Tulisan dan Ingatan - Dwi Pranoto I Kawaca.Com
Tulisan dan Ingatan
Oleh Dwi Pranoto
#KAWACA.COM - Tulisan merupakan salah satu penemuan manusia
paling ajaib. Bukan hanya tulisan dalam sistem masa kini yang alfabetik. Bahkan
pada masa ketika merupakan sistem ideogram atau pictograf, tulisan mempunyai
fungsi yang sama dengan tulisan saat ini, yakni menyebarkan dan mencagar
informasi atau ingatan. Melalui tulisan ingatan-ingatan terawetkan hingga jauh
melampaui usia seorang manusia. Dengan cara seperti ini peradaban-peradaban dan
kebudayaan-kebudayaan kuno kembali pada hari ini.
Salah satu kisah perjalanan mencari
kebijaksanaan paling terkenal dan dramatik adalah perjalanan ke Barat bhikku
Xuanzang atau lebih dikenal sebagai Tông-sam-cōng. Xuanzang, yang selama masa studinya dikenal sebagai penghafal hebat
kitab-kitab, mengikuti saran seorang murid bhikku tertinggi di Perguruan
Nalanda, yang mengunjungi Changan melalui laut. Xuanzang yang merasa hasil
penerjemahan kitab-kitab suci Budha di China sangat buruk disarankan oleh murid
bhikku Abbot Silabhadra tersebut untuk pergi ke Nalanda. Untuk betul-betul memahami makna sejati kitab suci, katanya, kau harus
ke Perguruan Nalanda dan belajar dibawah bimbingan Abbot Silabhadra.
Selama 17 tahun Xuanzang melakukan
perjalanan dari Changan, China, ke Nalanda, India, kembali lagi ke Changan.
Sepulang dari Nalanda Xuanzang membawa 600an kitab. Nama Xuanzang sendiri
berasal dari ‘San Zang’ bahasa Cina untuk Tripitaka, nama yang diberikan oleh
Abbot Silabhadra kepada Chen Yi, nama asli Xuanzang, setelah ia menjadi master
limapuluh kitab Budha, menjadi ‘San Zang’ kesepuluh. Xuanzang menimba
kebijaksanaan Budha dari ingatan-ingatan Budha dan ingatan-ingatan tentang
Budha yang ‘dibalsem’ , melalui tulisan.
Menurut Umberto Eco kita punya tiga jenis
penyimpan ingatan (memori). Jenis pertama terbuat dari daging-darah dan diatur
oleh otak. Jenis kedua terbuat dari mineral, seperti tablet lempung, batu, dan
bahan dasar memori elektronik yakni silikon. Ketiga berbahan nabati, seperti
lontar, pudak, kulit kayu, kertas. Tapi ketiga jenis memori tersebut tidak akan
menjadi penyimpan ingatan tanpa tulisan.
Hamzah Fansuri, Soekarno, Pramodya, Chairil,
Amir Hamzah, Raja Ali Haji, Rendra, sudah mati. Kita mengingatnya karena
tulisan mereka dan tulisan tentang mereka. Tulisan mengawetkan ingatan, menjadi
suplemen bagi memori otak manusia yang rentan alpa. Melalui tulisan masa lalu
yang jauh diwariskan kepada generasi kini dan nanti. Tulisan ibarat mesin
waktu, membawa pembacanya mengarungi waktu. Mengenali mereka yang sudah mati,
menggali kembali kota-kota yang runtuh tertimbun lumpur dan sulur, merekatkan
kembali serpih-serpih peradaban dan kebudayaan yang lama ditinggalkan. Tulisan
membuat lidah kelu masa lalu berbicara.
Melalui tulisan pula kita menjelajah waktu-waktu
yang tak tertandai secara pribadi. Masa-masa dimana ingatan belum terbangkitkan
atau terbungkam selamanya; dari dunia ketuban sampai tahun-tahun awal kelahiran
dan sejak ajal sampai alam akhirat tak bertepi. Seperti narator dalam The Mask, Yukio Mishima, yang menuliskan
momen dirinya keluar dari garba ibu, bagaimana seorang bidan mempersiapkan
segala sesuatu menjelangkan kehadirannya dan memotong tali pusar. Atau mayat
yang bicara dalam My Name is Red,
Orhan Pamuk.
Tulisan ibarat kendaraan ajaib, membawa kita
melampaui tubuh. Mengembarai pengalaman-pengalaman yang tak teralami. Membawa
masuk ingatan-ingatan dan penghayatan atas ingatan-ingatan orang lain ke dalam
diri kita. Seperti Oneiros yang menuangkan mimpi palsu dalam kepala Agememnon dalam
Iliad, memindahkan pikiran Zeus ke
dalam otak Agememnon.
Di dalam tulisan mengeram sejenis kekuasaan
yang mampu menggugah dan melemahkan, menumbuhkan dan menghancurkan. Tidak hanya
menyimpan ingatan-ingatan, tulisan juga dapat memblok ingatan-ingatan;
menumpuki dan membelokkan ingatan-ingatan. Rezim Soeharto, melalui tulisan
(sejarah) yang diajarkan di sekolah-sekolah, mengorup masa lalu dan
memanipulasi ingatan massa.
Penemuan mesin cetak oleh Guttenberg mengubah
penyebaran tulisan secara radikal. Kecepatan pencetakan tulisan yang diikuti
oleh pelipatgandaan produksi tindasannya menghancurkan penguasaan tulisan oleh
sebagian kelompok elit masyarakat. Penyebaran buku yang luas hingga menjangkau
masyarakat jelata mengancam kelompok-kelompok elit penguasa (agama dan politik)
yang sebelumnya mempunyai hak istimewa sebagai pemilik pengetahuan. Buku
(tulisan) menjadi berbahaya karena merongrong kekuasaan para elit. Dalam The Hunchback of Notre-Dame karya Victor
Hugo, tokoh pendeta katedral Notre-Dame, Claude Frollo, sambil melihat buku
lalu beralih ke bangunan katedral, mengatakan ‘Ceci tuera cela’ (ini akan
membunuh itu atau buku akan membunuh katedral).
Bagi para tiran tulisan seringkali dianggap
sebagai ancaman terhadap kekuasaan. Oleh karenanya, dengan berbagai dalih, para
tiran menggunakan segala cara untuk mengontrol tulisan. Alasan paling sering
digunakan adalah tulisan yang tidak dikontrol akan menyebabkan keresahan masyarakat
atau merongrong negara. Pemerintahan Soekarno pernah melarang karya Pramodya
Ananta Toer, Hoakiau Indonesia dan Matinja Seorang Petani karya Agam Wispi.
Orde Baru melarang semua buku yang dianggap menyebarkan ajaran komunis, bahkan
memenjarakan para pengarangnya. Sementara, pada masa Reformasi yang dianggap
sebagai era keterbukaan dan mekarnya demokrasi, pemerintah melalui Kejaksaan
Agung melarang buku seperti Lekra Tak
Pernah Membakar Buku, karya Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin Dahlan.
Namun, pada sisi lain, bagi pihak yang menentang kontrol, tulisan dianggap
mampu menjadi corong kebenaran. Tulisan ibarat palu godam yang
menggedor-hancurkan berhala-berhala kepalsuan. Kata adalah senjata, kata
pejuang Zapatista bertopeng di Chiapas, Subcomandate Marcos.
Tapi dalam Phaedrus, Plato menulis; Theut, yang dianggap penemu tulisan,
menunjukan penemuannya di hadapan Firaun Thamus atau Ammon. “Ini”, kata Theut, “Akan membuat masyarakat
Mesir lebih bijaksana dan mengingat
lebih baik”. ”O sang jatmika Theut”, jawab Thamus, “Penemu tak selalu menjadi
hakim paling baik untuk memutuskan apakah temuannya bermanfaat atau tidak”.
Selanjutnya Thamus menilai bahwa tulisan akan membuat lupa jiwa para penuntut
ilmu, karena mereka tak menggunakan ingatan-ingatan mereka; mereka belaka
percaya pada aksara-aksara tertulis. Apa yang kau temukan bukan alat bantu
untuk mengingat, tapi untuk mengenang, dan murid-muridmu tak kau ajarkan
kebenaran tapi hanya tiruan kebenaran; mereka akan mendengar banyak hal tapi
tak belajar apapun; mereka bakal menjadi
mahatahu dan tak mengetahui apapun; mereka akan menjadi kelompok yang
menjengkelkan, menunjukan kebijaksanaan tanpa kenyataan.
Apa yang dikhawatirkan Firaun Thamus
tampaknya tak membendung penggunaan dan penyebaran tulisan. Hari ini kota-kota
dikepung tulisan. Reklame, baliho, dan spanduk dengan berbagai ukuran menyergap
warga kota, berlomba-lomba menyusup masuk ke dalam diri orang-orang dan
mengasingkan mereka dari diri mereka sendiri. Sementara, dengan telpon selular
di tangan orang-orang menjelma Hermes. Seperti di kekaisaran Kafka, orang-orang
menjadi kurir pesan, mereka berkeliling – diantarai telpon selular – dengan
tergesa-gesa ke seluruh dunia.
Dwi Pranoto lahir di Banyuwangi. Puisinya
dimuat antara lain di antologi bersama Cerita dari Hutan Bakau (Pustaka
Sastra, 1994), dan Lelaki Kecil di Terowongan Maling (Melati
Press, 2013). Buku puisi tunggalnya Hantu, Api, Butiran Abu (Gress,
2011). Karya terjemahannya Piramid (Marjin Kiri, 2011), novel
karya Ismail Kadare.