Buku: Kembang Kelapa karya Chairil Gibran Ramadhan
Judul: Kembang Kelapa ~ Kumpulan Catatan Budaya ~ Betawi dari
Batavia sampai Jakarta
Penulis: Chairil Gibran Ramadhan
Cetakan
Keempat: Oktober 2017
Penerbit:
Padasan
Ukuran:
14x21cm, softcover, bookpaper, 180 hlm
ISBN:
978-602-17963-2-0.
Pendahuluan:
Sarnadi Adam
Pengakhiran:
Abdul Chaer
Sepatah
Kata: Prof. Dr. Yusmar Yusuf,
Endorsement:
Bicara
Betawi, juga bicara nasib mengenaskan sebuah etnis di pusat kekuasaan. Sejak
Orde Lama dan Orde Baru, orang Betawi tergusur atas nama pembangunan
(salahsatunya tiga kampung yang digusur menjadi Istora Senayan). Cerita dan
berita ketidakadilan terus terjadi setiap rezim. Inilah salah satu tema yang
disorot CGR dalam raungan-raungan esainya. Sebagai anak Betawi kampung Pondok
Pinang, ia mengalami kegetiran karena orang lebih melihat Pondok Indah. Padahal
(perumahan) Pondok Indah adenye di Pondok Pinang.
~Ahmad Iskandar Bait, Praktisi Media
~Ahmad Iskandar Bait, Praktisi Media
CGR, di
buku ini jejak peranmu terlihat jelas. Apresiasi atas kerja besar dan penting
ini.
~Anies Rasyid Baswedan, Ph. D, Mendiknas RI
~Anies Rasyid Baswedan, Ph. D, Mendiknas RI
Chairil
Gibran Ramadhan adalah generasi baru yang menjurubicarai Betawi secara intelek.
Esai adalah kreatifitas intelek. Lewat 17 esai, anak kampung Pondok Pinang ini
berkata tentang Betawi dan generasi yang diwakilinya. Betawi sebuah
kontinuitas. Tiap jaman ada juru bicaranya. Wak Item, Xabandar Kalapa, adalah
intelektual. Ia kuasai bahasa Portugis dan aksara Jawi. Cing Sa’dullah dan
Ahmad Beramka dari akhir abad 19 adalah sastrawan. Muhammad Bakir sastrawan dan
perupa. Firman Muntaco dan Mahbub Djunaidi tonggak peradaban Betawi 1960-1990.
CGR melanjutkan itu.
~Ridwan Saidi, Peneliti Sejarah Betawi-Jakarta
~Ridwan Saidi, Peneliti Sejarah Betawi-Jakarta
Dengan
memilih judul Kembang Kelapa, jelas sekali CGR hendak “mewarnakan” kepenulisan
esai-esainya yang berwarna-warni melalui penggarisbawahan identitas etniknya;
hal yang amat luar biasa, dan sangat patut diacungi jempol, mengingat dewasa
ini tidak jarang orang justru menganggap “mata rantai” etniknya sebagai sesuatu
yang fatamorgana atau sebagai sesuatu yang hanya disebut-sebut dalam semangat
romantisme.
~Prof. Dr. Wahyu Wibowo, Guru Besar FBS Universitas Nasional
~Prof. Dr. Wahyu Wibowo, Guru Besar FBS Universitas Nasional
Betawi
harusnya hadir di kota Jakarta, namun pemerintah daerah tidak memberikan
perhatian terhadap representasi Betawi di kampung halaman anak Betawi. Beberapa
aspek kebudayaan Betawi seperti kesenian, kuliner, busana, muncul sekejap pada
ulang tahun Jakarta kemudian menguap. Karya-karya di media elektronik dan media
cetak pun bukan saja merepresentasikan Betawi secara salah, tetapi juga telah
memposisikan penduduk asli Jakarta sebagai etnik yang inferior—disamping anak
Betawi yang terlalu nrimo atas representasi Betawi di kampung halamannya. Buku
karya CGR ini, esais dan sastrawan Betawi dari kampung Pondok Pinang di Jakarta
Selatan, telah berhasil mengkritisi secara tuntas mengenai representasi etnik
Betawi di Jakarta lewat tulisannya yang hidup.
~Prof. Dr. Yasmine Zaki Shahab, Guru Besar Antropologi FISIP UI
~Prof. Dr. Yasmine Zaki Shahab, Guru Besar Antropologi FISIP UI
Baca Juga: