Mengitari Alun-Alun, Menyaksikan Prosesi Menawar Rindu - Dedy Tri Riyadi
Mengitari Alun-Alun, Menyaksikan Prosesi
Menawar Rindu
(Catatan pembacaan buku puisi “Sisa Cium di Alun Alun” karya Weni
Suryandari)
Oleh Dedy Tri Riyadi
A. Puisi sebagai Alun-Alun Tak Kasatmata
Alun-alun adalah identitas sebuah kotapraja. Khususnya di
pulau Jawa dari Jawa Barat hingga ke Jawa Timur. Dari masa sebelum kolonial
hingga sekarang secara bentuk, alun-alun tidak banyak mengalami perubahan yang
berarti. Ia adalah sebuah lapangan luas dengan sedikit rumput atau tidak sama
sekali, di mana terdapat pohon beringin di tengah-tengah atau dua buah
diletakkan bersisian. Untuk kotapraja di Jawa Timur dan Jawa Tengah pada masa
lampau, alun-alun biasanya terletak di sebelah utara kraton dan di sebelah
selatannya. Contohnya, kotapraja Majapahit punya alun-alun di sebelah selatan
yang diberi nama Bubat, sedangkan yang di utara diberi nama Waguntur. Alun-alun
sebelah selatan biasanya berhadapan dengan sitinggil, sebuah pendapa dari
kraton yang lantainya dibuat tinggi supaya raja bisa melihat aktivitas rakyat
dan prajurit yang sedang berlangsung di alun-alun tersebut. Sedangkan alun-alun
utara, biasanya berukuran lebih kecil, berhadapan dengan kraton dan tempat
pemujaan. Pada masa sekarang, tempat pemujaan sudah digantikan posisinya dengan
masjid.
Jika alun-alun selatan diperuntukkan bagi rakyat
melakukan audiensi (seba, tapa pepe, dll.) dan prajurit melakukan aktivitas (seperti
rampog macan, sodoran, dll.) juga dianggap sebagai tempat pertemuan pihak asing
(mancanegara), maka alun-alun utara diperuntukkan lebih pada acara-acara
seremonial kerajaan itu sendiri. Baik alun-alun selatan ataupun utara, penataan
alun-alun memperhatikan betul aliran kekuasaan, pengaruh luar dan dalam,
perlambangan terhadap semesta dan sebagainya. Jika diposisikan, maka alun-alun
bisa merupakan titik pertemuan dan sekaligus titik perpisahan untuk mengarah
pada hal-hal lain di sekitarnya seperti kraton (politik), pemujaan/masjid
(agama), pamongganan (bangsal alat musik, hiburan), kandang hewan (perlambang
pada nafsu, kedudukan, harga diri, dll.), atau kembali ke rumah masing-masing.
Mungkin, inilah posisi puisi yang ditawarkan oleh Weni
Suryandari, sehingga mengangkat judul buku kumpulan puisinya sebagai Sisa Cium
di Alun-Alun. Tempat orang berkumpul (dan berkasihan, maka ada cium di situ)
dan tempat orang berpisah kelak (setelah perjumpaan mereka, tentu). Anggaplah
begitu, bahwa puisi diposisikan sebagai sebuah alun-alun, namun gambaran ini
pun bisa langsung goyah karena pada larik pertama puisi Sisa Cium di Alun-alun
justru menampilkan imageri laut yang kuat. “Suatu masa, angin kesiur di
buritan, geladak sesak.” Tak ada beringin atau sitinggil di sana. Jadi,
alun-alun bagi Weni adalah alun-alun yang tak kasatmata. Bisa bertempat di mana
saja.
Weni lewat puisi-puisinya ini seolah menempatkan dirinya
sebagai rakyat yang ingin seba, atau prajurit yang ingin melakukan rampogan,
namun karena lahir di Surabaya dan kerap menyeberang ke Madura dengan kapal
Joko Tole pada zaman dulu, maka imaji-imaji lautlah yang begitu kental dalam
puisi-puisi Weni Suryandari. Baik alun-alun dan laut punya satu kesamaan yang
bisa dikesan yaitu keluasan.
Sebagai kumpulan puisi, Sisa Cium di Alun-Alun berisi 40
judul puisi yang jika dilihat dari temanya sangat beragam, namun sangat kental
diwarnai dengan tema rindu atau kerinduan.
Dibuka dengan puisi Lepas Tahun, Weni menulis “ada
kenangan bermain di dadaku, basah.” Lalu pada puisi ke dua, Hujan Agung, ada
rindu yang ditulis sebagai “sedang ciumku tak sampai-sampai di kotamu.” Di
Taman Laut, rindu ditulis “…sehelai rambutmu / Jatuh di mimpiku.” Di Laut
Kenangan, rindu jadi “…bayangmu/bermain begitu manis.” Di Hujan Januari,
menjadi, “…/Hujan menusuk kenangan di hulu jantung…”
Jika puisi sebagai alun-alun dan yang tersajikan adalah
kerinduan, ini mengibaratkan Weni sebagai rakyat yang tengah meminta perhatian
dari penguasa. Sedang seba dan melakukan tapa pepe (bertapa dengan cara
berjemur) di alun-alun selatan, atau jika menjadi prajurit, ia sedang bersiap
pada sebuah rampogan.
B. Kabar dari Timur
Jika di sebelah utara dari alun-alun selatan adalah
bangsal sitinggil, maka dari sebelah timurnya (dan juga dari barat, meskipun di
beberapa kota di sebelah barat digunakan untuk bangsal prajurit atau pemakaman
atau bangunan lainnya) adalah arah kedatangan dari mereka yang ingin masuk.
Jadi ketika dua kali weni menyebut tentang kabar dari timur, bisa jadi adalah
kabar dari lingkungannya, dalam hal ini keluarga yang berasal dari Pulau
Madura, yang posisinya jelas di timur dari Bekasi / Jakarta tempat Weni berada
sekarang.
Kabar itu tertangkap sebagai “…nyanyian laut yang muncul
dari kesunyian,” dalam puisi Pada Sebuah Laut, sebagai “air mata menderas dari
gunung-gunung,” dalam puisi Perjalanan Rindu, sebagai, “...kepak sayap dari
langit aksara,” dalam puisi Seawan Doa, Sesuar Cahaya, atau juga bisa sebagai “ingatan
sisa cium di alun-alun, (yang) kerap melambai,” seperti tertulis dalam puisi
Cium di Alun Alun.
Jika puisi seolah sebuah tempat dan kabar kerinduan
adalah pemantik, maka yang perlu diperhatikan adalah bagaimana Weni menyikapi
kerinduan itu dan melakukan semacam prosesi menawar rindu itu dalam
puisi-puisinya. Yang pertama terlihat dalam puisi berjudul Lelaki adalah
semacam kepasrahan. Di sana tertulis demikian, “…memberimu ladang mimpi…” dan “kutetesi
darah dari pecahan hati yang setia kuutuhkan kembali…” Meskipun ada frasa “aku
tetap mengulum matahari” yang terasa begitu gagah, tapi ironisnya Weni tidak
berusaha menggelapkan dunia dan membunuh hijauan yang tak dapat berfotosintesis
akibat kehilangan sinar / cahaya matahari.
Pada puisi Senja di Guci, kepasrahan itu pun berubah jadi
tingkah tunduk atau menurut, seperti dituliskan, “…saling melupa duka, kita
menjadi satu hati …” kepasrahan itu mewujud pada polah setia dalam puisi Senja
di Kaliurang dengan menulis, “…sebab mataku kerap terjaga sepanjang aman untuk
seluruhmu.” Weni seolah tidak melakukan perlawanan terhadap rasa rindu itu,
secara tegas dalam puisi Mawar Luka, justru ia menulis, “Aku tak sanggup
berkata…” karena memang sejatinya, seperti pada puisi Rindu Betara, yang
diinginkan adalah “kujelang asmara sewangi daun bidara.”
C. Menggelar Permainan yang Sebenarnya
Sikap puitis pasrah, tunduk, dan menginginkan hal-hal indah,
memang cukup jelas terbaca dalam puisi-puisi Weni Suryandari. Persoalannya
adalah, apakah memang begitu gamblang?
Pada puisi Pulang ke Tanah Garam, tertulis, “Berpagar
jarak aku sembunyi dari kecemasan demi kecemasan…” ini mengisyaratkan bahwa
dalam puisi-puisinya, Weni berusaha untuk menutupinya. Pada puisi Ombak
Airmata, Weni juga berusaha meyakinkan pada pembaca bahwa puisi baginya juga
sebuah permainan, ia menulis, “…aku menyusun teka teki perjalanan menuju titik…”
atau pada puisi “Momiji di Kawaguchiko” Weni memang seolah justru tengah
menjebak pembaca dengan kegamblangan tadi. Ia tulis begini,”aku menulis kisah
padmi dengan telur kaca …” Telur kaca, tentu tembus pandang bukan? Jadi sikap
pasrah, tunduk tadi bukanlah yang sesungguhnya. Ia hanya bingkai cerita belaka.
Lalu apa permainan sebenarnya yang ingin ditunjukkan oleh Weni lewat
puisi-puisinya ini?
Puisi Taman Perpisahan sedikit memberi jawaban, di sana
tertulis, “Lalu aku terbang kembali sambil membunuh rindu yang tertunda.”
Perpisahan, membunuh rindu, suatu paduan yang menunjukkan perlawanan. Sebuah
sikap. Benarkah Weni ingin menghilangkan kerinduannya itu?
Nyanyian Pagi, barangkali, puisi yang menguatkan sikap
tadi. Di sana tertulis, “Perempuan mencuci najis yang rindu pulang/ ke pulau
seberang, rumah tempat sembahyang.” Rindu yang tadinya ingin ia turuti, ingin
diwujudkan ternyata ingin ia bunuh. Rindu itu dianggap najis yang harus dicuci.
Jadi jelas sudah bahwa rindu atau kerinduan hanyalah
suatu pemantik yang hadir dan di gelanggang puisi yang seluas alun-alun, Weni
menampakkan aksi menawar kerinduan itu dengan membunuhnya, mencuci najisnya.
Inilah aksi rampogan yang sebenarnya ingin ditunjukkan oleh seorang prajurit
bernama Weni Suryandari, “…mari ledakkan seribu purnama!” tantangnya dalam
puisi Seribu Purnama.
Dengan dua aktivitas yang ditunjukkan, sikap pasrah
seperti rakyat yang sedang seba atau tapa pepe, tetapi juga seperti prajurit
yang ingin membunuh rindu dan meledakkan purnama pada sebuah rampog macan atau rampog
banteng, puisi Weni memang seperti sebuah alun-alun di tengah kotapraja, dan
anda seperti seorang raja yang melihat dari bale sitinggil, bertanya-tanya
penuh kekaguman atau bisa menggerutu di dalam hati. Bagi saya, jika ingin
dianggap sebagai kekurangan, perpaduan dua sikap itu justru menimbulkan
ketegangan di dalam puisi-puisinya. Namun, begitulah puisi bukan?
Jakarta, November 2017
*Dedy Tri Riyadi,
Beberapa karyanya antara lain: Antologi Puisi Bersama Maulana Ahmad dan Inez
Dikara berjudul Sepasang Sepatu Sendiri Dalam Hujan, 2006, Dan Segalanya
Menghilang, Novel, 2009, Antologi Puisi Dewan Kesenian Jakarta, 2010,
Gelembung, kumpulan puisi, 2011, Liburan Penyair, kumpulan puisi, 2014,
Pengungsian Suara, sepilihan puisi, 2016. Bergiat di komunitas Pasar Malam
(Paguyuban Sastra Rabu Malam) dan mengelola blog pribadi
toko-sepatu.blogspot.com
Baca Juga:
Buku: Berlatih Solmisasi karya Dedy Tri Riyadi
Ini Tulisan Narudin yang Dianggap Penipuan oleh Dedy Tri Riyadi
Resensi Buku Sajak Sajak Sunyi karya Budhi Setyawan
Buku: Berlatih Solmisasi karya Dedy Tri Riyadi
Ini Tulisan Narudin yang Dianggap Penipuan oleh Dedy Tri Riyadi
Resensi Buku Sajak Sajak Sunyi karya Budhi Setyawan