Kehendak akan Makna - Alexander Aur
Kehendak akan Makna
Catatan
Kecil untuk Antologi
Puisi Sublimasi
Cinta Karya Martin da Silva
Alexander Aur *
Pengantar
Puisi-puisi yang
ditulis oleh penyair manapun, di satu sisi dapat dilihat sebagai representasi
intensi penyair yang bersangkutan, dan di sisi lain dapat pula diperlakukan
sebagai sebuah teks terbuka dan bebas oleh pembaca atau penafsir. Demikian pula
puisi-puisi dalam antologi puisi berjudul Sublimasi
Cinta ini.
Puisi-puisi dalam
antologi ini ditulis oleh penyair yang memilih hidup sebagai seorang klerikus
atau pelayan rohani selibat (memilih untuk tidak menikah dan hidup untuk
melayani Tuhan dan sesama manusia). Klerikus selibat merupakan sebuah bentuk
panggilan hidup dalam Gereja Katolik. Keberadaan penyair sebagai klerikus
selibat mempengaruhi/mewarnai pula tema-tema puisi dalam antologi ini. Dengan
demikian, intensi-intensi penyair terintrusi dalam puisi-puisinya.
Perihal penyair
mengintrusikan intensinya ke dalam puisi-puisinya, merupakan hal yang lazim dan
wajar. Bahkan, intrusi intensi penyair ke dalam puisi menjadi “kewajiban” bagi
penyair-penyair ballada dan realis. Intensi penyair adalah hal yang tak boleh
lolos dari puisi-puisi ballada dan realis. Penyair-penyair ballada seperti W.S.
Rendra dalam kumpulan puisinya berjudul Potret
Pembangunan dalam Puisi (Burung Merak Press, 2008) dan Yoseph Yapi Taum dalam
kumpulan puisinya berjudul Ballada
Arakian (Penerbit Lamalera, 2015) adalah dua penyair dari sekian banyak
penyair ballada lain di Indonesia, yang mengintrusikan intensinya dalam
puisi-puisi ballada.
Akan tetapi catatan
kecil ini tidak sepenuhnya bermaksud mengangkat ke permukaan intensi-intensi penyair.
Penulis catatan kecil ini berusaha sedemikian rupa supaya intensi-intensi
penyair tetap berkelindan dalam rima dan irama dari setiap kata dan kalimat
dalam teks-teks puisi. Dengan kata lain, tidak terlalu mendesak untuk membabar
seluruh intensi penyair dalam semua puisinya.
Penulis catatan kecil
ini hanya mengambil dua puisi sebagai acuan untuk menulis epilog ini.
Puisi-puisi yang diambil adalah puisi-puisi yang kuat mencerminkan/mewakili
keseluruhan puisi dalam antologi ini, terutama berkaitan dengan tema-tema pokok
dalam lima bagian dari kumpulan puisi ini. Dengan kata lain, puisi-puisi yang
digunakan untuk menulis catatan kecil ini merupakan benang merah dari seluruh
puisi dalam antologi ini. Ini juga berarti sebelum mengambil beberapa puisi sebagai
pijakan atau acuan, penulis epilog sudah membaca dan menyimak seluruh puisi.
Antologi puisi ini
terbagi dalam lima bagian. Bagian pertama
bertema “Berawal dari Ketiadaan”. Bagian kedua,
bertema “Kebijaksanaan Puisi”. Bagian ketiga
bertema “Melukis Kehidupan”. Bagian keempat
bertema “Kidung Kerinduan”, dan bagian kelima
bertema “Madah Cinta.” Seluruh bagian itu dirangkum oleh penyair dalam tema
besar “Sublimasi Cinta” yang menjadi judul antologi ini.
Tulisan epilog ini
bertumpu pada pernyataan Viktor E. Frankl: motivasi
utama manusia adalah mencari makna. Pernyataan Frankl itu menjadi tesis
epilog ini. Dalam uraian di bawah ini, penulis epilog bermaksud membuktikan
bahwa puisi-puisi dalam antologi ini berisi tentang usaha manusia mencari
makna. Usaha mencari makna merupakan suatu cara berada manusia.
Puisi-puisi dalam
antologi ini bersinggungan erat dengan diskursus filosofis dan teologis
agama-agama Abrahamistik (Yudaisme, Kristianisme, dan Islamisme), khususnya
Katolisisme. Tampak jelas bahwa puisi-puisi ini lahir dari suatu pergulatan
filosofis dan teologis penyair dengan tema-tema besar diskursus filosofis dan
teologis dalam tradisi berpikir Katolik dan dalam tradisi berpikir ilmu
pengetahuan modern.
Dalam Sejarah
Pemikiran Barat, pemikiran filosofis dan teologis Katolik merupakan corak
dominan dalam pemikiran Zaman Pertengahan. Corak dominan itu tampak dalam
pemikiran patristik dan skolastik. Pemikiran Katolik zaman itu tidak saja
berkaitan dengan teologi tetapi menyangkut pula ilmu pengetahuan. Hal itu tak dipungkirkan karena pada zaman itu biara-biara
dalam Gereja Katolik, selain mengembangkan pemikiran teologisjuga mengembangkan
pemikiran dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada era itu, biara-biara adalah
pusat-pusat ilmu pengetahuan.
Corak dominan pemikiran
Katolik itu berubah ketika memasuki zaman modern. Pada zaman modern,
pusat-pusat pengembangan pemikiran teologis, filosofis dan ilmu pengetahuan
menyebar di berbagai kalangan di luar Katolik. Boleh dikatakan bahwa pada zaman
modern, terjadi decentring
Katolisisme. Katolik tidak lagi menjadi pusat pemikiran filsafat, teologis, dan
ilmu pengetahuan. Katolisisme tidak lagi menjadi yang utama dalam ranah
pemikiran teologis, filosofis, dan ilmu pengetahuan.
Meskipun terjadi decentring Katolisisme, Katolik yang
sudah mempunyai sejarah panjang dalam pemikiran filosofis, teologis, dan ilmu
pengetahuan tetap ada sebagai salah satu lumbungpemikiran pada zaman modern dan pada
zaman ini. Oleh karena itu, pemikiran filosofis, teologis, dan ilmu pengetahuan
tetap merupakan hal yang menjadi pergulatan manusia dewasa ini, khususnya
orang-orang yang berada dalam jantung Katolisisme. Pergulatan itu merupakan
upaya mencari makna dalam hidupnya. Pergulatan mencari makna itulah yang dapat kita temukan pada
puisi-puisi dalam antologi ini.
Ada dua puisi dalam
antologi ini, yang penulis epilog ambil untuk menunjukkan pergulatan filsofis,
teologis, dan ilmu pengetahuan dalam mencari makna, khususnya dalam Gereja
Katolik. Puisi-puisi
yang dimaksud adalah “Berawal dari Ketiadaan” dan “Allah dan Charles Darwin.”
Memahami “Creatio ex nihilo”: Memaknai
Keterciptaan Dunia dan Manusia
Perihal asal-usulalam semesta, hal itu sudah menjadi
pergulatan dalam tradisi pemikiran Katolik (Katolisisme), terutama pada Zaman
Pertengahan. Sebagai salah satu pemikiran, yang berada pada aras agama-agama
Abrahamistik (Yudaisme, Kristianisme, dan Islamisme), pemikiran Katolik
mendasarkan argumennya tentang asal-usul alam semesta pada creasionisme (paham tentang penciptaan alam semesta).
Puisi berjudul “Berawal dari Ketiadaan” berikut ini
menyingkapkan pemikiran Katolik tentang keterciptaan alam semesta. Dari
judulnya yang berbunyi “Berawal dari Ketiadaan” puisi ini menunjukkan pemikiran
Katolik yang menyatakan bahwa alam semesta diciptakan oleh Tuhan dari
ketiadaan. Penciptaan yang demikian disebut “cretatio ex nihilo” yang berarti “penciptaan dari ketiadaan.”
Filsafat Skolastik
Zaman Pertengahan merumuskan secara lengkap keterciptaan alam semesta dengan
istilah “creatio ex nihilo sui et
subjecti” yang artinya “penciptaan dari ketiadaan dan tanpa adanya materi
dasar.” Dengan pendekatan filsafat, filosof Franz Magnis-Suseno (2006,203-207)
menjelaskan secara jernih tesis filsafat skolastik tentang keterciptaan alam
tersebut. Penjelasan filosof Franz Magnis-Suseno berikut ini, secara bersamaan
juga penulis epilog gunakan untuk menganalisis puisi berjudul “Berawal dari
Ketiadaan.”
Pertama, puisi berjudul “Berawal dari Ketiadaan” merupakan sebuah refleksi puitis atas tesis
filsafat skolastik tersebut. Tesis “penciptaan dari ketiadaan” kerap kali
dinyatakan dengan kalimat “sebelum penciptaan hanya ada Allah.” Kata “sebelum”
menunjukkan “waktu”. Dengan mengatakan “sebelum penciptaan hanya ada Allah” itu
berarti yang lebih dulu ada adalah “waktu”, selanjutnya baru Allah ada, dan
dilanjutkan dengan penciptaan oleh Allah. Pernyataan dan penafsiran seperti itu
dapat melahirkan pemahaman bahwa Allah menciptakan alam semesta dengan
(bermaterikan)“waktu”. Pernyataan, penafsiran, dan pemahaman seperti itu
keliru/tidak memadai. Mengapa? Karena bertentangan dengan tesis “creatio ex nihilo sui et subjecti”.
Selain itu, keradaan Allah mengatasi/melampaui waktu.
Judul puisi “Berawal dari Ketiadaan” hendak
memastikan bahwa penafsiran dan pemahaman yang tepat terhadap tesis “creatio ex nihilo et subjecti” adalah
bahwa “waktu” ada bersamaan dengan Allah menciptakan alam semesta. Hal ini menegaskan
pula status ontologis Allah yanng mengatasi/melampaui “waktu” dan segala yang
ada. Eksistensi Allah tidak terikat dalam waktu dan tidak terkurung dalam
ciptaan-Nya.Santo Agustinus mengungkapkan dengan indah dalam kata-katanya, “In this Beginning O God, hast Thou made
heaven and earth, in Thy Word, in Thy Son, in Thy Power, in Thy Wisdom, in Thy
Truth...” (Baruch A. Brody, 1992, 362). Allah yang demikian, meminjam
istilah Paul Tillihc, adalah“dasar ada” (M. Sastrapratedja, SJ, 2001, 87).
Kedua, Allah pencipta bukanlah Allah seperti
yang dipahami oleh kaum deistik. Kaum deistik memandang Allah seperti tukang
jam dinding. Kaum deistik berpikir bahwa Allah menciptakan alam semesta dan
melengkapi alam semesta dengan hukum-hukum alam, dan selanjutnya alam bekerja
sendiri berdasarkan hukum-hukumnya. Sedangkan Allah berdiam diri dan tidak mau
tahu lagi tentang alam semesta. Paham ketuhanan yang demikian disebut deisme.
Tampak sepintas deisme
benar. Artinya, alam semesta dengan hukum-hukum dan cara kerjanya menunjukkan/memiliki
kedaulatannya sendiri dan tidak memerlukan lagi kedaulatan Allah setelah Allah
menciptakannya. Tetapi kelemahan paling mendasar dari paham deisme adalah bahwa
alam semesta dengan segala hukumnya berada dalam waktu. Dan segala hal yang berada
dalam waktu, selalu tidak bersifat mutlak. Segala hal yang berada dalam
cengkraman waktu selalu bersifat terbatas dan selalu berubah sepanjang waktu.
Oleh karena sifat
terbatas dan berubah itulah, Allah tetap berdaulat atas alam yang telah
diciptakan-Nya. Pemikiran kristen (kristianisme) menyebut kedaulatan Allah atas
alam semesta dengan istilah Latin “providentia
Dei” yang artinya “pemeliharaan Allah”. Allah mencipta sekaligus
terus-menerus memelihara alam semesta ciptaan-Nya.Allah terus-menerus terlibat
dalam alam ciptaan-Nya dengan cara memelihara dan menjaga keberlangsungan
eksistensi alam semesta.
Salah satu modus yang
pas untuk merefleksikan providentia Dei
dalam pemeliharaan alam semesta adalah dengan puisi. Dengan pendekatan
metaforik, puisi mengantar pembaca pada suatu refleksi yang mendalam, puitis,
dan mitis tentang Allah yang terus-menerus terlibat dalam pemeliharaan dan
menjamin keberlangsungan alam semesta. Pada bait pertama puisi berjudul
“Berawal dari Ketiadaan” providentia Dei
tersingkapkan secara indah dan mitis:
Roh tak berupa
melayang-layang di permukaan air
diselimuti gelap gulita di pusaran
samudera
Ketiga, penciptaan alam semesta oleh Allah
merupakan modus berada Allah yang transenden dan imanen. Pemikiran Katolik (dan
kekristenan pada umumnya) memandang Allah sebagai yang transenden sekaligus
imanen. Dalam konteks penciptaan alam semesta, Allah menciptakan alam semesta
berdasarkan kehendak-Nya sendiri dan tanpa dideterminasi oleh apapun.
Kehendak-Nya mencipta menegaskan Allah transenden, yakni yang berkuasa dan
berdaulat secara penuh dan total. Tetapi atas kehendak-Nya pula Allah merawat,
memelihara, menyelenggarakan keberlangsungan ciptaan-Nya dan menempatkan
manusia di dalamnya. Itulah gambaran Allah yang imanen.
Bait ketiga dan
seterusnya dari puisi “Berawal dari Ketiadaan” menujukkan transendensi dan
imanensi Allah:
Ia telaten merangkai riwayat langit dan
bumi
dengan kata dari mulut
semua baik adanya
jadilah terang. Jadilah siang dan malam
jadilah cakrawala. Jadilah petang dan
pagi
daratan pun dipisahkan dengan lautan
tumbuhlah tunas-tunas tumbuhan
timbulah sumber-sumber cahaya
matahari bulan dan bintang
kemudian bintang digantungkan di lautan
burung-burung pun berterbangan di udara
ditempatkan binatang di bumi, ternak binatang melata
dan mendatangkan Adam dan Hawa
Dalam traktat filsafat
ketuhanan, salah satu pokok persoalan yang digumuli para filosof adalah “apakah
Allah sungguh-sungguh ada?” Terhadap pertanyaan itu, ada dua pendekatan klasih
yang digunakan para filosof untuk menjawabnya. Kedua pendekatan yang dimaksud
adalah ontologis dan kosmologis (Franz Magnis-Suseno, 2006, 125). Para
filosof-teolog yang menggunakan pendekatan ontologis adalah Agustinus dan
Anselmus dari Canterbury. Pendekatan kosmologis digunakan oleh filosof-teolog
Thomas Aquinas. Baik pendekatan ontologis maupun kosmogis, keduanya merupakan
metode berpikir untuk memastikan keberadaan Allah. Pendekatan ontologis
menggunakan metode penalarandeduktifdan
pendekatan kosmologis menggunakan metode penalaraninduktif. Melalui penalaran induktif
dan deduktif para filsofof memastikan keberadaan Allah.
Segaris dengan
pemikiran Anselmus Canterbury yang mengatakan “iman mencari pemahaman” (fides quaerens intellectum/faith seeking understanding)” sebagai sebuah
pembuktian rasional tentang keberadaan Tuhan, Thomas Aquinas pun melakukan hal yang sama. Untuk itu, Thomas
Aquinas meminjam pemikiran Aristoteles tentang “gerak” dan “kausalitas” sebagai
landasan filosofis untuk usaha filosofisnya itu. Upaya Thomas Aquinas itu
dikenal dengan sebutan “Lima Jalan Pembuktian Keberadaan Allah.”
Bait kedua puisi
“Berawal dari Ketiadaan” merupakan rangkuman atas lima jalan Thomas Aquinas
tersebut. Syair yang berbunyi “Ia
penggerak pertama tidak digerakan” menunjuk pada jalan pertama. Pada jalan pertama ini, Thomas Aquinas mengatakan
bahwa di dalam alam ini ada fakta tentang gerak. Fakta itu terjadi karena ada
sesuatu yang lain yang menggerakkan. Gerakan itu tidak mungkin tanpa batas.
Untuk itu, kita harus menerima suatu penggerak pertama yang tak digerakkan.
Penggerak pertama yang dimaksud adalah Allah.
Syair “penyebab pertama dari suatu akibat”
menyatakan jalan kedua. Jalan ini
menyatakan sebab-akibat (ex ratione
causae efficiens). Tidak ada akibat tanpa sebab. Sebab tidak mungkin
menghasilkan dirinya sendiri melainkan oleh karena sesuatu di luar dirinya.
Rangkaian sebab-akibat ini merupakan hal yang masuk akal, apabila ada penyebab
pertama yang mutlak dan tak disebabkan, yakni Allah.
Tetapi ada yang ganjil
pada syair “penyebab sesuatu yang mutlak”.
Semestinya syair ini merupakan penegasan mengenai jalan ketiga tentang kemungkinan dan keniscayaan segala sesuatu
yang ada dalam alam (ex posibili et
necessaario). Segala sesuatu di dalam alam inibersifat dapat ada dapat pula
tidak ada (contingent being).
Kontigensi dapat kita pahami bila ada “Ada yang niscaya”. “Ada yang niscaya”
itu adalah Allah. Namun syair ketiga ini agak ganjil. Keganjilan itu
menampakkan inkonsistensi logisnya dengan syair pertama dan kedua. Jika hendak
mempertahankan konsistensi logis antara syair pertama dan kedua, mestinya syair
yang ganjil tersebut berbunyi “penyebab
pertama adalah sesuatu yang mutlak” atau “penyebab sesuatu yang tidak mutlak.” Kesemestian itu sebagai upaya
mempertahankan keberadaan Allah sebagai yang mutlak (Ada yang niscaya).
Syair “sumber segala yang baik dan benar”menunjuk
pada jalan keempat yakni
derajat-derajat kualitas segala sesuatu di dalam alam (ex gradibus qui in rebus inveniuntur). Di dalam alam dunia ini kita
mengenal dan mengerti tingkat-tingkat kualitas, seperti “baik, kurang baik,
tidak baik, lebih baik” atau “benar, kurang benar, tidak benar, lebih benar”
dan lain-lain. Derajat atau tingkat itu mengandaikan adanya ukuran superlatif
atau sempurna, yang oleh agama-agama disebut sebagai “yang maha.” Yang maha itu
adalah Allah.
Syair “menggerakan suatu yang tidak berakal”
menunjuk pada keterselenggaraan secara baik segala sesuatu di dalam alam ini (ex gubernatione rerum) menuju suatu tujuan
akhir (telos) yang terbaik. Hal itu
mengandaikan ada penyelenggara tertinggi, yang mengarahkan segala sesuatu ke
tujuan akhir. Penyelenggara tertinggi itu adalah Allah. Allah adalah tokoh
berakal budi dan berpengetahuan yang mengarahkan gerakan segala ciptaan yang
tidak berakal budi.
Penalaran induktif
Thomas Aquinas tersebut merupakan penegasan tentang tidak adanya pertentangan
antara iman dan akal budi. Baginya, baik iman maupun akal budi, kedua-keduanya
berasal dari Allah. Perbedaan antara filsafat dan teologi (iman) terletak pada
metode atau cara kerjanya. Filsafat memikirkan dan membuktikan keberadaan Tuhan
dengan bergerak dari benda-benda ciptaan di dalam alam dan berakhir pada Allah.
Sedangkan teologi (iman) menerima Allah sebagai asal dan fundamen untuk
meyelidiki benda-benda ciptaan. Untuk itu,
teolog(i) memerlukan wahyu Allah sebagai kebenaran yang
diimaninya. Dengan beriman, teolog(i) mencapai pengetahuan adikodrati yang
disampaikan kepadanya oleh wahyu Allah. Pengetahuan-pengetahuan adikodrati
antara lain misteri trinitas, inkarnasi, dan sakramen (Simon Petrus L.
Tjahjadi, 2004, 135-136, 139-140).
Kehendak akan Makna:
Titik Temu
Iman dan Ilmu Pengetahuan
Meskipun Thomas
Aquinas sudah mengatakan bahwa iman (teologi) dan akal budi (filsafat dan ilmu
pengetahuan) tidak saling menegasi, bukan berarti bahwa perkara ini sudah
selesai. Para ilmuwan yang menganut positivisme–
sepertiHelmholtz, Mach, Poincare dan para ilmuwan neo-positivisme yang
tergabung dalam Lingkaran Wina (Vienna
Circle), gencar memersoalkan metode kerja filsafat dan teologi yang
bersifat spekulatif. Hanya ilmu pengetahuan yang metode kerjanya berdasarkan
fakta dan data yang diobservasi dan diverifikasilah termasuk ilmu pengetahuan
ilmiah dan mengandung kebenaran (C. Verhaak dan R. Haryono Imam, 1995, 154).
Oleh karena itu, filsafat dan teologi adalah pseudo-ilmu pengetahuan.
Perseteruan ilmu
pengetahuan dan filsafat-teologi tersebut tertuang secara jelas dalam puisi
berikut ini:
ALLAH
DAN CHARLES DARWIN
Ada dua teori awal penciptaan manusia
teori penciptaan Adam
dan teori evolusi Charles Darwin
mana yang paling benar?
Literatur Suci agama Abrahamistik
memaparkan
manusia pertama Adam
menurut Charles Darwin manusia pertama
kera
berevolusi hingga manusia modern
Allah pencipta manusia dari ketiadaan
Charles Darwin teori evolusi manusia
berasal
dari sesuatu yang sudah ada di dunia
mana yang paling benar?
Tema pokok dalam puisi
tersebut adalah tentang asal-usul manusia. “Dari manakah asal-usul manusia?”
demikianlah pertanyaan yang diajukan baik oleh para filosof-teolog maupun
ilmuwan. Mereka sama-sama mengggunakan metode kerja tertentu untuk memeroleh
jawaban yang benar atas pertanyaan tersebut. Mereka pun sama-sama menyatakan
bahwa jawaban-jawabannya benar. Terhadap pernyataan mereka, kalimat terakhir
puisi tersebut berbentuk pertanyaan: mana
yang paling benar?
Persoalannya bukan
tentang “mana yang paling benar?” melainkan “mengapa para filsuf-teolog dan ilmuwan mencari asal-usul manusia?”
Para filsuf-teolog dan ilmuwan adalah manusia. Ketika mereka mencari asal-usul
manusia, maka pencarian itu sebetulnya merupakan sebuah pencarian yang bersifat
eksistensial. Perbedaan antara mereka terletak pada metode kerja yang digunakan
untuk menjawab pertanyaan itu. Dengan kata lain, pertanyaan atau pencarian
mengenai asal-usul manusia merupakan gejala umum pada manusia. Manusia selalu
ingin mencari asal-usulnya.
Bersamaan dengan
pertanyaan tersebut, ada pula pertanyaan-pertanyaan lain, yang merupakan
pergumulan eksistensial manusia: siapakah manusia? kemana arah hidup manusia?
apa makna hidup ini? Secara eksistensial, manusia menantang dirinya dengan
pertanyaan-pertanyaan tersebut. Salah satu watak dasar manusia adalah menantang
dirinya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan tersebut. Apabila kita mengacu
pada watak dasar ini, maka baik filsuf-teolog maupun ilmuwan sama-sama memiliki
sebuah pergumulan eksistensial sebagai manusia. Dan itu wajar dan sah.
Pergumulan
filosofis-teologis dan ilmiah itu merupakan ungkapan dari“kehendak akan makna” (will to meaning).Para filsuf, teolog,
ilmuwan, penyair, pekerja rumah tangga, penjual sayur di pasar, dan sebagainya
adalah manusia-manusia yang mencari makna dalam hidupnya. Bahkan, “Motivasi
utama manusia dalam hidupnya adalah mencari makna,” kata Viktor E. Frankl
(Viktor E. Frankl, 1984, 121). Makna merupakan sesuatu yang unik dan spesifik.
Makna adalah sesuatu yang dari dan dengannya manusia menjadi mampu dan kuat
dalam menjalankan hidupnya.
Jika motivasi utama
manusia adalah mencari makna, maka baik para filsuf dan teolog serta ilmuwan
tidak perlu “berkelahi” mengenai metode dan jawaban yang benar atas pertanyaan
“dari mana asal-usul manusia?” Hal itu berarti, kehendak akan makna adalah
titik temu teologi (iman), filsafat, dan ilmu pengetahuan. Metode kerja dan
jawaban dapat berbeda-beda tetapi semuanya bermuara pada perengkuhan makna.
Pada titik itulah, manusia dari berbagai latar belakang sama-sama sadar diri
sebagai manusia yang sama-sama mencari dan membutuhkan makna.
Mencintai
adalah Makna
Di manakah makna yang dicari dan
dibutuhkan itu? Mencintai adalah makna.
Hal itu secara jelas dalam puisi berjudul “Madah Cinta”. Puisi tersebut diurai
lagi oleh penyair dalam tiga puisi bertema cinta yang masing-masing berjudul
“Eros”, “Philia” dan “Agape”. Secara fenomenologis puisi “Madah Cinta”
menyingkapkan apa yang dikatakan oleh filsuf kontemporer Perancis Jean-Luc
Marion, yakni watak “relasional-korelatif” dari tiga cinta: eros, philia, dan
agape.
MADAH
CINTA
Kita adalah pecinta
ingin dicintai dan mencintai
entah
pagi, siang, sore, dan malam
selalu ada hasrat cinta
berdesir dalam daging
setiap kali lahir hasrat cinta
yang membeku dalam ratio
semua orang sibuk mencairkannya
agar menuai kebahagiaan
apabila kita menyangkal hasrat cinta
siapakah yang berhak menghukum kita?
EROS
Aku mencintamu saat membutuhkanmu
please
jangan penuhi semua yang kumau
biarkanlah cinta bekerja sebagaimana
wajarnya
siapa tahu kelak menjelma dari eross menjadi philipia dan agape
sebab aku masih ingin tetap bersamamu
meski panas, mendung, badai hujan
datang menerpaku
PHILIA
Kecerdasan yang dianugerahkan Tuhan
membuatku jatuh cinta kepadamu
jangan pernah melarangku untuk juga
mencintai orang lain
kecerdasan itu juga dimiliki oleh orang
lain
biarkanlah cinta ini juga dimiliki oleh
orang lain
sebab hakikat cinta inklusif
AGAPE
Aku melihat diriku dalam dirimu
aku juga menemukanmu dalam diriku kala
cinta tumbuh
engkau bagian dari aku
aku pun bagian dari engkau
aku dan engkau adalah kita
yang sanggup menderita dan berkorban
cinta kita melampaui keunikan
meretas batas sembok pemisah perbedaan
Empat puisi tersebut
mengungkapkan watak “relasional-korelatif” tiga cinta. Bagi Marion watak
“relasional-korelatif” berakar pada kebutuhan paling dasar dari manusia, yakni
kebutuhan akan cinta. Bagi Marion, setiap orang memahami dan menghayati ketiga
cinta itu. Cinta persaudaraan (philia)
dan cinta ilahi (agape) mengandaikan
cinta eros. Tanpa cinta eros, cinta persaudaraan dan cinta ilahi
bagaikan kegelapan tanpa cahaya apapun. Watak “relasional-korelatif” tiga cinta
itu bersifat niscaya karena sama-sama memiliki empat karakter dasar, yakni
keputusan menjadi pencinta pertama, membiarkan yang lain hadir dengan seluruh
dirinya, mencintai sebagai tindakan performatif, dan pengosongan diri sebagai
alasan untuk mencintai. Empat karakter itu memancarkan univokalitas cinta.
Bahkan univokalitas merupakan kemungkinan bagi Tuhan hadir sebagai sang Cinta
untuk hadir (Alexander Aur, 2013, 153).
Dalam karakter pertama terkandung hasrat setiap orang
untuk menemukan makna dalam hidup. Untuk itu, setiap orang membuat dirinya
sedemikian rupa supaya dapat dincintai oleh siapapun. Tetapi agar dapat
dicintai oleh orang lain, setiap orang harus menjadikan dirinya sebagai orang
pertama yang mencintai. Setiap orang menjadikan dirinya sebagai pencinta
pertama. Dengan demikian mencintai sebagai aktivitas manusia merupakan tindakan
memberi perhatian dan kasih sayang secara bebas, meskipun tidak ada balasan.
Mengapa demikian? Karena cinta dan mencintai merupakan hadiah dan memberi
hadiah tanpa perhitungan komersial atau kebutuhan untuk mendapat balasan.
Sambil menyitir Rene Descartes, Marion mengatakan, “Aku mencintai lebih dulu
maka aku ada”.
Keputusan menjadi
pencinta pertama berkaitan erat dengan karakter kedua, yakni membiarkan yang
lain yang dicintai menampakkan diri. Yang
lain adalah sesama manusia dan Tuhan. Membiarkan yang lain menampakkan dirinya berarti yang lain hadir sebagai yang unik, individual, bebas dari kalkulasi
untung-rugi, dan terlepas dari objektivasi. Yang
lain hadir bukan menurut kehendak sang pencinta, melainkan hadir dengan
segala keunikan dan keberlainannya.
Membiarkan yang lain hadir dengan cara seperti itu
berarti karakter ketiga pun terwujud
yakni mencintai sebagai tindakan performatif. Tindakan itu menyata dalam sumpah
atau janji untuk setia. Mencintai memerlukan pula kesetiaan. Sumpah atau janji
berada dalam ranah bahasa cinta. Bagi Marion, bahasa cinta paralel dengan
bahasa pendoa dan doa. Bahasa pendoa adalah bahasa performatif. Bahasa itu
menunjukkan suatu relasi yang mendalam antara pencinta dan yang dicintai. Dalam
doa, sang pendoa tidak menguraikan sesuatu, melainkan menunjukkan sebuah
aktivitas, yakni berdoa. Berdoa berarti membuka diri untuk kedatangan Yang Lain (Tuhan) dan berkomitmen
dengan-Nya. Demikian pula dalam mencinta, sang pencinta membuka diri untuk
kedatangan yang lain dan berkomitmen
dengannya melalui sumpah kesetiaan untuk selalu mencintainya.
Sumpah kesetiaan itu
merupakan ungkapan paling konkrit akan karakter keempat yakni mengosongkan diri. Karakter keempat ini menjadi
pemasti paling puncak akan cinta yang otentik. Seseorang mampu mencintai yang lain secara otentik, jika dan hanya
jika ia mencintai seperti Tuhan yang mengosongkan diri-Nya (kenotik) untuk mencintai manusia demi
keselamatan manusia. Dengan demikian, seseorang yang memutuskan menjadi
pencinta pertama berarti mencintai yang
lain sebagai tindakan mengosongkan diri demi yang lain yang dicintainya (Ibid.,
153-157).
Penutup
Kehendak akan makna
merupakan watak
dasar manusia. Sesederhana dan secanggih apapun pengetahuan, bentuk panggilan
hidup, kemampuan berefleksi, dan aktivitas manusia, semuanya bermauara pada
perengkuhan makna. Makna menjadi sesuatu yang ultim, yang kepadanya manusia
mengarahkan hidupnya. Sebagai yang ultim, tampaknya makna itu bersifat
metafisis.
Mengonkritkan makna
merupakan hal yang wajar, mengingat manusia hidup dalam dunia konkrit. Meski
demikian, hal yang konkrit bukanlah segala-galanya. Untuk itu diperlukan
keutamaan-keutamaan, seperti rendah hati, pengosongan diri, dan sikap dialog,
dan sebagainya, supaya manakala mengkonkritkan makna, kita tidak berlaku
ugal-ugalan dan mereduksi makna semata-mata menjadi hal yang fisis. Dengan
demikian, motivasi utama manusia mencari makna adalah benar adanya dan makna
itu adalah mencintai.
*Alexander
Aur, Dosen Filsafat pada Fakultas Liberal Arts Universitas Pelita Harapan,
Karawaci, Banten
Daftar Bacaan
Aur,
Alexander, 2013, “Memaknai Ulang Cinta dan Seksualitas Manusia di Era New Media” dalam Jurnal Ultima Humaniora, Vol. 1, Nomor 2,
September 2013.
Brody,
Baruch A., 1992, Reading in the
Philosophy of Religion, New Jersey, Englewood Cliffs.
Frankl,
Viktor E., 1984, Man’s Search for
Meaning, New York, Washington Square Press.
Hardon,
SJ., John A., 1985, Pocket Catholic
Dictionary, New York, Image Book.
L.
Tjahjadi, Simon Petrus, 2004, Petualangan
Intelektual, Yogyakarta, Kanisius.
Magnis-Suseno,
Franz, 2006, Menalar Tuhan,
Yogyakarta, Kanisius.
M. Sastrapratedja, SJ, 2001, Allah sebagai
Dasar Ada-Filsafat dan
Teologi Paul Tillich, Yogyakarta, Penerbit Universitas Sanata Dharma.
Platinga,
Alvin and Nicholas Wolterstorff, 1983, Faith
and Rationality, Notre Dame, University of Notre Dame Press.
Rendra,
WS., 2008, Potret Pembangunan dalam Puisi,
Jakarta, Burung Merak Press.
Verhaak,
C dan R. Haryono Imam, 1995, Filsafat
Ilmu Pengetahuan, Jakarta, Gramedia.
Yapi
Taum, Yoseph., 2015, Ballada Arakian,
Yogyakarta, Penerbit Lamalera.
Baca Juga: