Menjahit Luka dalam Sunyi - Sofyan RH. Zaid
Menjahit Luka dalam Sunyi*
Oleh Sofyan RH. Zaid**
“Puisi Indonesia adalah kisah masa lalu yang senyap,
tetapi heboh di atas panggung dan ruang kelas. Para penyair hebat lebih banyak
berpikir keras mencipta sajak, sementara mereka yang ingin disebut penyair
berteriak lantang membacakan puisi-puisi
kacangan,” tulis Maman S Mahayana di Kata Pembuka, buku Jalan Puisi: Dari
Nusantara ke Negeri Poci (2016). Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa
puisi lahir dari kesenyapan atau kesunyian melalui daya cipta keras penyair.
Kemudian puisi menjadi ramai di panggung-panggung -diskusi dan pembacaan puisi-
serta di ruang-ruang kelas -kajian dan pembelajaran puisi-. Bertolak dari
pernyataan itulah, saya ingin mengintip buku Alarm Sunyi karya Emi Suy
ini.
Sunyi, kata yang paling banyak kita jumpai dalam puisi.
Barangkali karena sunyi merupakan satu kata yang penuh sesuatu, dan suatu
suasana yang paling dekat dengan penyair ketika menuliskan puisinya. Tidak
setiap penyair sanggup menulis puisi di keramaian, seperti pasar, mal, pesta,
dan semacamnya. Dalam setiap puisi, sunyi pun memiliki makna yang berbeda, baik
tersurat maupun tersirat. Sunyi juga menempati posisi yang berbeda, entah
sebagai subjek ataupun objek. Lantas bagaimana dengan sunyi dalam buku Emi ini?
Ada sekitar 24 kata sunyi dalam buku ini di luar judul buku
dan puisinya. Buku ini dimulai dengan puisi “Sunyi” di mana “sunyi pun beranak
pinak” dan diakhiri dengan puisi “Sunyi Mati Sendiri” yang memang “sunyi
akhirnya mati sendiri”. Secara struktur, penyusunan puisi dalam buku ini seolah
sengaja ingin menggambarkan kesunyian secara utuh, dari lahir sampai mati
sebagaimana manusia.
Dalam buku ini, saya lebih banyak menemukan makna sunyi sebagai
‘yang tersurat’ kecuali pada “Tarian Sunyi” sunyi menjadi suara yang disimak, ”Ayat-Ayat
Kita” sunyi menjadi rahim, “Betapa Rindu” sunyi menjadi air. Sedangkan posisi sunyi
dalam buku ini banyak saya temukan hanya sebagai objek sebagaimana kesunyian
itu sendiri. Namun ada dua puisi di mana sunyi menjadi subjek, misalnya pada
“Sepasang Sunyi”: di kamar/saat hujan turun semalaman/kita menjadi sepasang
sunyi/paling riuh. Selanjutnya pada “Sebagai Aku”: sebagai sunyi aku
merayakan sepi dengan diam/ meredam segala rasa, menggenggam semua karsa.
Di antara semua puisi yang mengandung kata sunyi, ada
satu puisi yang paling saya ingat dan tepat untuk diangkat di sini, yakni:
Penjahit Luka
seorang perempuan
menjahit luka tubuhnya di bilik renta
menyatukan serpihan kenangan
yang pernah retak
sendiri ditemani rindu
pelan-pelan jemarinya merangkai sunyi
di antara potongan-potongan kain perca
malam adalah ujung jarum yang tiba-tiba
menusuk ujung telunjuk
berdarah dan perih tak membuatnya berhenti
meski senyap telah ditelan gelap
matanya yang layu belum tampak sayu
berkali-kali menggulung benang yang terlepas dari skoci
ia sabar menyimpan warna-warna ingatan
dalam sebuah laci
matanya menatap dekat lubang jarum
memasukkan ujung benang dalam lubang
menjadikannya sempurna sepotong baju
membalut tubuhnya yang sedikit keriput
bahagia pasti tiba dalam pelukan doa
“perempuan mesti bisa menjahit
setidaknya menjahit lukanya sendiri,”
bisik ibu.
Puisi “sederhana tapi mewah” ini menurut saya menarik dan
paling mewakili kesunyian dalam buku ini. Di puisi ini, terasa bagaimana kesabaran
Emi menggarap puisinya perlahan dari tahap ke tahap. Ibarat sebuah percintaan,
puisi ini berhasil dimulai dengan pemanasan, hubungan intim, sampai pada puncak.
Apa yang bisa dipetik dari puisi ini? Ada banyak, setidaknya ada tiga hal saja
yang ingin saya bisikkan:
Pertama, mitos,
di masyarakat Jawa, ketika seseorang sedang menjahit dan tangannya berdarah
karena tertusuk jarum, itu menjadi pertanda bahwa akan mengalami kesialan, baik
bagi dirinya sendiri maupun keluarganya.
Kedua, kode etik
perempuan, dibanding pria, perempuan paling sering menjadi objek yang terluka
oleh apa saja dalam hidupnya. Baik luka yang benar-benar luka, luka yang “tertusuk
padamu berdarah padaku’, atau luka yang “merasa terluka -padahal- belum
tertusuk”. Luka yang terakhir ini semacam ‘luka lebai’ atau ‘luka drama
emak-emak’. Jenis luka yang ketiga ini, juga banyak dialami manusia modern secara umum sebagai bagian dari alienasi. Namun dalam semua pengertian luka di atas, perempuan juga -dibanding
pria- lebih mudah memaafkan dan melupakan, karena sanggup menjahit lukanya
sendiri, diam-diam dalam sunyi.
Ketiga, prinsip menulis
puisi, sebagaimana pernyataan awal pengantar ini, puisi lahir dari kesunyian.
Menulis puisi tidak beda jauh dengan menjahit. Ada jarum, benang, kain, dan
model, sebagaimana ingin membuat celana dalam. Menulis puisi pun demikian, ada
alat bahasa yang kita kuasai, ada model yang hendak kita wujudkan. Puisi tanpa
alat dan model, hanya akan jadi puisi pasaran. Alat berkaitan dengan tehnik,
teori, dan bahasa, sedangkan model adalah karakter puisi yang kita perjuangkan.
Kata Sutardji Calzoum Bachri, puisi adalah tanda tangan, sejelek apapun selama
itu berbeda dengan orang lain, tetaplah tanda tangan kita sendiri. Tanda tangan
yang bisa kita pakai untuk kebaikan umat, ataupun melakukan korupsi.
Terakhir, layak untuk kita yang mencintai dunia puisi
selalu bertanya: Puisi -pun buku puisi Alarm Sunyi ini- sebenarnya untuk
apa? “Guru-guru sebagiannya berkelit mengajar puisi, sebab mereka sudah merasa
nikmat bermain dengan induk dan anak kalimat yang tersesat awalan-akhirannya.
Pemerintah menganggap puisi tiada penting, sebab ia tidak ada kaitanya dengan
politik dan kekuasaan. Kata-kata bijak: “Jika politik bengkok, puisi yang akan
meluruskannya”, boleh jadi sudah lama tak menjamah benak para politikus kita.
Sementara para pengusaha mungkin lebih sibuk menggerogoti aset negara dan tak
sempat melirik puisi barang sejenak pun. Puisi tetap berada di jalan sunyi,”
lebih lanjut tulis Maman S Mahayana di buku yang sama. Menyadari dan mengetahui
fakta seperti ini, lalu untuk apa puisi sebenarnya ditulis?
Mari kita kembali pada “Penjahit Luka”, menulis puisi
adalah menjahit luka dalam sunyi yang kadang jemari berdarah sebab tertusuk
jarum, pertanda akan mengalami kesialan. Namun jahitan harus tetap kita teruskan
demi terwujudnya sebuah model yang kita yakini dalam hidup, yaitu kebahagiaan.
Kebahagiaan yang membuat kita yakin, bahwa apapun itu, puisi tidak akan pernah
berhenti apalagi mati!
Bekasi, 4 November 2017
*Semacam pengantar Bedah Buku Alarm Sunyi (Emi Suy) &
Bazar Pasar Buku Sastra (PBS) 2017, Museum Layang-Layang, Jakarta Selatan,
Sabtu 4 November 2017, 13.00-15.00 WIB.
*Pencinta para penyair, dan penyuka mie ayam.
Baca Juga: