Si Penyair Nyinyir: Nanang Suryadi - Indra Intisa
Si Penyair Nyinyir: Nanang
Suryadi
Oleh Indra Intisa
Oleh Indra Intisa
“Di pucuk pohon cempaka
burung kutilang berbunyi
bersiul, siul sepanjang
hari
dengan tak jemu jemu
mengangguk angguk sambil
berseru
trilili lili lilili” (Lagu Burung Kutilang)
Ketika kita masuk hutan, kita akan menemui
banyak bebunyian dari hewan-hewan yang beranekaragam. Mulai dari hewan-hewan
kecil, seperti kodok, burung, ayam hutan dan sampai hewan besar seperti kera dan sebagainya.
Kalau kita perhatikan, bunyi dari hewan-hewan ini cenderung sama dan
berulang-ulang, sehingga menimbulkan efek sugesti tertentu. Onomatope (tiruan
dari bunyi) ini bisa saja bermaksud sebagai tanda kemarahan, kesenangan,
memanggil lawan jenis, dsb. Ruh dari bunyi-bunyian ini sering dimanfaatkan
manusia sebagai sebuah penanda, anggap saja dalam sebuah mantra.
Sutardji adalah salah seorang penyair yang
mampu menangkap dengan baik efek dari bunyi-bunyian itu. Repetisi bunyi yang
berulang-ulang, seperti bunyi kodok yang itu-itu saja, bunyi burung yang
berkicau dengan ulangan yang itu-itu saja, tentu saja bisa diambil dan
dileburkan dalam sebuah puisi. Simak saja Sutardji dengan nyinyir memasukkan
bunyi-bunyi yang cenderung sama dalam beberapa puisinya. Kesamaan bunyi dari
vokal dan konsonan tertentu adalah sebuah pesan yang sesungguhnya—ruh dari
puisinya.
Berbeda dengan Sutardji, adalah Afrizal Malna
yang mempunyai konsep nyinyir yang berbeda. Sekalipun ia dikenal sebagai
penyair yang sering memakai diksi-diksi aneh—berbeda dari umumnya—penggunaan
metafora yang terkesan beda—mengambil tema urban—sesungguhnya ia juga seorang
penyair yang nyinyir. Jika Sutardji nyinyir dengan bunyi-bunyian, maka Afrizal
Malna nyinyir dengan kata konkret yang ia anggap kuat. Beberapa puisinya
cenderung mengulang kata yang sama untuk mencapai efek tertentu. Itu seperti
orang latah, gila, dst., sehingga mampu menyerang otak pembaca. Beberapa
pembaca merasa sedang dikacaukan otaknya, dibuat kesal, dst.
Dari dari dua orang penyair nyinyir Sutardji
dan Afrizal Malna, maka lahir pula penyair lain yang tidak kalah nyinyirnya.
Dia adalah penyair yang akktif sebagai dosen di Universitas Brawijaya. Dosen
dengan nama Nanang Suryadi ini, juga memiliki puisi-puisi nyinyir yang tidak
kalah kuatnya. Saya seolah-olah berdiri di antara Sutardji dan Afrizal Malna.
Seolah dia adalah reinkarnasi dari dua penyair besar itu. Jika Sutardji kita
andaikan sebagai kendaraan roda empat dan Afrizal Malna sebagai kendaraan roda
dua, maka Nanang Suryadi adalah kendaraan roda tiganya—bemo. Ia seolah berdiri
di tengah-tengah dua penyair ini. (Perumpamaan ini tidak bermaksud memantik
konotasi negatif).
Nanang Suryadi banyak menulis puisi yang
pendek-pendek. Sekalipun ia dikenal nyinyir, tidak serta merta membuatnya boros
dalam menulis puisi. Kecenderurang nyinyirnya ini hampir memoles semua puisinya
yang terangkum dalam sebuah naskah (karena belum dibukukan, saya tidak bisa
menyebutkan judul, kapan terbit, dst.). Anggap saja kita sebut dengan naskah X.
Naskah X ini sengaja ia buat dengan pahit-pahit. Mari kita simak puisi pendeknya:
JAM
DINDING YANG BERDETIK
jam dinding terus berdetik chril, jam yang
tak henti henti mengabarkan waktu, jam di dinding yang mengenang larik sajak
sepanjang kerawang bekasi. tak kutahu apakah jam terus berdetik sepanjang jalan
kalimalang bekasi di tangan Iwan Soekri tapi detik jam terus berbunyi di
dinding mungkin serupa cicak berdecak atau jantung berdetak terus berdetak.
Bandung,
29 Maret 2017
Coba kita perhatikan dengan saksama puisi di
atas, ada beberapa diksi yang sengaj ditulis ulang oleh aku lirik. Seperti: //jam
dinding/, /terus berdetik/, /detik/, /dinding// dst. Repetisi kata yang sengaja
ditulis tentu sengaja dibuat bukan karena aku lirik sedang kehabisan ide kata
dalam menulis. Ia ingin sengaja menyerang otak kita pada simbol-simbol tertentu
supaya ada hal-hal yang melekat di otak kita. Itu seperti teori sebuah hipnotis.
Ada kata-kata tertentu yang sengaja disampaikan ke kita—dengan metode tertentu
supaya kita masuk ke alam yang ia inginkan. Mari kita simak puisinya yang lain:
TIDURLAH PENYAIR, TIDUR
tidurlah penyair, tidur.
malam telah melarut ke dalam bergelas gelas kopi yang bersarang di perutmu.
tidurlah, semua baik baik saja, tak ada yang perlu dikhawatirkan. tidurlah, tak
ada yang menyerangmu dari negeri api negeri angin negeri air negeri tanah. tidurlah
penyair, tidur. semua baik baik saja.
Bandung, 29 Maret 2017
Coba kita perhatikan dengan dalam, ada
beberapa kata yang sengaja direpetisi supaya muncul keadaan tertentu terhadap
pembaca. Coba simak kata “tidur”, ada berapa kali diulang-ulang dalam puisi?
Keadaan ini mengingatkan kita pada lagu saat kita kecil dulu, lagu tidur yang
dinyanyikan ayah-ibu. Kira-kira liriknya seperti ini:
Bobok, bobok anakku sayang
Bobok, boboklah sayang
Kalau tidak bobok …
Kata “bobo” sengaja diulang untuk mendapatkan
efek tertentu. Efek-efek ini sengaja dipilih oleh aku lirik—pada kata yang
ditentukan—sebagai kata konkret dalam puisi—hingga muncul semacam kesadaran,
emosi, atau hal-hal yang memicu sesuatu yang tidak disangka-sangka oleh
pembaca. Mari kita simak puisinya yang lain:
KEMBALI KE SUNYI PUISI
aku padamkan segala bara
dalam diri aku padamkan segala yang tak berarti hingga sunyi hingga sunyi yang
tak bertepi menjelma dalam diri
demikian sunyi puisi tak
peduli gemerincing goda demikian sunyi puisi tak peduli debat kata demikian
sunyi puisi di dalam diri
demikian puisi diriku yang
sunyi
Bandung, 27 Maret 2017
Perhatikan kata “sunyi” dari puisi di atas.
Ada berapa kali yang diulang aku lirik? Penekanan terhadap kata ini tentu
menyebabkan kita lebih banyak mengingat-ingat sunyi. Tetapi, coba kita sadari
lebih dalam. Bukankah kesunyian itu tidak perlu disebut secara berulang-ulang?
Jika terlalu sering disebut, bukankan akan menjadi ramai? Begitulah cerdasnya
aku lirik dalam memanfaatkan repetisi.
Kalau kita hubung-bungkan dengan kehidupan,
kadang tanpa sadar kita telah nyinyir terhadap kehidupan orang lain,
kebahagiaan orang lain. Tanpa sadar kita lupa dengan kenyinyiran terhadap diri
sendiri. Nyinyir untuk berusaha menjadi lebih baik. Nyinyir untuk selalu berusaha.
Nyinyir untuk mensugesti diri supaya selalu dalam keadaan positif.
Pulau Punjung, 31 Maret 2017
Indra Intisa, lelaki yang sangat produktif dalam
menulis, baik puisi, esai, maupun cerpen. Sejumlah buku telah lahir dari
tangannya, Panggung Demokrasi (2015), Nasehat Lebah (2015), Ketika
Fajar (2015), Teori dan Konsep (Puisi Tiga Kata, 2015), Dialog
Waktu (2016), Dunia dalam Sajak (2016), Sang Pengintai
(2016), serta Sungai yang Dikencingi Emas (2017). Ompi -biasa dipanggil-
juga menyukai dunia musik, kini bekerja sebagai PNS, dan tinggal di Sumbar.