angin (1983), Pembawa Matahari (2002).
Selain itu, dia juga banyak menerjemahkan
karya-karya penting dunia ke dalam bahasa Indonesia, semisal Faust (Goethe),
Rumi: Sufi dan Penyair (1985), Pesan dari Timur Mohammad Iqbal
(1985), Kumpulan Sajak Iqbal: Pesan kepada Bangsa-bangsa Timur (1985), Kehancuran
dan Kebangunan: Kumpulan Puisi Jepang (1987). Sedang di antara banyak
kumpulan esainya, Kembali ke Akar Kembali ke Sumber (1999) merupakan
yang paling banyak dicari orang.
Tidak terbilang jumlah penghargaan yang pernah
dia raih, di antaranya: Anugerah Seni Pemerintah Republik Indonesia (1979),
South-East Asia (SEA) Write Award, Bangkok, Thailand (1985), Anugerah Mastera
(Majelis Sastra Asia Tenggara) (2003), dan Penghargaan Satyalancana Kebudayaan
Pemerintah Republik Indonesia (2010).
Kini dia tinggal di Bogor, masih terus aktif
menulis, mengisi seminar, dan menjadi penasehat di Yayasan Hari Puisi
(Indonesia).