Pagar Kenabian: Sebuah Universalisme Agama - Matroni Muserang
Pagar Kenabian: Sebuah Universalisme Agama
Oleh: Matroni Muserang*
Oleh: Matroni Muserang*
Sebelum terbit puisi ini sempat menjadi “perdebatan” tahun 2015 di Koran Republika yang ditulis oleh Raedu Basha, Dimas Indiyana Senja dan Khairul Umam, mereka bertiga saling beradu paradigma dalam membahas puisi Nadham yang ditulis oleh Sofyan RH Zaid, dan kini puisi itu sudah diantologikan dengan judul “Pagar Kenabian”.
Dari arah yang berbeda # kita jumpa di taman kota
Aku dari kampung filsafat # kau dari pedalaman tarekat
Puisi di atas saya petik sebagai pintu gerbang untuk menuju gerbang-gerbang berikutnya. Walaupun kita berbeda agama, budaya, pengetahuan, aliran, dan ras, namun tujuan kita satu yaitu kota. Walaupun kita berbeda pintu, namun tujuannya satu yaitu kota. Kota di sini saya maknai sebuah perkampungan, tempat dimana segalanya bermuara, yaitu filsafat dan tarekat. Kota sebuah jantung perkampungan Tuhan, sebab filsafat dan tarekat sebuah jalan atau perantara manusia agar cepat sampai di perkampungan Tuhan.
Pada dasarnya puisi merupakan kumpulan rekaman-rekaman perjalanan rohani atau mistik sang penyair. Puisi akan lahir sesuai dengan konteks dimana penyair ada dan bergelut dengan ruang dan waktu. Ada dalam ruang pengetahuan dan ada dalam konteks sosial-budaya. Wajar jika ada banyak aliran puisi yang berkembang di Indonesia maupun di luar Indonesia, sebab sudah menjadi hokum alam atau sunnatullah. Adanya konteks pengetahuan dan konteks sosial inilah seringkali penyair gegabah dan buru-buru untuk melahirkan puisi, padahal rohaninya belum hamil. Problem ini kemudian ada penyair yang mengambil dari sudut sosial ada juga yang mengambil dari sudut agama maupun filsafat untuk menghamili rohaninya.
Sofyan RH Zaid dalam kumpulan puisi “Pagar Kenabian” menghamili rohaninya dengan mencoba mendialogkan atau menyetubuhkan antara sosial, agama dan filsafat. Petikan puisi di atas misalnya jelas ingin memberikan gambaran bahwa filsafat dan tarekat memiliki hubungan yang erat, dalam ruang spiritual puisi itu sendiri. Karena di dalam filsafat tarekat juga ada, wajar jika Sofyan mampu memberikan suguhan yang lezat dan memuaskan kepada kita sebab di ruang keilmuan segalanya penting untuk kita dialogkan sebagai dialektika pengetahuan.
Gambaran lain dialog agama dan filsafat adalah Isa memberi kursi # kepala bergoyang sendiri/ Rene menuangkan anggur # aku bersulang luhur/ dipuncak tertinggi jiwaku # filsafat dan agama bersatu.Bagaimana mungkin filsafat dan agama bersatu padahal filsafat dan agama merupakan disiplin pengetahuan yang berbeda? Inilah kelebihan puisi. Ia mampu menyatukan, sebab puisi sebenarnya mistik keseharian penyair kata Heidegger. Fenomena alam semesta dilihat, direnungkan, dipikirkan kemudian diinternalisasikan, maka setelah waktunya lahir ia akan lahir anak yang bernama puisi atau karya sastra.
Antologi puisi “Pagar Kenabian” memberikan empat sabda puisi. Sabda kebenaran, sabda kesunyian, sabda kebijaksanaan dan sabda keselamatan. Apa makna empat sabda ini, kalau membaca isinya kita akan mengetahui dalam sabda kebenaran merupakan dialektika atau amaliyah tsaqafah (intelektualitas) dan hadharah (peradaban), misalnya puisi “filsafat agama” yang mendialogkan filsafat dan agama dan “kampung kebenaran” yang mendialogkan materialisme dan spiritual.
Sabda kesunyian merekam proses amaliyah, sebab kalau kita hanya belajar, membaca dan diskusi tanpa dibawa ke ruang kesunyian atau refleksivitas, kita tidak akan mendapatkan inti atau rohani-sublimatis dari apa yang kita amaliyahkan. Puisi “perempuan Bekasi” sebagai proses, “Filosofia al-fatihah” ruang religiusitas, dan “kamar Penyair” sebagai kesunyian.
Maka setelah kita mendapatkan substansi dari kesunyian itu, maka kita akan mendapatkan hikmah atau sabda kebijaksanaan, misalnya puisi “puncak kebijaksanaan” yang berisi tasawuf, dan “Gilieyang 1 dan 2” sebagai puisi kearifan lokal”. Juga berisi dialog antara nilai universal dari tasawuf dan lokal wisdom.
Barulah kita akan sampai di titik paling aman yaitu sabda keselamatan, misalnya puisi “sang penempuh” sebagai proses perjalanan, “rumah keselamatan” titik inti, Ada atau eksistensialisme, “Malaikat timur dan barat” sebagai airmata kebijaksanaan dan “semoga” sebagai doa. Doa merupakan ibadah moral paling tinggi sebab manusia hidup tanpa doa sombong, sebab sombong itu hanya milik kholiq bukan makhluk.
Empat sabda itulah sebenarnya “pagar kenabian” yang berbicara banyak hal, banyak kabar pengetahuan. Nabi dalam arti kabar, artinya “pagar kabar”, empat sabda itu adalah kabar gembira untuk manusia. Kabar apa? Tentu kabar ilmu dan pengetahuan. Kabar dimana nilai-nilai universalitas dari sebuah agama dan filsafat harus ditemukan titik temu melalui jembatan dialog. Baik dialog agama, fislafat, dan budaya, dengan begitu kita akan menemukan ide-ide segar dari antologi puisi ini.
“Pagar Kenabian” ingin menunjukkan terhadap pembaca bahwa tidak hanya ilmu dan pengetahuan agama, akan tetapi disiplin pengetahuan budaya, antropologi, sosial, filsafat, hermineutik, tafsir, biologi, sastra, dan bidang lainnya juga penting untuk kita baca (iqra’) sebagai kegiatan dialektika pengetahuan Tuhan yang harus kita cari kebenarannya, kebijaksanaannya agar membawa kita keperkampungan Tuhan yaitu Ridha Allah.
Kita tidak akan selamat untuk sampai ke perkampungan Tuhan, jika proses belajar membaca empat sabda itu, tidak dibarengi dengan berbagai disiplin ilmu yang lain. Sama halnya dengan manusia yang satu membutuhkan manusia yang lain, begitu proses berjalan pengetahuan. Mari kita tutup esai dengan puisi “semoga”: Yang lepas kembali # yang tinggal abadi.
*Penyair dan dosen di STKIP Sumenep
Baca Juga: