Memerdekakan Sajak dari Penyair Salon - Indra Intisa
Memerdekakan Sajak dari Penyair
Salon
pada “Sajak Sebatang Lisong” karya WS. Rendra
Oleh Indra Intisa
“Bahwa sesungguhnya
kemerdekaan itu
ialah hak segala bangsa dan
oleh sebab itu,
maka penjajahan diatas
dunia harus dihapuskan…”
(Pembukaan UUD 1945)
Kemerdekaan adalah hak yang paling dasar yang
selalu diidam-idamkan manusia di dunia ini. Kemerdekaan berbudaya, berekspresi,
kesehatan, hidup, bekerja, dan lain sebagainya. Tetapi, kemerdekaan lahir tidak
atas dasar semena-mena. Merdeka bisa menjadi sebuah ancaman bagi orang lain
dalam bentuk penjajahan.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
kemerdekaan telah diatur dalam setiap perundang-undangan, khususnya Negara
Indonesia. Sebagaimana telah ditulis dalam UUD 1945. Tetapi, ketidakjalanan dan
kesenjangan banyak hal, menjadikan merdeka hanya sebagai eforia sesaat.
Kemudian menjadi angan-angan bagi sebagai orang lain, khususnya rakyat kecil.
Masyarakat kecil, politikus, negarawan, dan
bahkan seniman sangat banyak menyerukan kemerdekaan. Sebagian dari mereka
hanyalah seruan dalam bentuk dukungan. Sebagian yang lain hanya ikut-ikutan.
Pada seniman seperti penyair—yang kadang dianggap sebelah mata sebenarnya
mempunyai peranan penting dalam kehidupan bermasyarakat. Tidak salah memang,
banyak pandangan orang awam terhadap penyair itu bermula dari sajak-sajak
berbunga yang sibuk mempertontonkan gaya bahasa puitis—dibuat-buat indah,
tetapi esensi dan pesannya hanya menggelora terhadap rasa, elegi atau romansa
saja. Hal ini dianggap tidak menyentuh sisi-sisi penting masyarakat.
Barangkali, perlu jugalah para penyair menyoraki ketidakadilan yang banyak
terjadi di mansyarakat sebagai bentuk empati dan dukungan kepada elemen-elemen
yang terpijak. Begitulah Rendra dalam menyuarakan sajaknya, seperti pada sajak,
“Sajak Sebatang Lisong”.
SAJAK SEBATANG LISONG
Menghisap sebatang lisong
melihat Indonesia Raya,
mendengar 130 juta rakyat,
dan di langit
dua tiga cukong
mengangkang,
berak di atas kepala mereka
Matahari terbit.
Fajar tiba.
Dan aku melihat delapan juta
kanak-kanak
tanpa pendidikan.
Aku bertanya,
tetapi
pertanyaan-pertanyaanku
membentur meja kekuasaan
yang macet,
dan papantulis-papantulis
para pendidik
yang terlepas dari
persoalan kehidupan.
Delapan juta kanak-kanak
menghadapi satu jalan
panjang,
tanpa pilihan,
tanpa pepohonan,
tanpa dangau persinggahan,
tanpa ada bayangan
ujungnya.
Menghisap udara
yang disemprot deodorant,
aku melihat sarjana-sarjana
menganggur
berpeluh di jalan raya;
aku melihat wanita bunting
antri uang pensiun.
Dan di langit;
para tekhnokrat berkata :
bahwa bangsa kita adalah
malas,
bahwa bangsa mesti
dibangun;
mesti di-up-grade
disesuaikan dengan
teknologi yang diimpor
Gunung-gunung menjulang.
Langit pesta warna di dalam
senjakala
Dan aku melihat
protes-protes yang
terpendam,
terhimpit di bawah tilam.
Aku bertanya,
tetapi pertanyaanku
membentur jidat
penyair-penyair salon,
yang bersajak tentang
anggur dan rembulan,
sementara ketidakadilan
terjadi di sampingnya
dan delapan juta
kanak-kanak tanpa pendidikan
termangu-mangu di kaki dewi
kesenian.
Bunga-bunga bangsa tahun
depan
berkunang-kunang pandang
matanya,
di bawah iklan berlampu
neon,
Berjuta-juta harapan ibu
dan bapak
menjadi gemalau suara yang
kacau,
menjadi karang di bawah
muka samodra.
Kita harus berhenti membeli
rumus-rumus asing.
Diktat-diktat hanya boleh
memberi metode,
tetapi kita sendiri mesti
merumuskan keadaan.
Kita mesti keluar ke jalan
raya,
keluar ke desa-desa,
mencatat sendiri semua
gejala,
dan menghayati persoalan
yang nyata.
Inilah sajakku
Pamplet masa darurat.
Apakah artinya kesenian,
bila terpisah dari derita
lingkungan.
Apakah artinya berpikir,
bila terpisah dari masalah
kehidupan.
19 Agustus 1977
Sebenarnya, puisi-puisi protes tidak hanya
ditulis dan disorakkan oleh Rendra saja. Ada banyak penyair lain yang hadir
turut serta, anggap saja Taufik Ismail dan Widji Tukul yang terkenal dengan
perlawanannya. Tetapi, Rendra hadir pula dengan menyetuh dan menyentil para
penyair yang sibuk bermain dengan puisinya sendiri—memoles puisi menjadi cantik
dan menawan, tetapi tidak menyentuh dengan dalam kepada masyarakat—tidak
melebur. Perhatikan bunyi sajaknya pada bait berikut ini:
Aku bertanya,
tetapi pertanyaanku
membentur jidat
penyair-penyair salon,
yang bersajak tentang
anggur dan rembulan,
sementara ketidakadilan
terjadi di sampingnya
dan delapan juta
kanak-kanak tanpa pendidikan
termangu-mangu di kaki dewi
kesenian.
Penyair salon bisa saja bermakna luas. Kalau
dalam keterkinian—dunia ‘medsos’, penyair yang sibuk membunga-bungakan puisi.
Puisi dipoles sedemikian rupa, seperti diberi bedak, diberi gincu, diberi
celak, dst., sehingga penuh dengan warna-warni yang seolah terpaksa. Seharusnya
cantik menjadi menor. Seharusnya alami dan jujur menjadi buruk. Kadang
mengingatkan kita kepada kuntilanak yang wajahnya putih pucat, rambut panjang,
baju putih. Putihnya tidak menjadi mulus dan indah, justru menjadi seram. Atau
bisa juga seperti polesan dan riasan wajah pada badut. Yang terlihat justru
lucu dan layak ditertawakan.
Lain daripada itu, penyair salon yang
dimaksud Rendra adalah penyair yang sibuk memoles puisi hinga menjadi puitis
tetapi tidak menyentuh kepada masyarakat. Tidak menyentuh budaya, dst.,
sehingga penyair seperti dianggap tidak berguna bagi masyarakat. Ada
ketidakadilan, ketidakbenaran, dst., yang sering terjadi di lingkungannya.
Tetapi ia hanya sibuk berfoya-foya dengan diksi “rembulannya”, tanpa sanggup
menyinari keadaan yang sesungguhnya.
Rendra mengajak kita turun ke jalan, ikut
bekerja terhadap perubahan. Mari kita simak pada bait berikutnya:
Kita harus berhenti membeli
rumus-rumus asing.
Diktat-diktat hanya boleh
memberi metode,
tetapi kita sendiri mesti
merumuskan keadaan.
Kita mesti keluar ke jalan
raya,
keluar ke desa-desa,
mencatat sendiri semua
gejala,
dan menghayati persoalan
yang nyata.
Sebagai penutup, Rendra sengaja menyindir
dengan tegas pada penyair salon. Baginya, tidak ada yang lebih baik daripada
penyair daripada berguna bagi bangsa dan Negara.
Inilah sajakku
Pamplet masa darurat.
Apakah artinya kesenian,
bila terpisah dari derita
lingkungan.
Apakah artinya berpikir,
bila terpisah dari masalah
kehidupan.
Merdekakan sajak dari puisi salon. Puisi
gincu. Puisi gemulai. Puisi yang sibuk memperkaya cinta pada diri sendiri dan
puisi yang bertujuan untuk pujian yang tidak bermanfaat. Bravo Rendra.
Pulau Punjung, 28 Maret 2016
Indra Intisa, lelaki yang sangat produktif dalam
menulis, baik puisi, esai, maupun cerpen. Sejumlah buku telah lahir dari
tangannya, Panggung Demokrasi (2015), Nasehat Lebah (2015), Ketika
Fajar (2015), Teori dan Konsep (Puisi Tiga Kata, 2015), Dialog
Waktu (2016), Dunia dalam Sajak (2016), Sang Pengintai (2016),
serta Sungai yang Dikencingi Emas (2017). Ompi -biasa dipanggil- juga menyukai
dunia musik, kini bekerja sebagai PNS, dan tinggal di Sumbar.
Baca Juga: