Masih Ada - Joe Hasan
Masih Ada
oleh Joe Hasan*
#KAWACA.COM - Sudah dari beberapa hari yang lalu aku merasakan sakit. Aku masuk ke kamarnya. Berharap dia memperhatikanku. Tapi sikapnya biasa saja. Tidak juga mengajakku bicara seperti yang dilakukan lelaki lain. Mungkin karena rasa sakit memang tidak pernah terlihat.
oleh Joe Hasan*
#KAWACA.COM - Sudah dari beberapa hari yang lalu aku merasakan sakit. Aku masuk ke kamarnya. Berharap dia memperhatikanku. Tapi sikapnya biasa saja. Tidak juga mengajakku bicara seperti yang dilakukan lelaki lain. Mungkin karena rasa sakit memang tidak pernah terlihat.
Kau pasti bertanya. Lelaki? Ya lelaki.
Aku masuk ke kamar lelaki yang bukan muhrimku. Dia
bukan suamiku. Aku telah dinodai banyak lelaki. Dari berbagai macam suku. Tapi
disinilah aku. Disinilah aku merasa nyaman. Bersama dia. Namanya Rudi. Baiklah.
Aku akan ceritakan bagaimana asal mula aku bertemu dengannya. Aku adalah wanita
buangan di sebuah kompleks. Tak ada tempat tinggal. Dan bak sampah adalah
tempat dimana aku mencari makanan. Tak perlu kau tanya dimana dan bagaimana aku
buang air. Tentu di bak sampah itu juga
aku melakukannya. Atau bila tidak, aku mencari tempat yang lebih tersembunyi.
Agar tak ada yang mengusikku. Hingga suatu saat, mungkin Tuhan yang menjawab
doaku. Muncullah sesosok lelaki yang pastinya pendatang baru di kompleks ini.
Menempati sebuah kamar kosong di sebuah rumah kos. Aku berusaha mendekatinya.
Awalnya aku takut. Takut disakiti seperti yang lain. Namun ternyata tidak.
Dugaanku salah. Dia justru memberiku makan. Sejak mengenal dialah aku merasa
hidupku menjadi layak untuk disebut makhluk hidup. Tanpa dia ketahui. Diam-diam
aku mencintainya.
Rudi seorang pegawai bank. Pergi
pagi pulang malam. Saat dia pulang saat itulah aku makan bersamanya. Saat dia
pergi, disediakannya makanan untukku di tempat khusus. Itu dilakukannya rutin
setiap hari. Kecuali hari libur.
Hingga tiba hari ini. Saat aku
merasakan sakitku sudah di puncak. Kau tahu, aku hamil. Lelaki yang menghamiliku
telah pergi entah kemana. Tinggllah aku disini dengan Rudi. aku merasa
bersyukur sekalipun tempat ini kecil. Paling tidak tempat ini cukup untuk aku
pakai melahirkan. Aku teringat dulu sebelum bertemu Rudi. Aku melahirkan di bak
sampah tempat aku mencari makan. Juga dihamili oleh lelaki yang hanya ingin
memuaskan nafsu birahinya. Lalu hilang entah kemana. Aku tahu kau akan menyebutku
pelacur. Tapi kau jangan salah, aku adalah korban. Setelah aku lahirkan anakku
aku pikir aku akan mati. Ternyata Tuhan masih memberiku umur panjang. Kutinggalkan
bayiku begitu saja. Aku tak mau peduli. Aku ingin mengurus diriku sendiri dulu.
Ingin pindah mencari tempat tinggal lain tapi aku tak bisa, aku terlalu atau mungkin
akan lebih pantas jika aku bilang bahwa aku terlanjur
mencintai kompleks ini. Sampai hari ini. Rasa cinta itu masih ada. Bahkan
bertambah. Karena adanya seorang Rudi.
Anehnya
Rudi tidak pernah mengajakku bicara. Mungkin selama ini dia hanya kasihan
melihatku.
Hari ini. Malam ini. Rasa sakit itu
tak bisa kutahan lagi. Tak ada dokter. Memang tak perlu. Aku tak memerlukan
dokter. Aku sudah terbiasa melakukannya sendiri. Dan sekarang aku ingin lelaki
ini yang menjagaku sekaligus menjadi dokter untukku. Seolah ucapanku didengar
olehnya. Ia siapkan tempat tidur untukku. Tepat disamping kasur tempat ia biasa
tidur. Awalnya aku merasa risih. Gelisah.
Dia juga gelisah. Tak mungkin ia memanggil orang-orang untuk membantuku. Semua
warga ini telah membenciku. Tak ada yang bersedia menampungku. Seperti Rudi.
lagi pula ini sudah terlalu larut malam. Mau tidak mau kurelakan lubang
kehormatanku dilihat jelas oleh lelaki ini.
Tunggu. Kau tahu apa yang dia
lakukan? Dia mengambil HP androidnya. Lalu mengarahkan kamera padaku. Dalam
hatiku yang paling dalam aku mengutuknya seumur hidup. Bagaimana mungkin dia
melakukan ini. Aku sedang menjerit kesakitan sementara dia dengan bahagianya merekam semua gerak-gerikku.
Termasuk lubangku. Mungkin dia pikir bahwa anak yang kulahirkan ini adalah
anaknya. Baik, aku ikut senang. Karena itu artinya dia juga akan merawat anakku.
Tapi rasa kesalku padanya tak bisa padam semudah itu. Aku tak habis pikir dia
merekam peristiwa ini.
Rudi mengusap-ngusap kepalaku.
Sedikit membuatku terhibur. Lebih tenang. Itu sentuhan pertamanya padaku. Dari situ
aku tahu, ternyata dia juga menyayangiku. Dan aaahh…. Ya ampun, ini bukan kali
pertama aku melahirkan. Harusnya aku tidak merasakan sakit yang terlalu seperti
ini. Lima menit pertama kulihat Rudi mulai resah. Seperti tak sabar ingin
menggendong bayi mungilku. HP kamera yang tadi dipegang dengan tangan kiri,
kini berganti ke tangan kanan. Mungkin tangan kirinya pegal. Aku marah-marah
dalam hati.
“Baru
begitu saja kau sudah merasa lelah. Bagaimana bila kau ada di posisiku. Pasti kau
takkan sanggup. Memikul bayi dalam perut dengan berat yang tak bisa diperkirakan
dalam waktu yang tidak singkat.”
Ia kembali mengusap kepalaku. Lalu
mengelus perutku. Entah itu elusan sayang atau elusan dorongan untuk membantu
bayiku keluar. Kubaca raut wajahnya berkata “ternyata melahirkan itu tidak
mudah.” Sudah berkali-kali ia mengganti tangan
memegang kamera. Dari tangan kiri kekanan dan dari kanan ke kiri. Hingga di
menit yang ke-25. Dan inilah saatnya. Oh… tidak. Kutarik napas lalu
kuhembuskan. Rudi mulai tersenyum. Kepala bayiku sudah keluar. Kutarik napas
lagi. Ku hembuskan lagi. Aahh….. lega. Akhirnya keluar. Sialan lelaki ini
bukannya membantu menggendong bayiku, malah semakin mendekatkan kameranya pada
bayiku. Brengsek. Aku mengumpat. Dia bahagia.
Hah… ternyata masih ada. Ya. Masih
ada yang mau keluar. Ya Tuhan, aku akan melahirkan bayi kembar. Aku bersiap.
Menarik napas. Hembuskan. Tarik napas lagi. Hembuskan lagi. Berkali-kali. Lalu
setelah berusaha. Keluarlah bayi keduaku. Aku melahirkan dua bayi kembar. aku
lelah. Aku merasa lubang kehormatanku telah robek. Tapi untungnya tidak. Rudi
kembali tersenyum. Lagi-lagi dia dekatkan kameranya pada bayi yang baru berusia
sekian detik.
Ya Tuhan. Tidak mungkin. Masih ada.
Masih ada yang mau keluar dari perutku. “kenapa begitu banyak bayi dalam
perutku.” Aku membatin. Siap-siap aku tarik napas.
Hembus. Kulakukan berulang kali seperti yang tadi kulakukan saat melahirkan
bayi pertama dan kedua. Dan.. aaahh.. brojollah bayi ketigaku. Aku melahirkan
tiga bayi kembar. Oh, aku bosan melihat kamera Rudi ini. Mungkin dia ingin
membuat dokumentasi untuk anak-anakku kelak mereka besar nanti. Terima kasih Tuhan.
Telah Kau datangkan malaikat penolong untukku.
Hah? Apalagi ini? Kenapa aku merasakan
lagi? Rupanya masih ada lagi. Semoga lubangku tidak kenapa-kenapa. Aku tarik
napas lagi. Hembuskan lagi. Tarik. Hembus. Tarik. Hembus. Tarik. Hembus.
Keluarlah bayi keempatku. Hufh.. aku lelah Tuhan. Kuharap ini yang terakhir
untuk malam ini. Aku tak sanggup lagi bila masih ada bayi dalam perutku.
Tuhan mengabulkan doaku. Aku
terbaring lemah. Dengan keempat bayi kembarku disamping kiri kananku. Pria itu.
Rudi. tersenyum riang. Apa dia mencintaiku juga? Kenapa dia begitu bahagia? Apa
karena dia tidak merasa kesepian lagi dengan hadirnya bayi-bayi dari rahimku?
Kembali dia mengelus kepalaku. Menenangkanku. Kubiarkan bayi-bayiku mencari puting
susuku untuk diisap airnya. Malam ini. Pertama kalinya. Kubiarkan, kurelakan,
kuikhlaskan kedua lubang kehormatanku yang berjarak sekitar satu sampai dua
centimeter untuk dilihat total oleh seorang lelaki. Sebab dialah lelaki yang
kucintai. Malam ini aku ingin berbaring dulu. Aku lelah. Istirahat adalah cara
jitu untuk memulihkan kembali tenagaku yang telah hilang.
Esok paginya. Aku sudah merasa lebih
baik. Sudah bisa kugerakkan badan. Dari tempat tidur ke lantai. Saat itu
kulihat Rudi sudah bangun. Sedang bersiap-siap untuk kerja. Dia melihatku.
Tersenyum mengelus lembut kepalaku. Lalu berkata. Itu suara pertamanya untukku.
“Kau melahirkan tepat tanggal 17 Agustus,
kucing.”
Hah… jadi selama ini dia tidak
pernah memberiku nama. Bagaimana dengan anak-anakku? Musnah sudah harapanku
untuk menikah dengannya.
(Jayapura,
Rabu, 26 Oktober 2016 – Minggu, 30 Oktober 2016)
*Joe Hasan, lahir di Ambon pada 22 Februari. Aktif di bidang olahraga
(Taekwondo)