Sisa Cium di Alun-Alun: Puisi-Puisi Ekologis Weni Suryandari
Oleh Agung Pranoto*
Weni Suryandari, nama penyair wanita yang tak
asing lagi bagi kita yang bergelut di bidang cipta maupun pengamat puisi.
Kehadiran Weni Suryandari dalam kancah perpuisian di Indonesia tampaknya
memberikan angin segar. Ia termasuk salah satu di antara beberapa penyair yang
memiliki bakat alam dan intelektualisme. Pernyataan ini didasarkan fakta bahwa
puisi-puisi Weni memang menunjukkan kematangan dan kepiawaian dalam berpuisi.
Artinya, ia tidak lagi mencari-cari bentuk pengucapan atau bentuk ekspresi,
melainkan ia telah menemukan jati diri atau karakter dalam berpuisi.
Sisa Cium di Alun-Alun (TareSI Publisher,
2016) merupakan buku puisi tunggal Weni Suryandari, yang diberikan prolog oleh
Joko Pinurbo dan epilog dari Ahda Imran. Selain itu, endorsemen tak main-main
diberikan oleh tokoh-tokoh sastra Indonesia seperti: Soni Farid Maulana, Kyai
Matdon, Maman S. Mahayana, Acep Zamzam Noor, dan Hanna Fransisca.
Membaca puisi-puisi Weni di antologi Sisa
Cium di Alun-Alun, menyuarakan tema kerinduan terhadap tanah leluhur dan tema
lainnya. Tema-tema itu dibungkus dengan rajutan diksi yang pekat (kental),
menyublim, dan puisi-puisinya sangat prismatis, sehingga tak ada satu pun puisi
yang terjebak pada sentimentilitas.
Tema kerinduan terhadap kampung halaman
tersirat pada puisi di antaranya berjudul ‘Hujan Agung’, ‘Laut Kenangan’,
‘Perjalanan Rindu’, ‘Rindu Betara’, ‘Kepada Pantai’, ‘Cium di Alun-Alun’,
‘Soronen’, ‘Sisa Kanak-Kanak’, ‘Nyanyian Pagi’, dan ‘Taman Perpisahan’. Tema
kesetiaan demi keutuhan cinta tersirat pada puisi berjudul ‘Lepas Tahun’,
‘Taman Laut’, ‘Lelaki’, ‘Senja di Guci’, ‘Segelas Anggur’, ‘Menutup Luka’, dan
‘Seribu Purnama’. Tema kritik social tersirat dalam puisi ‘Laut Kematian’,
‘Pada Sebuah Laut’, dan ‘Seawan Doa, Sesuar Cahaya’. Sedangkan tema religius
tersirat pada puisi ‘Demi Waktu I’, ‘Ombak Airmata’, ‘Solilokui Malam’, ‘Bulan
Kasmaran’, ‘Kelahiran Kematian’, ‘Bulan Manis’, ‘Kepada Pantai’, dan
‘Pencarian’.
Selain itu, kekuatan Weni Suryandari juga
terletak pada pemilihan diksi yang bernas, sehingga “rasa” puisi-puisinya
sangat kuat, puitikanya dapat, korespondensinya terjaga apik, dan
puisi-puisinya intensif-konsentrif. Keseimbangan antara struktur lahir dan
struktur batin puisinya pun tak diragukan lagi. Dengan demikian, tidak
berlebihan jika di depan dinyatakan bahwa penyair ini memiliki bakat alam yang
kuat dan didukung oleh intelektualisme.
Sisi lain yang menonjol dalam puisi-puisi
Weni bahwa penggunaan metafora alam dan kelautan sangat kuat. Metafora alam dan
kelautan itu, dalam teori sastra abad 20-an, di Indonesia termasuk bidang
ekologi sastra; atau di pemikir Barat disebut sebagai ecocriticism (kritik
ekologis); transdisipliner antara ilmu sastra dan ilmu lingkungan. Penggunaan
metafora alam dan kelautan itu di antaranya digunakannya diksi “laut”,
“perahu”, “angin”, “gelombang”, “karang”, “taman laut”, “terumbu karang”,
“biota laut”, “ombak”, “buih’, “pantai”, “dermaga”, “ikan”, “nyiur”, “hujan”,
“gunung”, “bukit”, “bunga”, “dedaunan”, “pohon bamboo”, “melati”, “pucuk
pinus”, ‘cahaya”, “asap”, dan “bulan”. Deretan diksi seperti itu merupakan
bagian yang tak terpisahkan dari ekologi sastra. Coupe (2000) menggarisbawahi
bahwa karya sastra yang menyoal lingkungan harus secara kreatif dikemas secara
menarik agar pembaca tidak mengalami kebosanan.
Mari kita selami beyond imagination puisi
Weni Suryandari yang berjudul “Pulang ke Tanah Garam” berikut.
PULANG KE TANAH GARAM
Dalam keramaian kucium tanah kapur
Berhembus seiring nafas leluhur
Aku pun berjalan meniti kesunyianku
Di rantau, di rantau kerinduanku sebisu batu
wangi dupa dan mantra tak mampu membuatku
berlari dari angan angan pulang ke tanah garam
burung burung bernyanyi, cemara udang menari
nelayan menjaring ikan, laut setenang kenangan
Sungai sungai mengalir dari mata air mataMu
Cahaya pada angan, api yang tak kunjung padam
Berpagar jarak aku sembunyi dari kecemasan
demi kecemasan, perjalanan ke masa depan
orang-orang sembahyang, suara alam bertasbih
Anak-anak bermain sapi-sapian, menghalau kemarau
Hening malam berpijar bulan, hanya laut berdeburan
;Seribu ciumku untuk mimpi-mimpi patah
bersama Slopeng dan pasir putih usai lebaran
Seketika bulan pergi menggenapi sepi,
Sedang soronen tetap melengking di kepala
Aku dan silsilah tetap berpulang pada amanat
Jati Asih, 2015
Menikmati puisi di atas, dari judul sudah
mengeksplisitkan tentang kerinduan si aku lirik terhadap tanah leluhur, yakni
pulau garam (dalam hal ini Madura). Kerinduan terhadap kampung halaman tersebut
sangat mendera jiwa si aku lirik. Kerinduan ini merupakan hal yang logis
mengingat si aku lirik telah lama merantau dalam rangka tugas negara dan
mengais rezeki sebagai penopang hidup. Kehidupan di kota besar tak selalu
membuat orang mendapatkan kedamaian, ketenangan, atau kenyamanan. Oleh sebab
itu, tak bisa dipungkiri bahwa kerinduan terhadap kampung halaman itu terjadi
pada siapa saja yang telah menjadi manusia urban. Seperti Weni merindukan masa
lalu yang penuh kenangan tentang tanah kapur, garam, cemara udang, melihat
nelayan menjaring ikan, keindahan Pantai Slopeng dan Pasir Putih, soronen,
maupun anak-anak yang bermain sapi-sapian.
Jika kita mencermati puisi di atas lebih
jauh, Weni Suryandari tak ubahnya jajaran penyair dari Madura seperti Abdul
Hadi WM, D. Zawawi Imron, Jamal D. Rahman, Syaf Anton WR, Fendi Kachonk,
Hidayat Rahardja, dan generasi terkini, yang sering memanfaatkan metafora alam
dan kelautan dalam mencipta puisi. Puisi di atas, kaya dengan hadirnya diksi
“tanah kapur”, “tanah garam”, “burung-burung”, “cemara udang”, “nelayan”,
“menjaring ikan”, “laut”, “sungai”, “slopeng”, “pasir putih” dan “soronen”.
Diksi-diksi lingkungan (ekologis) seperti itu hadirnya sangat menonjol pada 40
judul puisi di buku puisi Weni ini. Artinya bahwa hal ini mencerminkan Weni tak
bisa membebaskan diri dari kerinduan terhadap tanah leluhur tersebut. Sebab
diksi-diksi semacam itu sangat lekat dengan Madura atau daerah pesisir lainnya
yang wilayahnya dikelilingi oleh lautan.
Penggunaan diksi alam dan kelautan itu, kita
lalu teringat pada pejuang lingkungan dari Fakultas Sastra Universitas Nevada
Reno, Amerika Serikat, Glotfelty dan Fromm (1996) lewat eseinya yang berjudul
“The Ecocriticism Reader: Landmarks in Literary Ecology” mengenalkan idenya
tentang ecocriticism. Gagasan besar ini mencoba menerapkan kajian ekologi ke
dalam sastra dan alam sebagai pusat kajiannya. Ekokritisisme sendiri dapat
didefinisikan sebagai kajian tentang hubungan antara sastra dan lingkungan
fisik (Glotfelty, 1996: xix). Garrard (2004: 4), menjelaskan bahwa ecocriticism
mengeksplorasi cara-cara mengenai bagaimana kita mengimajinasikan dan
menggambarkan hubungan antara manusia dan lingkungan dalam segala bidang hasil
budaya. Kerridge (1998) menjelaskan bahwa ekokritik ingin melacak ide/gagasan
tentang lingkungan dan representasinya.
Diksi alam dan laut dalam puisi-puisi Weni
Suryandari hanya sebatas sebagai metafora yang menghadirkan citraan-citraan
tertentu. Tidak ada satu puisi pun dalam buku puisi Weni yang menyoal
pelestarian maupun perusakan lingkungan ekologis baik di darat maupun di laut.
Oleh karena itu, kajian ekologi sastra dalam buku puisi Weni ini hanya sebatas
pada representasi ekologis dalam teks puisi. Sementara, sub kajian yang
berhubungan dengan kritik ekologis tak bisa diimplementasikan, karena tak
terdukung oleh data teks puisi.
Di luar persoalan ekologi sastra, dalam
penulisan puisi, Weni melakukan deviasi (penyimpangan) grafologis. Penyimpangan
grafologis pada puisi berjudul “Pulang ke Tanah Garam” di atas dapat kita lihat
pada bait ke-2 dan ke-3. Di dalam bait ke-2 dan ke-3, terjadi
ketidakkonsistenan misalnya penggunaan huruf kapital. Baris-baris yang ada di
bait-bait tersebut ada yang diawali dengan huruf besar pada vokal atau konsonan
di setiap baris, sebaliknya ada yang diawali dengan huruf kecil. Dalam hal
penulisan kata ulang, juga terjadi penyimpangan grafologis yakni ada yang
menggunakan tanda hubung (-) dan ada yang tidak. Misalnya penulisan “angan
angan”, “burung burung”, “sungai sungai”; sementara pada baris yang lain masih
dalam puisi tersebut bentuk ulang dituliskan “orang-orang”, “anak-anak”,
“sapi-sapian”, dan “mimpi-mimpi”. Penyimpangan grafologis itu terjadi pada
mayoritas puisi Weni Suryandari dalam buku puisi ini.
Adakah efek dari deviasi grafologis itu
terhadap teks puisi Weni? Mukarovsky (Leech, 1976; Sayuti, 1985) menyatakan
bahwa genre sastra dibedakan oleh adanya foregrounding yang konsisten dan
sistematis. Foregrounding dalam karya sastra, terutama puisi, sering terjadi
oleh hadirnya deviasi-deviasi linguistic dari norma yang berlaku. Foregrounding
itu menyangkut konteks estetis bangunan puisi; yang berhubungan dengan wujud
visual. Sejauh manakah deviasi itu masih dianggap relevan atau memiliki makna?
Leech (1976; Sayuti, 1985) menyatakan bahwa deviasi itu tetap bermakna jika (a)
selama ia masih berfungsi sebagai penghubung dengan factor yang lain; (b) masih
mampu menyampaikan apa saja yang dimaksud penyair; dan (c) masih dapat dinilai
atau dirasa pembaca sebagai pendukung arti tertentu. Dalam kaitannya dengan
pendapat tersebut, deviasi grafologis yang terjadi pada puisi-puisi Weni
Suryandari masih terkait dengan dictum (a) dan (b) sehingga tidak mengganggu
keutuhan ekspresi.
Selanjutnya, bagaimana Weni Suryandari
menghadirkan aspek bunyi beserta alat retoriknya? Ada baiknya, kita cermati
puisi di bawah ini.
BULAN MANIS
Di wajah laut kulihat bulan sedang manis
Terbitkan jejak pantai menantang gerimis
Pasir-pasirnya adalah seluruh getar
Menelusuri tubuh senja di selasar
Lalu meninggalkan bayang-bayang
Ketika rindu mengamuk begitu berang
Pada sunyi yang kian menipis
Doaku adalah bibir gemetar menerima ciumMu
Lalu kusembunyikan rindu di balik kerudungku
Yang terbuat dari bungkus bulan yang sedang matang
2009
Persajakan atau rima puisi tersebut,
khususnya pada bait 1—3 menggunakan pola sajak akhir /a-a. Selain itu, puisi
tersebut terdapat asonansi, misalnya dominasi perpaduan bunyi a dan u (baris
1), perpaduan bunyi e, i, dan a (baris 2), dan seterusnya. Aliterasi misalnya
variasi konsonan sengau m, n, dan ng (baris 1); variasi konsonan k, p, t, dan s
(baris 2), dan seterusnya. Ada juga kombinasi vocal-konsonan sebagai pemelancar
ucapan, yang sering disebut efoni, seperti ada pada baris 1 (bait 1) dan baris
1 (bait 5). Aspek bunyi yang menduduki posisi sekunder dalam puisi digunakan
agar ekspresi idenya lebih intensif, mampu membangun suasana puisi, dan berguna
untuk membangkitkan asosiasi pada pembaca teks puisi Weni Suryandari. Jadi
kehadiran bunyi dalam puisi sebagai daya evokasi atau daya untuk memperkuat
tanggapan, perasaan, dan pengertian (pinjam istilah Pradopo, 2012).
Sebagai penutup, puisi berjudul “Bulan Manis”
memang berhasil diciptakan oleh Weni. Kepadatan (kepekatan) kata sangat terjaga
dan keindahan bahasa bentukan Weni Suryandari sangat indah dan mengagumkan
seperti: “Lalu kusembunyikan rindu di balik kerudungku//Yang terbuat dari
bungkus bulan yang sedang matang”. Demikian pula keberhasilan Weni dalam
mencipta puisi, tampak pada seluruh puisi dalam antologi puisi tunggal ini.
Ruang Sunyi, 19 September 2017
_________
*Lahir di Trenggalek, 5 November 1966. Dosen Program Studi Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Wijaya Kusuma Surabaya ini sekarang
sedang berjuang untuk menyelesaikan program doktoranya di Universitas Negeri
Surabaya. Sejak 1985 ia meminati tulis-menulis, berupa puisi, cerpen, resensi,
artikel bahasa-sastra-budaya dan di antaranya telah dimuat di Surabaya Post,
Surya, Suara Merdeka, Wawasan, Bali Post, Akcaya, Republika, Suara Karya, Pelita,
Mutiara, Panyebar Semangat, Jaya Baya, dan lain-lain.
Pengalaman di bidang media, ia pernah menjadi pendiri Majalah BudayaKalimas, Pimred
Tabloid Warta Weka, redaktur majalah ilmiah Inovasi, dan redaktur
majalah ilmiah Pedagogi. Beberapa buku telah diterbitkan, di antaranya: Antologi Puisi Dialog
Warung Kakilima (Sanggar Kalimas, 1993), Pelajaran Surat-Menyurat dan
Komunikasi untuk SMK (Lautan Rezeki, 1998), Pelajaran Bahasa
Indonesia Sekolah Dasar Kelas 1-6 (Bina Pendidikan Indonesia, 2000), Kajian
Puisi, Telaah Puisi Sejumlah Penyair (Mitra Alam Sejati, 2003), Religusitas
Syahril Latif dalam Kumpulan Sajak Ziarah (Media Ilmu, 2004), Kritik
Sosial dalam Kumpulan Cerpen Sarinah Kembang Cikembang Karya Satyagraha Hoerip(Dian
Prima Lestari, 2006), Konteks Sosial Satyagraha Hoerip sebagai Pencipta
Cerita Pendek (Media Ilmu, 2007), Bahasa Indonesia Keilmuan(Bimantara
Aluugoda Sejahtera, 2008), Realitas Sastra, Realitas Sosial, dan Sosiologi
Sastra (Irianti Mitra Utama, 2009), Antologi Puisi Sketsa Kembang
Kertas (Surya LBC Press, 2009), Kiat Menulis Resensi Buku (Dian
Prima Lestari, 2010), Jurnalistik, Panduan Praktis Penerbitan dan
Pengelolaan Majalah Sekolah (Dian Prima Lestari, 2010).
BACA JUGA:
Buku: Sisa Cium di Alun-Alun karya Weni Suryandari
Mengitari Alun-Alun, Menyaksikan Prosesi Menawar Rindu - Dedy Tri Riyadi
BACA JUGA:
Buku: Sisa Cium di Alun-Alun karya Weni Suryandari
Mengitari Alun-Alun, Menyaksikan Prosesi Menawar Rindu - Dedy Tri Riyadi