Menyalakan Kerinduan - Kurnia Effendi
MENYALAKAN KERINDUAN*
Oleh Kurnia Effendi**
#KAWACA.COM - Melalui puisi-puisi dalam buku Sisa
Cium di Alun-Alun, Weni sedang menyalakan kerinduannya, terutama kepada
tanah kelahiran dan tentu saja kepada kenangan.
Beberapa catatan yang saya peroleh dari pembacaan maju mundur – ya saya
jarang membaca antologi puisi secara linier – merupakan kesan personal secara
ringkas, sebagai sesama penulis puisi.
1.
Gugatan
Ada sejumlah puisi yang mengandung gugatan terhadap jembatan Suramadu
(Surabaya-Madura). Dalam hal ini menunjukkan bahwa puisi membangun peradaban
tetapi juga mencintai hal-hal klasik. Jembatan Suramadu yang memperpendek jarak
sosial dan ekonomi antara kota besar Surabaya dengan Pulau Madura telah
menghapus kenangan yang ingin dipelihara sang penyair. Di bawah ini beberapa yang tersurat:
Suramadu
menjauhkanku dari jejak leluhur
(“Sisa Kanak-Kanak”, hal. 32)
Di rantau kerinduanku
sebisu batu
Seribu ciumku untuk
mimpi-mimpi patah
(“Pulang ke Tanah Garam”, hal. 31)
Dalam keterasingan aku
berlumut rindu
Di Selat Madura, di beton
Suramadu
(“Saronen”, hal. 30)
Kenangan lantak oleh
Suramadu, aspal yang kekar
(“Cium di Alun-Alun”, hal. 29)
Kenangan bagi Weni sungguh keras kepala, sebagaimana tertulis pada puisi
“Mawar Berduri”. Penantiannya seperti menunggu kekasih datang di stasiun yang tak pernah ada dalam peta.
1.
Perantau yang Berpuisi
Adakah penyair yang hendak menghapus sejarah tanah kelahirannya? Seburuk
apa pun kondisi kampung halaman, selalu menjadi biang kerinduan. Kita (anggap
saja saya dan Weni sebaya dalam usia) yang merantau sejak tahun 90-an ke kota
besar (bisa karena pendidikan, pekerjaan, perkawinan), adalah generasi yang
terbelah. Mencari kehidupan sebagai kaum urban dengan aneka gegar budaya
(sesuai mental masing-masing), sementara separuh jiwa lainnya terikat dan milik
tanah kelahiran.
Itu sebabnya Weni mendapatkan kekayaan gagasan justru dari
realita-realita yang tak bisa ditampik meski membuatnya gelisah dan bimbang.
Ada upaya mempertemukan sekaligus juga memisahkan cinta pada modernitas
kekinian dan merawat kenangan masa lalu. Tentu akan berbeda cakrawala batinnya
dengan anak-anaknya yang sejak lahir sudah menjadi warga kota metropolitan.
Cinta di tanah urban memiliki ukuran yang berbeda karena impitan waktu
(irama kehidupan) dan suasana (yang diterima atau diciptakan) sehingga emosi
sesaat bisa jadi penghiburan untuk kelelahan fisik dan jiwa. Maka wajar jika
rindu Weni retak di meja kafe. Segelas anggur dan croissant/Kutelan
pelan-pelan bersama/angan yang berjatuhan/dari mataku (“Ilusi”, hal. 34).
Penyair Acep Zamzam Noor sangat Tasik dan santri, namun saat menjadi
urban dan bahkan ke mancanegara, ia melahirkan idiom-idiom yang berbeda melalui
buku Di Atas Umbria. Walau demikian,
pengembaraannya toh memerlukan kembali Menjadi
Penyair Lagi. Dan pada akhirnya berdamai, membuka jiwanya untuk yang subtil
dan transenden dengan yang profan dan fisikal: Bagian dari Kegembiraan.
Berbeda dengan Kiki Sulistyo yang baru saja meraih Kusala Sastra
Khatulistiwa. Buku Ampenan, Apa Lagi yang
Kucari, adalah pergulatannya yang liat dengan tanah kelahiran. Tampaknya belum
terjajah konteks kota besar.
2.
Laut Fisik dan Simbolik
Laut bagi penyair
Indonesia adalah sebuah keniscayaan. Siapa orang Indonesia yang belum pernah
melihat laut? Laut merupakan kata dengan makna yang amat kaya, dapat mewakili
keluasan sekaligus kedalaman sebagai metafora maupun realita. Tapi laut juga
lambang keperkasaan, tantangan, marabahaya, kegairahan, melalui debur ombak dan
badai yang dalam sejarah banyak pula memakan korban. Bisa menenggelamkan kapal Titanic,
juga melahirkan tsunami seperti di Aceh.
Saya orang pantura, Weni
orang Madura, maka kami pasti akrab dengan laut. Bagaimana mengolah laut agar
lebih unik daripada sekadar metafora umum, itulah tantangan bagi penyair.
3.
Referensi
Pembacaan atas buku-buku
filsafat, sastra, dan disiplin ilmu yang lain bakal menjadi pengayaan pribadi.
Sebagai penyair kita harus mampu mengendalikan diri untuk tidak mengumumkan
sebagai bentuk penjelajahan. Para penyair besar seperti Goenawan Mohamad, Sapardi
Djoko Damono, Sutardji Calzoum Bachri, tentu membaca lebih banyak buku ketimbang
kita dan menjadikannya sebagai afirmasi, studi banding, penguatan materi, namun
juga menghindarkan diri dari pengulangan. Sebuah puisi diharapkan memiliki
pertambahan nilai, dengan berbagai referensi itu. Menurut pendapa saya, kejujuran
menulis, yang lahir dari hati dan gagasan murni kegelisahan penyair, akan mengatasi
semua itu.
4.
Cinta dan Dosa
Pada diri manusia ada
gerakan saling tarik-menarik antara cinta dan dosa. Celakanya, ini memperkaya (gagasan)
puisi.
Ide yang membuat kita
tetap hidup bergelora adalah ilusi cinta, sebab yang “ideal” sudah tercantum
dalam kitab suci. Maka ada ukuran-ukuran yang fana sebagai batas kita
berkelana. Dengan ungkapan “usia tinggal ampas” (“Laut Kenangan”, hal. 5) dan (“Demi
Waktu 2”, hal. 13) adalah kesadaran penyair bahwa bisa saja hidup ini sia-sia,
terutama pada sisa usia yang sedang dijalani. Semakin cepat kesadaran itu kita
miliki, pilihan terbentang di hadapan untuk, misalnya, berbahagia. Dengan cara
memelihara ilusi cinta dengan demam kota besar atau memelihara kenangan yang
seolah bertahan sejak masa lalu hingga masa depan.
Weni sebagai seorang guru
telah memberikan dua kontribusi. Selain bagi khazanah kesusastraan, juga kepada
para siswanya yang menggemari sastra, khususnya puisi.
*Ditulis untuk mengantar diskusi buku puisi Sisa Cium di Alun-Alun karya
Weni Suryandari
**Kurnia Effendi, lahir di Tegal, 20 Oktober 1960.
Mas Kef (sapaan akrabnya) merupakan cerpenis dan penyair. Karya-karyanya
tersebar di sejumlah media massa, dan buku bersama. Mas Kef juga banyak
menerbitkan buku kumpulan puisi dan cerpen. Buku puisi terbarunya adalah Hujan
Kopi dan Ciuman (2017). Pria bersarung batik ini baru saja kembali dari Belanda
dalam rangka Residensi Penulis, Komite Buku Nasional dan Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan.
Baca Juga: