Renungan Batin - Jack Efendi
Renungan Batin
(Dari Sehimpun
Puisi KADO KATA)
Oleh Jack Efendi*
#KAWACA.COM - “Puisi adalah sari kalbu, curahan olah pikir
dari relung jiwa yang terdalam dengan keindahan bahasanya yang padat makna. Ia
lahan yang luas dan subur untuk disemaikan rasa karsa dan cipta, serta menjadi
penyelaras jiwa. Bahasa puisi datang dari hati, maka hati pulalah yang akan
menerimanya. Sungguh sangat menggembirakan mampu menghadirkan antologi puisi
ini dan berharap bisa menambah nilai gerakan literasi, khususnya cipta karya
sastra puisi”.
Penulis mengatakan hal
tersebut di atas sampai dua kali di dalam kata pengantarnya. Ada penguatan atau
penekanan sebuah maksud dari lahirnya buku puisi Kado Kada yang minggu lalu
tanggal 15 Oktober dibedah di Komunitas Sangkar Buku Mojokerto. Bagi saya, kalimat tersebut
sangatlah menarik dan sangat menyentuh pembaca dalam memahami buku puisi tersebut.
Ketika membaca antologi puisi “KADO KATA”, pembaca
akan diajak bertamasya rohani,
Terlepas
dari itu semua, buku ini mencoba mengajak pembaca untuk berhadap-hadapan dengan
segala realita kehidupan di sekitar, diajak untuk menyelami lebih dalam lagi
unsure batin dari peristiwa di sekitar kita yang berhasil direkam oleh
kepiawaian Supriadi Bro dalam bentuk puisi yang sangat humanis. Ketika membaca antologi puisi “KADO KATA”, seperti
mengajak pembaca untuk berwisata ke dongeng di pewayangan, dimana Prabu
Kalakresna sedang jatuh cinta kepada Setyaboma, lalu menuliskan puisi yang
menyuratkan sebuah pinangan atau lamaran.
Secara
umum puisi dalam antologi KADO KATA ini, mencoba merekam semua aspek kejadian,
baik berbicara tentang perasaan cinta, pencarian jati diri terhadap tuhannya,
potret sosial yang terjadi di sekitar, juga kearifan lokal. Salah satu contoh
yang mencoba menyajikan kearifan lokal adalah “PESONA DLUNDUNG”. Dimana salah
satu penggalan paragrafnya terasa mengejutkan.
... ...
...
Nyanyian tetes air dari pucuk dedaunan,
bersimponi alunan alir sungai
Deras air terjun menumpahkan air tanpa lelah,
menambah kekaguman
Kesucian air alam
Dlundung memadu
kesempurnaan mata rantai kehidupan
...
... ...
Unsur
batin dalam bait tersebut begitu terasa kearifan lokalnya, dimana keindahan air
terjun Dlundung dipotret menggunakan penginderaan, kemudian disajikan dalam
bentuk teks yang gemulai dan lentur tanpa ada patahan.
Selain
puisi yang bertema keindahan alam, dalam antologi ini penulis juga berhasil
menghadirkan aspek sosial beserta permasalahannya, misalnya dalam puisi “SEPATU
BUTUT DAN PIPILAN JAGUNG” halaman 55.
... ... ...
Diserahkannya pipilan jagung pada
neneknya, sambil berkata
“ Mbah, niki pipilan jagunge kanggo maem dino
iki, sepurane mung oleh sitik” Diterimalah pipilan jagung sambil menyembunyikan
kesedihan diri
Air mata sang nenek seakan telah mengering,
hari demi hari telah ia tumpahkan “ Iyo leh, disyukuri wae opo anane.
Tak olahe dhisik, kancani keloro adimu yo…!”
...
... ...
Betapa
mirisnya kisah penggambaran dalam bait tersebut, bagaimana tidak? Negara
Indonesia yang katanya Gemah Ripah Loh
Jinawi, rupanya masih ada yang mengisi perutnya dengan kaisan pipilan
jagung
yang diolah kemudian dimakan hanya menggunakan garam. Pasti ada yang salah
dengan penggarapan negara ini. Dan hal itu terlukis dengan sangat cermat oleh
kepiawaian penulis.
Di
samping itu, puisi “SEPATU BUTUT DAN PIPILAN JAGUNG” dalam KADO KATA ini,
merupakan puisi terpanjang diantara 49 puisi lainnya. Yaitu mulai dari judul
sampai titimangsa, ada sebanyak 334
kata. Sedangkan puisi berjudul ‘KEMILAU MATA BENING” menjadi puisi terpendek
yaitu sebanyak 46 kata.
Syahdan,
menulis puisi tidak seperti menulis cerpen atau prosa, dimana jika prosa
menggunakan bahasa sehari-hari dan juga dialog, namun menulis puisi tidak
demikian. Ada unsur-unsur puisi mesti diterapkan. Kemudian setelah menulis
puisi, perlu adanya sebuah “pengendapan”, dalam artian adanya pembacaan dari
penulis sendiri berkali-kali, melakukan tambal sulam dan bongkar pasang kata
atau diksi sampai benar-benar dirasa pas, tidak membuat keseleo lidah saat
dibaca, juga tidak mengernyitkan dahi saat digali maknanya.
Saya
sangat mengapresiasi kelahiran KADO KATA ini, meski usia penyair sudah 51
tahun, namun semangat menulisnya masih energik dan bahasa yang digunakan dalam
menulis puisi selalu “kekinian”, misalnya dalam puisi “GELISAH RINDU”
Berikut
penggalan puisinya
... ... ...
Inikah cinta pertama yang kurasa
Menebar rasa galau tiada jedah
Rindu dirinya menghujam dada
Menarik-narik imaji dalam ilusi
... ...
...
Tentunya
tidak berlebihan jika Anggi Putri dalam prolognya mengatakan “Bagaimanapun tak pelak lagi,
antologi puisi ini dapat lahir dengan segala
perenungan dan struktur penyusunan penyair. Dengan demikian tak ragu bagi kita
untuk mengatakan, antologi puisi ini berhasil mengambil andil perpuisian di
Indonesia”.
Jack Efendi, Lelaki yang menyukai perempatan ini lahir 11
Februari 1982. Menulis sastra semenjak duduk di bangku SMP. Karya-karyanya
sudah dimuat sejumlah media dan buku bersama. Kini menetap di Mojokerto sebagai
guru sekolah sambil terus menulis.
Baca Juga:
Setiap Istri Sebenarnya Mau Dimadu
Obrolan Ahli Surga & Malaikat
Mau Awet Muda?
Baca Juga:
Setiap Istri Sebenarnya Mau Dimadu
Obrolan Ahli Surga & Malaikat
Mau Awet Muda?