Nasib Konsultan Skripsi - Sulistiyo Suparno
NASIB KONSULTAN SKRIPSI
Oleh Sulistiyo Suparno
Lima belas tahun
yang lalu, selepas SMA, Nasib merantau ke Kota Selatan, menumpang di rumah
Paman Karmani. Mula-mula Nasib bantu-bantu di tempat usaha photocopy milik pamannya dan mendapatkan upah sekadarnya. Nasib
sebisa mungkin menabung dan berharap suatu hari nanti mampu membeli rumah
mungil dengan kolam ikan di halaman belakang.
Paman Karmani dapat
membaca apa yang dipikirkan Nasib, lalu bertanya apakah keponakannya itu ingin
mendapatkan uang yang banyak secara cepat? Tentu saja Nasib bersemangat
mengangguk.
“Bagaimana
caranya, Paman?”
Paman Karmani mengambil
beberapa buku dari rak. Buku-buku metodologi penelitian, statistik, panduan
menyusun skripsi, dan buku-buku perkuliahan.
“Kamu bacalah.
Pelajari dan pahami baik-baik. Setelah itu kamu bisa menghasilkan banyak uang,”
perintah Paman Karmani.
“Semua buku ini,
Paman?”
“Aku yakin kamu
mampu,”
Perkara membaca
buku, perkara mudah bagi Nasib. Ia mampu membaca dengan cepat. Ia mampu melahap
buku setebal 300 halaman dalam tempo dua hari. Saat SMP dan SMA, hampir semua
buku di perpustakaan sekolah telah ia baca.
Beberapa bulan
kemudian, Paman Karmani bertanya, “Kamu sudah paham cara bikin skripsi?”
“Sudah, Paman.”
“Bagus. Ini order
pertamamu,” kata Paman Karmani menyerahkan stofmap tebal dan beberapa buku.
“Pelajari, lalu kamu bikin skripsi sesuai pesanan.”
“Siap, Paman!”
Satu pesanan
skripsi selesai berlanjut ke skripsi berikutnya, berikutnya, dan seterusnya.
Saldo tabungan Nasib terus bertambah dan ia meminta izin Paman Karmani untuk
mengontrak rumah sendiri.
“Paman senang kamu
sudah bisa mandiri. Paman mengizinkan bila kamu mau bikin usaha sendiri,” kata
Paman Karmani.
“Maksud Paman?”
“Kamu tak perlu
rikuh pada Paman. Beberapa mantan karyawan Paman kini juga sudah punya usaha
sendiri, jadi Konsultan Skripsi,” sahut Paman.
Konsultan Skripsi.
Terdengar keren predikat itu. Nasib memasang iklan baris di koran, menempelkan
pamflet di tiang listrik. Kesulitan bikin
Skripsi? Hubungi....., begitu bahasa iklan dari Nasib.
Tiap hari Nasib
memeras otak, merangkai teori, menyusun variabel, mengutak-atik statistik.
Kalau sedang malas memeras otak, Nasib menempuh jalan pintas. Ia menyalin
skripsi lawas, lalu menyulapnya menjadi skripsi baru.
Nasib menjadi
pelanggan beberapa pedagang buku bekas di kotanya, mencari skripsi-skripsi
lawas yang entah bagaimana begitu mudah ditemukan di pasar loak.
Nasib juga punya
kenalan pedagang buku bekas di beberapa kota. Ia tak perlu secara fisik pergi
ke sana, tetapi cukup mengirim pesan melalui WA, adakah skripsi bertema
tertentu? Para kenalannya akan menjawab dengan memotret daftar isi sebuah atau
beberapa skripsi. Bila deal, Nasib
mentransfer sejumlah uang, lalu kenalannya mengirimkan skripsi itu melalui
paket kilat.
Suatu hari datang
seorang lelaki paruh baya, berkepala botak dan bertahi lalat di ujung hidung.
Si lelaki mengaku datang dari Kota Utara, mengetahui perihal Nasib dari
temannya. Lelaki itu menyebut sebuah nama dan Nasib mengangguk serta tersenyum
basa-basi. Nasib tak mungkin ingat semua mantan kliennya.
Si lelaki botak
memesan skripsi dan meminta Nasib menyelesaikannya dalam tempo enam bulan. Nasib
memasang wajah menyesal dan beralasan order sudah banyak, tetapi si lelaki
botak memaksa dan memohon.
“Tolonglah saya,
Mas. Jangan pikiran soal biaya. Berapa pun akan saya bayar. Lima juta, sepuluh
juta?”
Nasib tersenyum
dalam hati. Kena kupancing kau, kata hati Nasib girang.
“Bagaimana kalau
sepuluh juta? DP lima juta,” tanya Nasib.
Si lelaki botak
tersenyum, mengulurkan tangan. “Sepakat!”
Nasib pergi ke
beberapa pasar buku bekas di kotanya, mencari skripsi lawas. Ia bertanya pada
beberapa pedagang buku bekas, adakah skripsi tentang tema tertentu dan akhirnya
ia menemukannya.
Nasib memodifikasi
skripsi itu dan melalui email ia meminta si lelaki botak untuk mengirimkan
data-data yang diperlukan. Dalam tempo lima bulan, skripsi itu pun selesai. Si
lelaki botak datang dengan senyum bahagia mengambil skripsi pesanannya dan
menyerahkan sisa pembayaran dalam amplop coklat tebal.
Beberapa bulan
kemudian si lelaki botak kembali menemui Nasib. “Terima kasih Anda telah
membuatkan skripsi untuk saya. Tiga dosen penguji memuji skripsi saya –maksud
saya skripsi Anda. Saya lulus ujian skripsi dengan sangat memuaskan. Terimalah,
ini ala kadarnya dari saya, sebagai tanda terima kasih dari saya.” Sebelum
pergi, lelaki botak itu meninggalkan amplop coklat tebal.
Tabungan Nasib
telah melampaui harapannya. Nasib pulang ke kampung, membangun rumah di tanah
warisan. Rumah mungil dengan kolam ikan di halaman belakang. Nasib menikahi
seorang gadis tetangga yang sederhana.
Di tepi jalan
raya, Nasib membuka usaha photocopy.
Karena dekat dengan sekolahan dan perkantoran, usahanya laris.
Suatu hari Nasib
membaca koran pagi langganannya. Di halaman depan terpampang foto seorang
lelaki botak dan bertahi lalat di ujung hidung. Headline berita pagi itu:
Seorang Calon Walikota Diduga Menjiplak Skripsi.
“Mampus kamu!” Nasib
terkekeh, meletakkan koran itu di etalase, lalu menghampiri pengunjung yang
datang.
Seorang lelaki
paruh baya berseragam PGRI menengok ke segala arah, seolah memastikan bahwa tak
ada orang yang melihatnya. Lelaki itu mendekatkan kepala pada Nasib, lalu
berbisik.
“Bisa bantu saya,
Mas?”
“Bantu apa, Pak?”
“Buatkan saya
skripsi.”
Nasib tersenyum.
Setelah menatap beberapa saat lelaki itu, Nasib pun menggeleng.
***SELESAI***
Sulistiyo Suparno, kelahiran Batang 9 Mei 1974. Gemar
menulis cerpen sejak SMA. Cerpen-cerpennya tersiar di berbagai media lokal dan
nasional. Pernah pula menulis novel remaja Hah!
Pacarku? (Elexmedia, 2006). Bermukim di Batang, Jawa Tengah.