Buku: Taman Terakhir karya Alya Salaisha
Judul: Taman
Terakhir
Karya: Alya
Salaisha
Prolog: Joko
Pinurbo
Penerbit:
Kosa Kata Kita
Cetakan
Pertama: Maret 2017
Ukuran: Hardcover, 105 Puisi Pilihan
Peluncuran Pertama: Soeltan Coffee, Jl. Ampera Raya No. 59, Kemang, Jakarta Selatan, 27 Maret 2017
Harga: Rp 44.000,- (+6282312654042)
Taman
Terakhir
inilah jalan
penuh aroma kopi
setahun silam
kuterima prasasti
kini kembali
kususuri
jalan tak
lagi berliku
-- juga
mendaki? –
karena aku
benarbenar rindu
melepas satu
lembar catatan
menulis
seribu syair
tentang
senja tentang malam
di sebuah
sudut taman
tapi kita tak
pernah aman
dari sergapan
cahaya
dan matamata
mengancam
maka kita
menyingkir
menemukan
taman terakhir
: eden?
Bandar
Lampung, 12 Januari 2012
Menurut Ahmadun Yosi Herfanda dalam Imaji yang Menari Dalam Puisi Alya Salaisha:
...
Kaca kristal puitika itu, secara
konvensional berupa pemanfaatan metode puisi secara maksimal dan kreatif,
meliputi tipografi, rima, ritme, citraan (imagery), dan diksi. Dalam mazhab
puisi imajis, baik imaji simbolik maupun konotatif, kemahiran membangun citraan
menjadi sangat penting, baik citraan penglihatan, pendengaran, penciuman,
perasa, maupun citraan peraba. Keberhasilan sebuah puisi bergantung pada
kemampuan sang penyair membangun citraan yang untuk, jernih, dan indah dalam
sajak-sajaknya. Dan, disinilah upaya-upaya penemuan simbol, konotasi, atau
metafor baru sangat diperlukan, agar puisi dapat menghadirkan cita-rasa baru
yang unik, segar dan menarik. Pemanfaatan majas atau gaya bahasa – semisal
personifikasi dan paralelisme — juga menjadi penting agar citraan dalam puisi
menjadi hidup dan indah.
Jika kita nikmati dan simak secara
seksama, terlihat ada upaya-upaya puitik seperti itu dalam sajak-sajak Alya.
Dan, upaya-upaya itu menghasilkan sajak-sajak yang puitis, apik, indah,
menyenangkan, menghibur, enak dinikmati, dengan tetap menyembunyikan
pesan-pesannya agar pembaca tertantang untuk menafsirkannya. Untuk dapat
dikatakan berguna, atau mencerahkan, sajak, puisi, memang tidak selalu harus
menyampaikan pesan secara telanjang. Jika keindahannya saja sudah menyenangkan,
maka sudah dapat dianggap bahwa puisi tersebut mencerahkan; karena perasaan
pembaca atau kebutuhan pembaca akan keindahan sudah terpenuhi.
…
Sajak-sajak
Alya dan sajak-sajak Sapardi, juga banyak penyair Indonesia yang lain, banyak
memanfaatkan metafor ataupun simbol alam dalam menuliskan kesan, suasana,
perasaan, dan pikiran, dalam puisi, sehingga makin terasa indah. Memang, puisi
juga dapat dipahami sebagai ekspresi pikiran dan perasaan dalam sususan kata
yang indah dan bermakna, yang menghibur dan mencerahkan.
Baca Juga: