Orhan Pamuk dari Dekat - Sigit Susanto
Oleh Sigit Susanto*
Malam itu, Rabu, 22 Oktober 2008, pukul 18.00 Orhan Pamuk dijadwalkan akan bertandang ke kota Luzern. Kedatangan Pamuk ke kota Luzern, berkat kawannya bernama Thomas Steinfeld (54). Ia seorang wartawan dan dosen universitas Luzern. Ia berkawan cukup lama dengan Pamuk. Dan malam nanti merupakan munculnya Pamuk perdana di seluruh Swiss. Sebelumnya 14 Oktober 2008, ia sudah menjadi penulis tamu di Frankfurt Book-Fair. Sekaligus meluncurkan novel terbarunya, The Museum of Innocence. Novel tersebut baru saja di soft launching di Istanbul akhir Agustus. Yang menarik, sebelum novel ini selesai, sudah dipesan untuk diterjemahkan ke dalam 50 bahasa asing lain. Bahasa asing pertama yang menerjemahkan karya ini adalaha bahasa Jerman.
Di sini aku bukan sedang memuji gairah sastra Jerman, tapi gairah sastra Jerman bisa aku telusuri sejak tahun 1920-an. Ketika Ulysses pertama kali diterbitkan di Paris oleh Sylvia Beach (Pemilik toko buku Shakespeare & Co di Paris) tahun 1922, lima tahun berikutnya, tepatnya tahun 1927, langsung diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman. Menurut data yang kupunyai, berarti bahasa Jerman adalah bahasa asing pertama nonInggris yang menerjemahkan Ulysses . Sukses dengan hasil terjemahan versi Jerman, tiga tahun lagi, tepatnya tahun 1930, baru diikuti terjemahannya ke dalam bahasa Prancis. Yang mengherankan padahal Ulysses versi Inggris asli ini diterbitkan di Paris. Kelebihannya terjemahan versi Prancis ini, Joyce ikut membantu, selain Joyce lebih paham bahasa Prancis ketimbang Jerman.
Frankfurt Book-Fair yang berlangsung antara 14-19 Oktober 2008 ini mengundang penulis tamu dari Turki. Tahun depan diputuskan akan mengundang penulis tamu dari China. Biasanya penulis tamu yang diundang mencapai 300 orang, seperti penulis tamu asal negeri-negeri Arab waktu yang lewat. Pamuk dijadikan magnit dalam pesta buku paling bergengsi di Eropa ini. Ini termasuk kemunculan Pamuk pertama di Jerman, setelah Pamuk batal memenuhi berbagai undangan di kota-kota Jerman waktu-waktu lalu.
Bisa dibayangkan, The Museum of Innocence yang Agustus tahun ini baru dinyatakan usai di Istanbul, Oktober harus sudah selesai dalam versi Jerman. Nyaris dugaanku penerbit Jerman Hanser Verlag, harus kerja ngebut, dalam waktu 1,5 bulan. Novel dengan format hardcover ini dipatok dengan harga Euro 24,90 (Sekitar Rp300.000). Bisa dimaklumi penerbitnya mengejar event Frankfurt Book-Fair. Dalam sebuah wawancara dengan Deutsche Welle, Pamuk mengaku, tidak ingin menjadi pembangun jembatan antara Eropa dan Turki. Kerja seorang penulis cerita fiksi, mengusung dari sisi kelemahan budaya, bayangan-bayangan yang terang maupun gelap, termasuk kemiskinan. Membuat jembatan adalah pekerjaan yang konkret. Jembatan sendiri itu klise. Pamuk menampiknya, lebih mengakui sebagai seorang penulis sastra. Pamuk kini hidupnya dikawal oleh body-guard. Di dalam negeri Turki ada dua kelompok nasionalis kanan dan fundamentalis agama yang memusuhinya.
The Museum of Innocence
Novel ini mengambil latar Istanbul lagi. Sebuah kisah cinta antara Kemal (30 tahun) dengan seorang gadis cantik bernama Füssün (18 tahun). Füssün adalah pegawai toko. Kemal dari keluarga kaya dan Füssün dari keluarga tidak mampu. Cinta yang dibungkus aroma keseharian iIstanbul itu kandas. Untuk mengabadikan kenangannya dengan Füssün, Kemal terus mengumpulkan koleksi untuk mewujudkan berdirinya sebuah museum. Pamuk menyebutnya, novel terbarunya sebagai Novel Museum. Sebab ia benar-benar sedang mempersiapkan berdirinya sebuah museum. Ia sudah membeli sebuah rumah di Istanbul yang akan dipersiapkan menjadi museum. Sebuah museum yang mencerminkan ketidaksalahan. Tapi Pamuk menolak, jika novelnya akan dianggap sebagai sebuah panduan museum atau museum sebagai cerminan isi novel. Novel museum, ada novelnya dan ada museumnya. Beberapa komentar di berbagai resensi dalam bahasa Jerman, kebanyakan menilai positif terhadap novel ini. Lebih baik dari novel-novel sebelumnya.
Pada novel Snow, Pamuk menggambarkan ada tokoh fundamentalis Islam yang bereksil ke Jerman. Di Jerman sendiri sekitar 6-7 juta penduduk Turki berdiam, sebagai pekerja kasar. Di Swiss emigran Turki tidak begitu banyak. Lebih sering aku bertemu orang Kurdi. Malam nanti aku akan berangkat dengan 3 kawan lain. Kanber, orang Kurdi, Krisna Diantha, wartawan Musik dan Bola, serta Raisa Kamila, siswi SMA Negeri I Aceh, kelas II yang sedang mengikuti program AFS di Swiss.
Hampir dua bulan sebelumnya (30 September-22 Oktober 2008), kedatangan Pamuk diwartakan di media kecil, bahwa tempat terbatas. Hanya tersedia 250 hadirin. Sebab itu diperlukan registrasi. Registrasi perlu menyebut jati diri dan tempat kerja. Proses selanjutnya mendapat konfirmasi, bisa dibolehkan hadir. Tak lupa harus membawa identitas diri yang ada foto. Ransel besar tidak diperkenankan. Pada saat masuk ke ruangan nanti, akan diperiksa oleh petugas keamanan demi menghindari hal-hal tak diinginkan. Aku kira tidak hanya untuk Pamuk. Di kedutaan atau konsul Turki baik di Swiss maupun di Jerman, selalu di depan gedung konsul itu didirikan pos khusus untuk polisi. Mengingat kelompok Kurdi menjadi ancaman bagi Turki.
Malam ini Pamuk akan membedah novel terbarunya, The Museum of Innocence. Bertempat di Jalan Löwenstrasse 16, sebuah aula kampus universitas Luzern yang dulunya dipakai sebagi hotel Union.
Malam itu, Rabu, 22 Oktober 2008, pukul 18.00 Orhan Pamuk dijadwalkan akan bertandang ke kota Luzern. Kedatangan Pamuk ke kota Luzern, berkat kawannya bernama Thomas Steinfeld (54). Ia seorang wartawan dan dosen universitas Luzern. Ia berkawan cukup lama dengan Pamuk. Dan malam nanti merupakan munculnya Pamuk perdana di seluruh Swiss. Sebelumnya 14 Oktober 2008, ia sudah menjadi penulis tamu di Frankfurt Book-Fair. Sekaligus meluncurkan novel terbarunya, The Museum of Innocence. Novel tersebut baru saja di soft launching di Istanbul akhir Agustus. Yang menarik, sebelum novel ini selesai, sudah dipesan untuk diterjemahkan ke dalam 50 bahasa asing lain. Bahasa asing pertama yang menerjemahkan karya ini adalaha bahasa Jerman.
Di sini aku bukan sedang memuji gairah sastra Jerman, tapi gairah sastra Jerman bisa aku telusuri sejak tahun 1920-an. Ketika Ulysses pertama kali diterbitkan di Paris oleh Sylvia Beach (Pemilik toko buku Shakespeare & Co di Paris) tahun 1922, lima tahun berikutnya, tepatnya tahun 1927, langsung diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman. Menurut data yang kupunyai, berarti bahasa Jerman adalah bahasa asing pertama nonInggris yang menerjemahkan Ulysses . Sukses dengan hasil terjemahan versi Jerman, tiga tahun lagi, tepatnya tahun 1930, baru diikuti terjemahannya ke dalam bahasa Prancis. Yang mengherankan padahal Ulysses versi Inggris asli ini diterbitkan di Paris. Kelebihannya terjemahan versi Prancis ini, Joyce ikut membantu, selain Joyce lebih paham bahasa Prancis ketimbang Jerman.
Frankfurt Book-Fair yang berlangsung antara 14-19 Oktober 2008 ini mengundang penulis tamu dari Turki. Tahun depan diputuskan akan mengundang penulis tamu dari China. Biasanya penulis tamu yang diundang mencapai 300 orang, seperti penulis tamu asal negeri-negeri Arab waktu yang lewat. Pamuk dijadikan magnit dalam pesta buku paling bergengsi di Eropa ini. Ini termasuk kemunculan Pamuk pertama di Jerman, setelah Pamuk batal memenuhi berbagai undangan di kota-kota Jerman waktu-waktu lalu.
Bisa dibayangkan, The Museum of Innocence yang Agustus tahun ini baru dinyatakan usai di Istanbul, Oktober harus sudah selesai dalam versi Jerman. Nyaris dugaanku penerbit Jerman Hanser Verlag, harus kerja ngebut, dalam waktu 1,5 bulan. Novel dengan format hardcover ini dipatok dengan harga Euro 24,90 (Sekitar Rp300.000). Bisa dimaklumi penerbitnya mengejar event Frankfurt Book-Fair. Dalam sebuah wawancara dengan Deutsche Welle, Pamuk mengaku, tidak ingin menjadi pembangun jembatan antara Eropa dan Turki. Kerja seorang penulis cerita fiksi, mengusung dari sisi kelemahan budaya, bayangan-bayangan yang terang maupun gelap, termasuk kemiskinan. Membuat jembatan adalah pekerjaan yang konkret. Jembatan sendiri itu klise. Pamuk menampiknya, lebih mengakui sebagai seorang penulis sastra. Pamuk kini hidupnya dikawal oleh body-guard. Di dalam negeri Turki ada dua kelompok nasionalis kanan dan fundamentalis agama yang memusuhinya.
The Museum of Innocence
Novel ini mengambil latar Istanbul lagi. Sebuah kisah cinta antara Kemal (30 tahun) dengan seorang gadis cantik bernama Füssün (18 tahun). Füssün adalah pegawai toko. Kemal dari keluarga kaya dan Füssün dari keluarga tidak mampu. Cinta yang dibungkus aroma keseharian iIstanbul itu kandas. Untuk mengabadikan kenangannya dengan Füssün, Kemal terus mengumpulkan koleksi untuk mewujudkan berdirinya sebuah museum. Pamuk menyebutnya, novel terbarunya sebagai Novel Museum. Sebab ia benar-benar sedang mempersiapkan berdirinya sebuah museum. Ia sudah membeli sebuah rumah di Istanbul yang akan dipersiapkan menjadi museum. Sebuah museum yang mencerminkan ketidaksalahan. Tapi Pamuk menolak, jika novelnya akan dianggap sebagai sebuah panduan museum atau museum sebagai cerminan isi novel. Novel museum, ada novelnya dan ada museumnya. Beberapa komentar di berbagai resensi dalam bahasa Jerman, kebanyakan menilai positif terhadap novel ini. Lebih baik dari novel-novel sebelumnya.
Pada novel Snow, Pamuk menggambarkan ada tokoh fundamentalis Islam yang bereksil ke Jerman. Di Jerman sendiri sekitar 6-7 juta penduduk Turki berdiam, sebagai pekerja kasar. Di Swiss emigran Turki tidak begitu banyak. Lebih sering aku bertemu orang Kurdi. Malam nanti aku akan berangkat dengan 3 kawan lain. Kanber, orang Kurdi, Krisna Diantha, wartawan Musik dan Bola, serta Raisa Kamila, siswi SMA Negeri I Aceh, kelas II yang sedang mengikuti program AFS di Swiss.
Hampir dua bulan sebelumnya (30 September-22 Oktober 2008), kedatangan Pamuk diwartakan di media kecil, bahwa tempat terbatas. Hanya tersedia 250 hadirin. Sebab itu diperlukan registrasi. Registrasi perlu menyebut jati diri dan tempat kerja. Proses selanjutnya mendapat konfirmasi, bisa dibolehkan hadir. Tak lupa harus membawa identitas diri yang ada foto. Ransel besar tidak diperkenankan. Pada saat masuk ke ruangan nanti, akan diperiksa oleh petugas keamanan demi menghindari hal-hal tak diinginkan. Aku kira tidak hanya untuk Pamuk. Di kedutaan atau konsul Turki baik di Swiss maupun di Jerman, selalu di depan gedung konsul itu didirikan pos khusus untuk polisi. Mengingat kelompok Kurdi menjadi ancaman bagi Turki.
Malam ini Pamuk akan membedah novel terbarunya, The Museum of Innocence. Bertempat di Jalan Löwenstrasse 16, sebuah aula kampus universitas Luzern yang dulunya dipakai sebagi hotel Union.
Penjagaan Ketat
Rabu siang aku berancang mempersiapkan novel Rot ist Mein Name untuk minta ditandatangani Pamuk. Selain itu apa lagi? Aku ingat seorang kawan di desa yang di taman bacanya ada tempelan kertas sebuah kalimat dari Andrea Hirata. Kata kawanku itu, saat Andrea ke Semarang, ia sodori kertas putih dengan kop nama taman bacanya. Gagasan itu pernah aku tampik, seolah-olah justru kita akan mengkultuskan seorang penulis. Bukan kah lebih baik mengkhusuki karyanya? Tapi saat itu di rumahku yang sudah jadi pondok baca pendapatku berseberangan dengan semua kawan yang saat itu ada, antara lain Maria Bo Niok, Stevie, Shiho dan Wayan Sunarta . Mereka kurang lebihnya punya alasan, bagi kita sudah tidak perlu lagi mencari motivasi menekuni sastra, tapi bagi kalangan umum, remaja, warga desa, coretan-coretan penulis terkenal bisa menjadi pemantik belajar sastra, terutama membangkitkan tradisi membaca. Aku renungkan ulang, benar juga kata mereka. Banyak jalan mendorong publik untuk menyukai sastra. Mereka berangkat dari latar dan semangat yang berbeda. Kemudian aku beli caping bambu di pasar dan cat warna-warni. Kawan-kawan yang saat itu bertandang, aku minta mereka menuliskan sesuatu di caping itu. Caping adalah buku tamu. Mereka menulis melingkari caping itu. Lebih unik lagi, Shiho menuliskan dalam bahasa Jepang dan Maria menuliskan dalam bahasa China.
Menjelang kepergian menghadiri acara Pamuk, aku siapkan pula selembar kertas bertuliskan:
Small Library
Pondok Maos GUYUB
Kendal - Central Java
Indonesia
Orhan Pamuk
Luzern: 22 Oktober 2008
Aku kirim sms ke Raisa yang masih di sekolah, Bisa minta izin? kalau ada apa2 kontak aku. Pukul 16.00 aku sudah berjaga di stasiun kereta api kotaku, Zug. Raisa kutelepon, ia jawab, berhasil membolos dalam pelajaran Kimia dan Biologi. Syukurlah sesuai rencana semula. Aku tiba-tiba ingat Kanber, kawan Kurdi yang sudah jauh-jauh hari kuberitahu untuk acara Pamuk. Ketika kutelepon, ia ternyata sudah di stasiun Luzern, ia aku minta menunggu di depan kios, agar bisa berangkat bersama. Pukul 16.28 kereta yang ditumpangi Raisa berhenti di stasiun Zug, aku bergabung dengannya. Ketika tiba di Luzern, Kanber dengan seorang perempuan Turki telah menunggu. Kami berbasa-basi sebentar. Itu pertama kalinya Kanber bertemu Raisa. Kanber terkesima, ketika Raisa pernah menjelaskan, ia sebagai orang Aceh keturunan orang Turki. Sampai kini masih ada beberapa orang Turki yang tinggal di Aceh.
Kawan perempuan Kanber memandu kami semua ke halte bus. Kami disuruh naik bus dan berhenti di halte kedua. Dalam pikiranku, lha jalan kaki saja bisa dan hanya 15 menit, apalagi waktunya masih ada satu jam. Sebab aku tahu daerah Luzern. Tapi aku menangkap kegugupan Kanber yang seolah-olah akan bertemu bintang pujaannya. Ia pernah bilang, semua karya Pamuk akan dihabisi. Kawan perempuan Kanber sendiri tidak ikut. Di halte bus itu, tiba-tiba ada beberapa pemuda Turki yang bersahut-sahutan dengan Kanber, tentu dengan bahasa Turki. Dari sini aku tangkap, demam Pamuk sudah berceceran sejak di halte itu.
Tiga halte terjangkau, kami baru turun (bukan dua halte seperti rencana semula). Tepat di pinggir jalan, segera kami dapati kampus universitas Luzern yang tertempel tulisan hotel Union. Lewat kaca jendela, tampak suasana di dalam, orang-orang duduk mengobrol. Kami bertiga masuk ruangan. Ada meja panjang untuk registrasi. Orang berdiri antre. Di depanku ada dua lelaki berjas hitam rapi. Dengan badge tertulis Orhan Pamuk Veranstaltung. Bisa ditebak dua orang itu panitia. Setiap hadirin diharuskan menunjukkan identitas yang ada fotonya. Ketika identitasku aku sodorkan, agak kaget juga, ibu di depanku tak lekas menemukan namaku. Tiga halaman kertas dibolak-balik, tetap tidak ada. Aku tunjukkan kertas konfirmasi, ia mengangguk dan menemukan namaku. Setelah itu tangan kananku diberi ikat kertas warna biru. Baru sejengkal melangkah, satpam berseragam baju biru telur bebek itu menghampiri, bahwa tas dilarang dibawa masuk. Satpam berpet biru tua miring model brimob itu menunjukkan ruangan di ujung untuk penitipan barang.
Kami bertiga barangnya digabung, termasuk jaketnya Kanber. Merasa sudah lolos kami hendak naik ke lantai atas. Raisa punya naluri jurnalistik, ia pun ingin memotret situasi registrasi itu. Ia ceprat-cepret. Akupun tersugesti. Tak disangka didatangi panitia berjas rapi tadi. Ia berbisik kepadaku, “Nanti kalau acara Pamuk mulai, tidak boleh memotret. Memotret hanya bisa dilakukan, sebelum acara atau sesudah acara. Itu pun harus tanpa blitz.” Aku memahami, ia tambahkan lagi, “ini pesan dari Pamuk sendiri. Sebab ia agak ada gangguan dengan mata. Nah, kawanmu itu kasih tahu, ya, jangan pakai blitz?”
Raisa kuberitahu dan kuminta menonaktifkan blitz di kameraku. Kami naik ke lantai atas lewat undak-undakan. Sekali lagi, satpam lain berdiri di tangga naik itu. Tiba di lantai atas, ada koran bisa diambil Süddeutsche Zeitung: WOCHENENDE, edisi 214 tertanggal 13/14 September 2008. Judul besar tertulis Das Museum der Unschuld. Baru kusadari, aula besar sudah tertata rapi. Dinding warna kuning dengan lampu kristal menggantung, bak jala ikan akan menyarungi hadirin. Lagi-lagi di depan kami, tepat di pintu masuk, dua satpam, laki-laki dan perempuan memeriksa setiap hadirin. Kedua satpam memegang alat detektor warna hitam. Giliranku maju, kedua tanganku disuruh mengangkat persis memedi sawah. Bunyi detektor titit titit mengharuskan satpam itu memfokuskan ke resliting jaket tipisku. Tas dompet yang menyabuki perutku harus dibongkar. Ia suruh aku keluarkan isinya dan ia sorot dengan senter kecil. Lepaslah pemeriksaan, layaknya seperti di bandara saja. Kutoleh ke belakang Raisa dan Kanber masih hendak diperiksa.
Tiga deret kursi dari depan sudah ada tanda reservasi. Deret ke empat dari depan ke belakang boleh ditempati. Kebetulan saat kami masuk ruangan itu masih lengang. Segera saja kami menduduki kursi di deret keempat di tengah. Kuperkirakan jika akan mengambil foto lebih mudah, karena jarak tempat duduk kami ke mejanya Pamuk, sekitar 10 meter. Tak lama berselang, Krisna Diantha menghampiri kami. Sambil menenteng kamera hitam besarnya, ia menduduki di kursi pinggir. Krisna yang warga Luzern itu menunjukkan kartu press-swiss kepadaku. Ia memang wartawan yang suka meliput sepak bola dan konser jazz di Montreux.
Sementara kubaca nama-nama di meja depan, Valentin Graebner, Orhan Pamuk, Recai Hallac, Thomas Steinfeld. Di podium tertera nama Anno Rudolph. Pukul 18.15 ruangan baru terisi separuh. Padahal acara menurut jadwal dimulai pukul 18.00, aku berkelakar ke Raisa, Jam Karet nih ye...
Mendekati pukul 18.30 aku menoleh ke belakang, ternyata ruangan sudah penuh orang. Tak lama lagi rombongan kecil Pamuk memasuki ruangan. Kontan tepuk tangan bergemuruh. Raut muka Pamuk tampak kalem. Ia berkaca mata dengan frame tebal, seperti di foto sampul novelnya yang biasa kita lihat. Ia kenakan jas hitam dengan dasi menjembul sedikit di bawah dagu. Rambut hitamnya yang tersebar uban disisir miring ke kiri. Kesan spontan, simpati, walau kadang bermuka serius.
Di podium, Anno Rudolph membuka acara dengan singkat bahwa kedatangan Pamuk berkat bujuk rayu Thomas Steinfeld, kawan lama Pamuk, yang kini sebagai dosen di universitas Luzern. Thomas yang duduk di ujung meja sederet dengan Pamuk, angkat bicara. Thomas, dosen asal Jerman yang belakangan kuketahui menulis artikel Das Museum der Unschuld pada koran yang dibagi di pintu masuk itu, tidak mau berlama-lama bicara. Hanya ia sempat mengungkapkan kegundahannya, berapa orang akan datang nanti pada acara Pamuk? Dan terbukti sekarang, cukup padat. Thomas menyebut, 49 tahun lalu, Pamuk diajak merantau kerja di Swiss oleh ayahnya. Pertanyaannya:
Perubahan apa di Swiss sejak 49 tahun silam sampai sekarang?
Pamuk mengoreksi, 10 bulan lagi, dirinya genap 50 tahun meninggalkan Swiss. Ayahnya bekerja di perusahaan IBM. Ia di masa kecilnya banyak dihabiskan di Swiss. Bahkan kakak lelakinya dibelikan sepeda motor dekawe dan sering dipakai keliling Swiss. Kakaknya itu suka mencatat dalam perjalanannya. Pamuk mengingat ulang, di musim panas, ia kembali ke Istanbul.
Ada hal yang menarik dalam proses tanya jawab ini. Pertanyaan dengan bahasa Jerman dari Thomas dijawab Pamuk dengan bahasa Turki. Tentu saja poin-poin penting pertanyaan itu sudah diterjemahkan oleh Recai Hallac, penerjemah yang duduk di sebelahnya. Di saat Pamuk menjawab dalam bahasa Turki itulah, langsung mendapat respon spontan ketawa-ketiwi dari hadirin. Bisa ditebak lebih dari separuh ruangan itu didominasi orang Turki atau Kurdi. Kalau sudah begitu, Pamuk cengar-cengir turut tertawa. Sepertinya ia sedang memancing, dan umpannya kena sasaran. Sebab itu kami atau hadirin lain yang tidak mengerti bahasa Turki, tertawanya tertunda sesaat, sampai penerjemahnya mengalihkannya ke dalam bahasa Jerman, baru ngehhh…
Satu nilai plus menurutku, Recai Hallac, penerjemah lelaki kerempeng ini melakukan terjemahan dengan intonasi yang indah. Tenornya mantap. Ia bukan penerjemahnya novel Pamuk dalam versi Jerman. Pamuk punya penerjemah Jerman yang berbeda-beda. Misal Salju (Schnee), penerjemahnya Christoph K. Neumann, lain lagi dengan novel Merah Namaku (Rot ist mein Name) penerjemahnya Ingrid Iren.
Pertanyaan lanjutan datang dari Valentin Graebner yang duduk persis di sebelah kanan Pamuk. Ia bertanya seputar masa silam dalam novel Das Museum der Unschuld. Pamuk menjelaskan, kisah novel itu terjadi antara tahun 1977 sampai tahun 1984. Seorang lelaki yang sedang jatuh cinta dengan seorang gadis. Tapi 30 tahun kemudian baru terkenang cintanya dengan gadis itu, maka dikenangnya dengan mendirikan museum. Novel itu berisi semacam katalog, kadang juga ensiklopedia tentang barang-barang yang ada di dalamnya. Novel ini bukan semacam permainan di museum, tapi sebuah cerita. Karena di ruangan ini aku bukan seorang dosen, melainkan seorang penulis fiksi, maka penjelasanku kusudahi.
Lagi-lagi banyolan Pamuk menyedot tawa hadirin. Bukan tidak mungkin di ruangan itu banyak mahasiswa dan dosen yang kena sentilan.
Thomas bertanya lagi, Seputar apa kandungan dalam novelnya?. Pamuk menjawabnya seperti biasa, tidak dengan gaya retoris, apa lagi berapi-api, lebih terkesan bersahaja, pas-pasan saja. Ia bilang, 6 minggu lalu, novel itu diterbitkan di Turki. Dan satu bulan lalu diterbitkan di Jerman. Ia sebut, aku cinta sekali kepada seorang gadis….sampai di sini Pamuk berhenti. Ia bilang, lebih baik aku baca langsung saja novelnya. Pamuk membaca dalam bahasa Turki hanya 1 atau 2 paragraf. Kini giliran Recai menerjemahkan dengan membaca lebih banyak paragraf.
….aku beruntung sekarang tidak kumpul tidur dengan gadis itu. Aku tak punya daya. Aku sakit….sakit sekali….
Penerjemah memang piawai. Tak hanya suara yang indah, tapi ia punya mimik yang sendu, mengacung-acungkan telunjuknya dengan batas kesopanan. Kadang ia pakai tangan kiri, kadang pakai tangan kanan. Intonasinya yang merendah membuncah mengesankan kerendahan hati. Di sini aku tangkap, bahasa Jerman yang biasa kedengaran kasar, kaku, tidak romantis seperti bahasa Italia, Spanyol, dan Prancis, dipermak dengan aroma orientalis, toh menjadi syahdu adanya.
Di sela-sela itu, aku menoleh di dua ujung depan, berdiri tegap dua body-guard. Body-guardnya berjas rapi. Yang sebelah kanan kerempeng, sebaliknya yang sebelah kiri tubuhnnya membeton. Matanya bukan menunduk, tapi melahap semua gerak-gerik hadirin.
Thomas bertanya tentang berapa jumlah barang yang akan dikoleksi dalam museum nanti?
Dijawab oleh Pamuk, ada sekitar 20.000 barang loakan. Sejak lama barang-barang yang tidak terpakai lagi itu ia kumpulkan. Jawaban Pamuk itu aku cocokan dengan koran yang dibagi di pintu masuk tadi. Aku temukan ada foto Pamuk sedang berfose di depan barang-barang bekas nan antik. Misalnya di depan Pamuk persis, berdiri sepeda merah kecil roda tiga. Di samping kanannya tergeletak dua jam beker lama bersebelahan dengan botol kosong. Di belakang atas pamuk ada patung anjing dari keramik, di sebelah kiri Pamuk berdiri burung camar besar, yang mungkin sudah dikeringkan.
Graebner bertanya lagi, novel itu berhubungan dengan pengetahuan, kebohongan. Sebenarnya apa hubungannya museum tersebut dengan melankoli? Pamuk dengan antusias menjawab, ini museum ketidaksalahan. Kenapa dinamakan museum? Aku sendiri tidak bisa menjelaskan. Intinya di situ ada tema seksualitas, moral, hidup tanpa tali perkawinan, kebebasan, keseharian. Aku menulisnya secara instingtif. Karena itu aku belakangan menyadari, benda-benda yang aku kumpulkan lebih baik ditulis saja. Jarak 30 tahun untuk menulisnya, sebuah jarak yang cukup panjang. Sebuah tragedi, berawal dari cinta, berakhir dengan kepedihan. Selama 30 tahun itu pedih terasa dan pedih terus, maka novel itu aku sebut ketidakbersalahan (Unschuld/Innocence)
Sampai di sini Pamuk menyusun strategi baru yang menggoyangkan tawa banyak orang. Ia bilang, begini, ….membuat resume dari novel tebal ini tentu sulit. Coba bisa nggak bikin resume Peace and War-nya Tolstoy? Gerrrgerrran di aula. Kesanku cara Pamuk menjawab dengan berdiplomasi, cukup lihai.
sekarang Thomas meluncurkan tanya yang kurang lebihnya seputar upaya Pamuk setahap demi setahap mendokumentasikan nuansa Istanbul di tahun 1970-an. Jumlah penduduk yang terus membengkak, bagaimana dengan hiruk-pikuk di masjid? Lewat penerjemahnya, Pamuk menjawab, lewat dokumentasi itulah akan merekam denyut Istanbul . Di sana kan juga dijual kartu pos, aku pun melukisnya. Saat itu berbagai jenis minuman, makanan, rokok tersedia. Museumku nanti akan mengoleksi barang-barang lama tahun 1970-an itu. Ada gandum, lemonade. Lemonade itu minuman kemasan pertama di Turki di tahun 1970-an. Di museumku itu nanti Lemonade akan dipresentasikan. Sudah beberapa tahun aku mempersiapkan museum itu.
Ucapan Pamuk terakhir itu juga mengusung tawa penonton. Dalam batinku, zaman kini yang serba modern, barang langka menjadi antik. Pamuk akan mengumpulkan barang-barang seperti itu. Kalau di Swiss barang-barang sejenis itu mudah ditemukan di tiap kota, namanya Brochenhaus (bukan Brochenhome? Nanti lain artinya). Barang bekas dari warga kota yang tidak muat lagi dihibahkan begitu saja ke Brochenhaus yang memang dikelola oleh pemda kota. Dari sepatu ski sampai TV dan komputer. Barang bekas itu dijual kembali untuk umum dengan harga miring. Termasuk novel-novel, maka aku belinya di Brochenhaus. Satu novel hanya seharga sfr2 (Sekitar Rp15.000). Sebab itu kalau ada buku bagus baru terbit, aku harus sabar sedikit, pasti pembacanya membuang ke Brochenhaus. Setahuku banyak pembaca di Swiss habis baca tidak mau menyimpan bukunya, selain kamar di apartemennya sempit-sempit.
Pamuk mungkin memaknai kata innocence atau Unschuld, semata-mata barang-barang itu lahir ke bumi tidak bersalah. Mereka diproduksi oleh manusia. Atau Pamuk ingin membuat sindiran pada masyarakat modern, dimana satu masyarakat kelebihan barang, di tempat lain masyarakat kekurangan barang. Pamuk dalam posisi anggota masyarakat borjuis yang tentu saja kelebihan barang. Innocence di sini, aku nilai Pamuk sedang memosisikan barang sebagai satuan yang netral tak bersalah. Pamuk tidak berani menyalahkan kapitalis yang memproduksi barang hingga over produksi. Apa yang akan dilakukan Pamuk menurutku bukan hal baru. Sebelumnya sudah sering ada pameran seni bergaya instalasi. Masih di Luzern pernah kudatangi jenis pameran instalasi ini dengan mendatangkan budaya Mesir. Penonton bukan akan dipertemukan dengan Spinx atau Piramid, melainkan sandal jepit dan rongsokan lain dari gurun sahara yang sudah rusak. Dugaanku barang-barang yang akan dipamerkan Pamuk sebagai nostalgi melankolis anak borjuis. Barang yang dianggap antik karena tak berfungsi bagi orang modern, di tempat lain bisa jadi masih berfungsi.
Menulis Seperti Mimpi
Pamuk bilang, jika orang menulis novel, tak usahlah harus banyak berpikir, tapi mimpikan dan mimpikan lagi, seperti anak kecil. Impian itu dilepaskan saja, biar mengucur. Misalkan, ibuku, itu contoh konkretnya. Apa reaksi ibuku, ketika aku keluar dari kuliah arsitektur, malah aku katakan, ingin jadi penulis saja? Jawab ibuku; oh….anakku, janganlah menjadi penulis.
Sama seperti aku akan membangun museum, kata ibuku, museum? Ah janganlah. Kamu tidak pernah akan berhasil.
Agar orang percaya bahwa aku tidak hanya ingin menulis novel tentang museum, tapi benar-benar akan mendirikan museum, maka aku sudah membeli rumah untuk museum.
Ada yang jenaka lagi, agen dan penerbitnya Pamuk tidak percaya, kalau Pamuk akan membangun museum. Pamuk bilang lagi,…di kampus ini tak hanya ilmu pengetahuan, tapi juga menyalami kalau ada tamu datang. Kadang orang punya gagasan murni dan itu harus direalisasikan.
Pamuk membaca salah satu bab. Disebutkan, aku telah banyak mengunjungi negara asing dan dari sana aku menemukan benda-benda khas. Semuanya aku kumpulkan. Misalnya aku ke Mesir, Jerman, dan lain-lain. Di jalanan itu tidak ada kata-kata, hanya makanan. Di depan TV bisa disaksikan Teheran, Bombey, tapi di sebelah TV itu juga bertengger porzelan, asbak, sepatu pantofel, dan gelas. Tapi kalau aku keluar ke jalan, yang kulihat anjing. Ketika aku kembali nonton TV lagi bisa saksikan, kelompok oposisi, politikus, kudeta, profesor universitas sampai pemilik bordel. Apa kata ibuku? Awas…bukankah pamanmu sudah mewanti-wanti?
Saat Pamuk terdiam, ia mengambil kamera membidikkan ke arah audien. Tapi tidak dengan cara mengeker seperti penembak burung. Cukup diangkat sedikit, lalu tanpa blitz sudah terabadikan. Barangkali ini nalurinya, seperti saat ia ke banyak negara mengumpulkan benda-benda kecil untuk museumnya.
Graebner masih menyela lagi ingin tahu, dalam novel itu aku menemukan obat Paradison, itu obat apa?
Pertanyaan ini terdengar unik, obat zaman kuno itu masuk Turki. Pamuk menjawab, Paradison itu semacam obat menenang. Dengan gaya lucunya lagi Pamuk bilang, tapi…untuk membaca novelku tidak perlu minum obat penenang. Gerrr…lagi beresonan di ruangan.
Pertanyaan terakhir datang dari Thomas, kapan museum itu akan dibuka?
Pamuk jawab, tahun 2010, Istanbul akan dinobatkan sebagai ibu kota budaya Eropa. Aku akan banyak kerja untuk itu, insya allah tahun 2010 kubuka. Pamuk mengajak bercanda lagi, barang siapa tidak membaca novelku, maka tidak akan tahu apa isi museum itu. Di sini aku dengarkan ucapan Insya Allah dari Pamuk langsung. O , batinku bahasa Turki juga terselipi Insya Allah.
Lebih konyol lagi, Pamuk menceritakan pengalamannya di Jerman, ada wartawan Jerman bilang, karena pada halaman tertentu sudah tercetak tiket masuk museum itu, maka nanti kalau aku hendak ke museum, tinggal memotong halaman yang ada tiketnya itu. Lagi-lagi membahana tawa di aula.
Dengan kisah banyak leluconnya itu, berakhirlah hajatan bedah novel terbaru, Museum Ketidaksalahan.
Panorama di aula bergemuruh dengan tepuk tangan panjang. Banyak orang menenteng novel-novel Pamuk dari terbitan lama maupun terbaru. Pamuk didampingi seorang perempuan, mungkin dari penerbit. Antrean panjang bersayap ke kiri dan kanan. Aku lihat Krisna memotret dengan jarak dekat sekali. Dua body-guard mendekati. Hitung-hitung mumpung ketemu peraih nobel, rencanaku semula aku siagakan. Sementara Raisa mencari slah yang tepat, ia ingin berpotret bersama Pamuk. Tapi kapan waktunya? Kalau melihat antrean kiri-kanan begitu? Raisa memilih ikut antrean yang paling belakang. Aku ada di antrean tengah dan lekas dapat giliran tanda tangan di novel yang kubawa. Ketika aku sudah berhadap-hadapan dengan Pamuk dan seorang ibu dari penerbit itu, novelku diminta dan langsung ditandatangani. Mungkin tak ada waktu buat Pamuk untuk menanyai, siapa nama pemilik buku. Ketika lembaran kertas putih untuk pondok bacaku kuulurkan ibu tadi, Pamuk meliriknya. Aku bilang ke ibu itu, mohon Pamuk bisa bubuhkan satu kalimat saja. Ibu itu tampak sedikit ragu. Apalagi ada tulisan pondok maos GUYUB, dikira bahasa apa yang bisa mencelakakan, belum lagi dengan tanda tangan sang maestro di bawahnya. Ibu itu menolak permintaanku dengan kata-kata, sekarang khusus tanda tangan. Rupanya Pamuk juga tunduk dengan sang ibu di sebelahnya. Aku angkut lagi lembaran tanpa hasil. Novel sudah ditandatangani Pamuk, aku ngacir ke belakang.
Penonton tumpah dan berpencaran. Kulihat Raisa masih sabar antre di sayap kiri. Ketika giliran Raisa maju, sambil menyodorkan novel My Name is red, ia berhasil membujuk Pamuk dengan diplomatis. Kurang lebihnya, ia bilang Pamuk, I don`t understand at all this meeting. I don`t speak German, may I have a picture with you? Saat-saat ia bicara dengan Pamuk, sempat aku potret. Sehingga yang tampak muka Pamuk dan punggung Raisa. Tapi Pamuk mengiyakan permintaan Raisa. Usai acara tanda tangan, benar janjinya dipenuhi, Pamuk menyediakan waktu untuk potret dengan Raisa. Aku yang memotretnya. Setelah Raisa, masih ada satu anak muda Turki memotret dengan handynya. Lagi-lagi aku jadi juru potret di situ. Langsung Pamuk menghilang di ruangan sebelah. Aku tanya Raisa, bagaimana ia bisa membujuk Pamuk dengan mengakui tak bisa bahasa Jerman? Ia jawab, sebelumnya ia harus berhubungan dengan tiga orang, pertama, body-guardnya, kedua, panitia, dan ketiga, ibu dari penerbit itu.
Sementara kami akan pulang bertemu Kanber lagi. Kanber wajahnya akan menumpahkan haru. Betapa nasibnya sebagai pengungsi sangat teringankan dengan novel-novelnya Pamuk. Kanber mengaku pernah mendekam 2,5 tahun di penjara Ismi, Turki, karena demo menentang pemerintah Turki. Ketika masa tahanan sudah dilepas, ada panggilan lagi akan diperpanjang masa tahanannya, maka ia melarikan diri ke Swiss menjadi pengungsi. Kini ia mandiri kerja sebagai tukang kebun apel dan strawberi. Menjelang pulang, aku bertanya kepada Kanber, bagaimana tadi bertemu dengan Pamuk? Kanber bilang saat minta tanda tangan, Pamuk mengamati dan bilang, kamu tadi paling banyak tertawa. Banyak tertawa dari penonton itu indah.
Krisna membawa kami semua pulang dengan mobil tuanya. Di parkiran ada anak Turki mendatangiku, ia keluarkan dompet, aku kira ada apa ini? Rupanya ia tahu tadi aku sering memotret. Dari dompetnya aku diberi kartu nama, supaya aku kirim hasil foto ke dia. Koran pagi lokal Neue Luzerner Zeitung, Kamis, 23 Oktober 2008 mewartakan, tak seperti biasanya, aula kampus universitas Luzern menjadi pusat daya tarik banyak orang. Banyak hadirin yang ditolak. Sekitar 290 orang memadati acara bertemu peraih nobel itu. Pamuk dikesankan oleh Koran ini, berpenampilan streng dan tegang. Penerjemahnya dipuji melakukan tugasnya dengan memukau.
0O0
Menjelang kepergian menghadiri acara Pamuk, aku siapkan pula selembar kertas bertuliskan:
Small Library
Pondok Maos GUYUB
Kendal - Central Java
Indonesia
Orhan Pamuk
Luzern: 22 Oktober 2008
Aku kirim sms ke Raisa yang masih di sekolah, Bisa minta izin? kalau ada apa2 kontak aku. Pukul 16.00 aku sudah berjaga di stasiun kereta api kotaku, Zug. Raisa kutelepon, ia jawab, berhasil membolos dalam pelajaran Kimia dan Biologi. Syukurlah sesuai rencana semula. Aku tiba-tiba ingat Kanber, kawan Kurdi yang sudah jauh-jauh hari kuberitahu untuk acara Pamuk. Ketika kutelepon, ia ternyata sudah di stasiun Luzern, ia aku minta menunggu di depan kios, agar bisa berangkat bersama. Pukul 16.28 kereta yang ditumpangi Raisa berhenti di stasiun Zug, aku bergabung dengannya. Ketika tiba di Luzern, Kanber dengan seorang perempuan Turki telah menunggu. Kami berbasa-basi sebentar. Itu pertama kalinya Kanber bertemu Raisa. Kanber terkesima, ketika Raisa pernah menjelaskan, ia sebagai orang Aceh keturunan orang Turki. Sampai kini masih ada beberapa orang Turki yang tinggal di Aceh.
Kawan perempuan Kanber memandu kami semua ke halte bus. Kami disuruh naik bus dan berhenti di halte kedua. Dalam pikiranku, lha jalan kaki saja bisa dan hanya 15 menit, apalagi waktunya masih ada satu jam. Sebab aku tahu daerah Luzern. Tapi aku menangkap kegugupan Kanber yang seolah-olah akan bertemu bintang pujaannya. Ia pernah bilang, semua karya Pamuk akan dihabisi. Kawan perempuan Kanber sendiri tidak ikut. Di halte bus itu, tiba-tiba ada beberapa pemuda Turki yang bersahut-sahutan dengan Kanber, tentu dengan bahasa Turki. Dari sini aku tangkap, demam Pamuk sudah berceceran sejak di halte itu.
Tiga halte terjangkau, kami baru turun (bukan dua halte seperti rencana semula). Tepat di pinggir jalan, segera kami dapati kampus universitas Luzern yang tertempel tulisan hotel Union. Lewat kaca jendela, tampak suasana di dalam, orang-orang duduk mengobrol. Kami bertiga masuk ruangan. Ada meja panjang untuk registrasi. Orang berdiri antre. Di depanku ada dua lelaki berjas hitam rapi. Dengan badge tertulis Orhan Pamuk Veranstaltung. Bisa ditebak dua orang itu panitia. Setiap hadirin diharuskan menunjukkan identitas yang ada fotonya. Ketika identitasku aku sodorkan, agak kaget juga, ibu di depanku tak lekas menemukan namaku. Tiga halaman kertas dibolak-balik, tetap tidak ada. Aku tunjukkan kertas konfirmasi, ia mengangguk dan menemukan namaku. Setelah itu tangan kananku diberi ikat kertas warna biru. Baru sejengkal melangkah, satpam berseragam baju biru telur bebek itu menghampiri, bahwa tas dilarang dibawa masuk. Satpam berpet biru tua miring model brimob itu menunjukkan ruangan di ujung untuk penitipan barang.
Kami bertiga barangnya digabung, termasuk jaketnya Kanber. Merasa sudah lolos kami hendak naik ke lantai atas. Raisa punya naluri jurnalistik, ia pun ingin memotret situasi registrasi itu. Ia ceprat-cepret. Akupun tersugesti. Tak disangka didatangi panitia berjas rapi tadi. Ia berbisik kepadaku, “Nanti kalau acara Pamuk mulai, tidak boleh memotret. Memotret hanya bisa dilakukan, sebelum acara atau sesudah acara. Itu pun harus tanpa blitz.” Aku memahami, ia tambahkan lagi, “ini pesan dari Pamuk sendiri. Sebab ia agak ada gangguan dengan mata. Nah, kawanmu itu kasih tahu, ya, jangan pakai blitz?”
Raisa kuberitahu dan kuminta menonaktifkan blitz di kameraku. Kami naik ke lantai atas lewat undak-undakan. Sekali lagi, satpam lain berdiri di tangga naik itu. Tiba di lantai atas, ada koran bisa diambil Süddeutsche Zeitung: WOCHENENDE, edisi 214 tertanggal 13/14 September 2008. Judul besar tertulis Das Museum der Unschuld. Baru kusadari, aula besar sudah tertata rapi. Dinding warna kuning dengan lampu kristal menggantung, bak jala ikan akan menyarungi hadirin. Lagi-lagi di depan kami, tepat di pintu masuk, dua satpam, laki-laki dan perempuan memeriksa setiap hadirin. Kedua satpam memegang alat detektor warna hitam. Giliranku maju, kedua tanganku disuruh mengangkat persis memedi sawah. Bunyi detektor titit titit mengharuskan satpam itu memfokuskan ke resliting jaket tipisku. Tas dompet yang menyabuki perutku harus dibongkar. Ia suruh aku keluarkan isinya dan ia sorot dengan senter kecil. Lepaslah pemeriksaan, layaknya seperti di bandara saja. Kutoleh ke belakang Raisa dan Kanber masih hendak diperiksa.
Tiga deret kursi dari depan sudah ada tanda reservasi. Deret ke empat dari depan ke belakang boleh ditempati. Kebetulan saat kami masuk ruangan itu masih lengang. Segera saja kami menduduki kursi di deret keempat di tengah. Kuperkirakan jika akan mengambil foto lebih mudah, karena jarak tempat duduk kami ke mejanya Pamuk, sekitar 10 meter. Tak lama berselang, Krisna Diantha menghampiri kami. Sambil menenteng kamera hitam besarnya, ia menduduki di kursi pinggir. Krisna yang warga Luzern itu menunjukkan kartu press-swiss kepadaku. Ia memang wartawan yang suka meliput sepak bola dan konser jazz di Montreux.
Sementara kubaca nama-nama di meja depan, Valentin Graebner, Orhan Pamuk, Recai Hallac, Thomas Steinfeld. Di podium tertera nama Anno Rudolph. Pukul 18.15 ruangan baru terisi separuh. Padahal acara menurut jadwal dimulai pukul 18.00, aku berkelakar ke Raisa, Jam Karet nih ye...
Mendekati pukul 18.30 aku menoleh ke belakang, ternyata ruangan sudah penuh orang. Tak lama lagi rombongan kecil Pamuk memasuki ruangan. Kontan tepuk tangan bergemuruh. Raut muka Pamuk tampak kalem. Ia berkaca mata dengan frame tebal, seperti di foto sampul novelnya yang biasa kita lihat. Ia kenakan jas hitam dengan dasi menjembul sedikit di bawah dagu. Rambut hitamnya yang tersebar uban disisir miring ke kiri. Kesan spontan, simpati, walau kadang bermuka serius.
Di podium, Anno Rudolph membuka acara dengan singkat bahwa kedatangan Pamuk berkat bujuk rayu Thomas Steinfeld, kawan lama Pamuk, yang kini sebagai dosen di universitas Luzern. Thomas yang duduk di ujung meja sederet dengan Pamuk, angkat bicara. Thomas, dosen asal Jerman yang belakangan kuketahui menulis artikel Das Museum der Unschuld pada koran yang dibagi di pintu masuk itu, tidak mau berlama-lama bicara. Hanya ia sempat mengungkapkan kegundahannya, berapa orang akan datang nanti pada acara Pamuk? Dan terbukti sekarang, cukup padat. Thomas menyebut, 49 tahun lalu, Pamuk diajak merantau kerja di Swiss oleh ayahnya. Pertanyaannya:
Perubahan apa di Swiss sejak 49 tahun silam sampai sekarang?
Pamuk mengoreksi, 10 bulan lagi, dirinya genap 50 tahun meninggalkan Swiss. Ayahnya bekerja di perusahaan IBM. Ia di masa kecilnya banyak dihabiskan di Swiss. Bahkan kakak lelakinya dibelikan sepeda motor dekawe dan sering dipakai keliling Swiss. Kakaknya itu suka mencatat dalam perjalanannya. Pamuk mengingat ulang, di musim panas, ia kembali ke Istanbul.
Ada hal yang menarik dalam proses tanya jawab ini. Pertanyaan dengan bahasa Jerman dari Thomas dijawab Pamuk dengan bahasa Turki. Tentu saja poin-poin penting pertanyaan itu sudah diterjemahkan oleh Recai Hallac, penerjemah yang duduk di sebelahnya. Di saat Pamuk menjawab dalam bahasa Turki itulah, langsung mendapat respon spontan ketawa-ketiwi dari hadirin. Bisa ditebak lebih dari separuh ruangan itu didominasi orang Turki atau Kurdi. Kalau sudah begitu, Pamuk cengar-cengir turut tertawa. Sepertinya ia sedang memancing, dan umpannya kena sasaran. Sebab itu kami atau hadirin lain yang tidak mengerti bahasa Turki, tertawanya tertunda sesaat, sampai penerjemahnya mengalihkannya ke dalam bahasa Jerman, baru ngehhh…
Satu nilai plus menurutku, Recai Hallac, penerjemah lelaki kerempeng ini melakukan terjemahan dengan intonasi yang indah. Tenornya mantap. Ia bukan penerjemahnya novel Pamuk dalam versi Jerman. Pamuk punya penerjemah Jerman yang berbeda-beda. Misal Salju (Schnee), penerjemahnya Christoph K. Neumann, lain lagi dengan novel Merah Namaku (Rot ist mein Name) penerjemahnya Ingrid Iren.
Pertanyaan lanjutan datang dari Valentin Graebner yang duduk persis di sebelah kanan Pamuk. Ia bertanya seputar masa silam dalam novel Das Museum der Unschuld. Pamuk menjelaskan, kisah novel itu terjadi antara tahun 1977 sampai tahun 1984. Seorang lelaki yang sedang jatuh cinta dengan seorang gadis. Tapi 30 tahun kemudian baru terkenang cintanya dengan gadis itu, maka dikenangnya dengan mendirikan museum. Novel itu berisi semacam katalog, kadang juga ensiklopedia tentang barang-barang yang ada di dalamnya. Novel ini bukan semacam permainan di museum, tapi sebuah cerita. Karena di ruangan ini aku bukan seorang dosen, melainkan seorang penulis fiksi, maka penjelasanku kusudahi.
Lagi-lagi banyolan Pamuk menyedot tawa hadirin. Bukan tidak mungkin di ruangan itu banyak mahasiswa dan dosen yang kena sentilan.
Thomas bertanya lagi, Seputar apa kandungan dalam novelnya?. Pamuk menjawabnya seperti biasa, tidak dengan gaya retoris, apa lagi berapi-api, lebih terkesan bersahaja, pas-pasan saja. Ia bilang, 6 minggu lalu, novel itu diterbitkan di Turki. Dan satu bulan lalu diterbitkan di Jerman. Ia sebut, aku cinta sekali kepada seorang gadis….sampai di sini Pamuk berhenti. Ia bilang, lebih baik aku baca langsung saja novelnya. Pamuk membaca dalam bahasa Turki hanya 1 atau 2 paragraf. Kini giliran Recai menerjemahkan dengan membaca lebih banyak paragraf.
….aku beruntung sekarang tidak kumpul tidur dengan gadis itu. Aku tak punya daya. Aku sakit….sakit sekali….
Penerjemah memang piawai. Tak hanya suara yang indah, tapi ia punya mimik yang sendu, mengacung-acungkan telunjuknya dengan batas kesopanan. Kadang ia pakai tangan kiri, kadang pakai tangan kanan. Intonasinya yang merendah membuncah mengesankan kerendahan hati. Di sini aku tangkap, bahasa Jerman yang biasa kedengaran kasar, kaku, tidak romantis seperti bahasa Italia, Spanyol, dan Prancis, dipermak dengan aroma orientalis, toh menjadi syahdu adanya.
Di sela-sela itu, aku menoleh di dua ujung depan, berdiri tegap dua body-guard. Body-guardnya berjas rapi. Yang sebelah kanan kerempeng, sebaliknya yang sebelah kiri tubuhnnya membeton. Matanya bukan menunduk, tapi melahap semua gerak-gerik hadirin.
Thomas bertanya tentang berapa jumlah barang yang akan dikoleksi dalam museum nanti?
Dijawab oleh Pamuk, ada sekitar 20.000 barang loakan. Sejak lama barang-barang yang tidak terpakai lagi itu ia kumpulkan. Jawaban Pamuk itu aku cocokan dengan koran yang dibagi di pintu masuk tadi. Aku temukan ada foto Pamuk sedang berfose di depan barang-barang bekas nan antik. Misalnya di depan Pamuk persis, berdiri sepeda merah kecil roda tiga. Di samping kanannya tergeletak dua jam beker lama bersebelahan dengan botol kosong. Di belakang atas pamuk ada patung anjing dari keramik, di sebelah kiri Pamuk berdiri burung camar besar, yang mungkin sudah dikeringkan.
Graebner bertanya lagi, novel itu berhubungan dengan pengetahuan, kebohongan. Sebenarnya apa hubungannya museum tersebut dengan melankoli? Pamuk dengan antusias menjawab, ini museum ketidaksalahan. Kenapa dinamakan museum? Aku sendiri tidak bisa menjelaskan. Intinya di situ ada tema seksualitas, moral, hidup tanpa tali perkawinan, kebebasan, keseharian. Aku menulisnya secara instingtif. Karena itu aku belakangan menyadari, benda-benda yang aku kumpulkan lebih baik ditulis saja. Jarak 30 tahun untuk menulisnya, sebuah jarak yang cukup panjang. Sebuah tragedi, berawal dari cinta, berakhir dengan kepedihan. Selama 30 tahun itu pedih terasa dan pedih terus, maka novel itu aku sebut ketidakbersalahan (Unschuld/Innocence)
Sampai di sini Pamuk menyusun strategi baru yang menggoyangkan tawa banyak orang. Ia bilang, begini, ….membuat resume dari novel tebal ini tentu sulit. Coba bisa nggak bikin resume Peace and War-nya Tolstoy? Gerrrgerrran di aula. Kesanku cara Pamuk menjawab dengan berdiplomasi, cukup lihai.
sekarang Thomas meluncurkan tanya yang kurang lebihnya seputar upaya Pamuk setahap demi setahap mendokumentasikan nuansa Istanbul di tahun 1970-an. Jumlah penduduk yang terus membengkak, bagaimana dengan hiruk-pikuk di masjid? Lewat penerjemahnya, Pamuk menjawab, lewat dokumentasi itulah akan merekam denyut Istanbul . Di sana kan juga dijual kartu pos, aku pun melukisnya. Saat itu berbagai jenis minuman, makanan, rokok tersedia. Museumku nanti akan mengoleksi barang-barang lama tahun 1970-an itu. Ada gandum, lemonade. Lemonade itu minuman kemasan pertama di Turki di tahun 1970-an. Di museumku itu nanti Lemonade akan dipresentasikan. Sudah beberapa tahun aku mempersiapkan museum itu.
Ucapan Pamuk terakhir itu juga mengusung tawa penonton. Dalam batinku, zaman kini yang serba modern, barang langka menjadi antik. Pamuk akan mengumpulkan barang-barang seperti itu. Kalau di Swiss barang-barang sejenis itu mudah ditemukan di tiap kota, namanya Brochenhaus (bukan Brochenhome? Nanti lain artinya). Barang bekas dari warga kota yang tidak muat lagi dihibahkan begitu saja ke Brochenhaus yang memang dikelola oleh pemda kota. Dari sepatu ski sampai TV dan komputer. Barang bekas itu dijual kembali untuk umum dengan harga miring. Termasuk novel-novel, maka aku belinya di Brochenhaus. Satu novel hanya seharga sfr2 (Sekitar Rp15.000). Sebab itu kalau ada buku bagus baru terbit, aku harus sabar sedikit, pasti pembacanya membuang ke Brochenhaus. Setahuku banyak pembaca di Swiss habis baca tidak mau menyimpan bukunya, selain kamar di apartemennya sempit-sempit.
Pamuk mungkin memaknai kata innocence atau Unschuld, semata-mata barang-barang itu lahir ke bumi tidak bersalah. Mereka diproduksi oleh manusia. Atau Pamuk ingin membuat sindiran pada masyarakat modern, dimana satu masyarakat kelebihan barang, di tempat lain masyarakat kekurangan barang. Pamuk dalam posisi anggota masyarakat borjuis yang tentu saja kelebihan barang. Innocence di sini, aku nilai Pamuk sedang memosisikan barang sebagai satuan yang netral tak bersalah. Pamuk tidak berani menyalahkan kapitalis yang memproduksi barang hingga over produksi. Apa yang akan dilakukan Pamuk menurutku bukan hal baru. Sebelumnya sudah sering ada pameran seni bergaya instalasi. Masih di Luzern pernah kudatangi jenis pameran instalasi ini dengan mendatangkan budaya Mesir. Penonton bukan akan dipertemukan dengan Spinx atau Piramid, melainkan sandal jepit dan rongsokan lain dari gurun sahara yang sudah rusak. Dugaanku barang-barang yang akan dipamerkan Pamuk sebagai nostalgi melankolis anak borjuis. Barang yang dianggap antik karena tak berfungsi bagi orang modern, di tempat lain bisa jadi masih berfungsi.
Menulis Seperti Mimpi
Pamuk bilang, jika orang menulis novel, tak usahlah harus banyak berpikir, tapi mimpikan dan mimpikan lagi, seperti anak kecil. Impian itu dilepaskan saja, biar mengucur. Misalkan, ibuku, itu contoh konkretnya. Apa reaksi ibuku, ketika aku keluar dari kuliah arsitektur, malah aku katakan, ingin jadi penulis saja? Jawab ibuku; oh….anakku, janganlah menjadi penulis.
Sama seperti aku akan membangun museum, kata ibuku, museum? Ah janganlah. Kamu tidak pernah akan berhasil.
Agar orang percaya bahwa aku tidak hanya ingin menulis novel tentang museum, tapi benar-benar akan mendirikan museum, maka aku sudah membeli rumah untuk museum.
Ada yang jenaka lagi, agen dan penerbitnya Pamuk tidak percaya, kalau Pamuk akan membangun museum. Pamuk bilang lagi,…di kampus ini tak hanya ilmu pengetahuan, tapi juga menyalami kalau ada tamu datang. Kadang orang punya gagasan murni dan itu harus direalisasikan.
Pamuk membaca salah satu bab. Disebutkan, aku telah banyak mengunjungi negara asing dan dari sana aku menemukan benda-benda khas. Semuanya aku kumpulkan. Misalnya aku ke Mesir, Jerman, dan lain-lain. Di jalanan itu tidak ada kata-kata, hanya makanan. Di depan TV bisa disaksikan Teheran, Bombey, tapi di sebelah TV itu juga bertengger porzelan, asbak, sepatu pantofel, dan gelas. Tapi kalau aku keluar ke jalan, yang kulihat anjing. Ketika aku kembali nonton TV lagi bisa saksikan, kelompok oposisi, politikus, kudeta, profesor universitas sampai pemilik bordel. Apa kata ibuku? Awas…bukankah pamanmu sudah mewanti-wanti?
Saat Pamuk terdiam, ia mengambil kamera membidikkan ke arah audien. Tapi tidak dengan cara mengeker seperti penembak burung. Cukup diangkat sedikit, lalu tanpa blitz sudah terabadikan. Barangkali ini nalurinya, seperti saat ia ke banyak negara mengumpulkan benda-benda kecil untuk museumnya.
Graebner masih menyela lagi ingin tahu, dalam novel itu aku menemukan obat Paradison, itu obat apa?
Pertanyaan ini terdengar unik, obat zaman kuno itu masuk Turki. Pamuk menjawab, Paradison itu semacam obat menenang. Dengan gaya lucunya lagi Pamuk bilang, tapi…untuk membaca novelku tidak perlu minum obat penenang. Gerrr…lagi beresonan di ruangan.
Pertanyaan terakhir datang dari Thomas, kapan museum itu akan dibuka?
Pamuk jawab, tahun 2010, Istanbul akan dinobatkan sebagai ibu kota budaya Eropa. Aku akan banyak kerja untuk itu, insya allah tahun 2010 kubuka. Pamuk mengajak bercanda lagi, barang siapa tidak membaca novelku, maka tidak akan tahu apa isi museum itu. Di sini aku dengarkan ucapan Insya Allah dari Pamuk langsung. O , batinku bahasa Turki juga terselipi Insya Allah.
Lebih konyol lagi, Pamuk menceritakan pengalamannya di Jerman, ada wartawan Jerman bilang, karena pada halaman tertentu sudah tercetak tiket masuk museum itu, maka nanti kalau aku hendak ke museum, tinggal memotong halaman yang ada tiketnya itu. Lagi-lagi membahana tawa di aula.
Dengan kisah banyak leluconnya itu, berakhirlah hajatan bedah novel terbaru, Museum Ketidaksalahan.
Panorama di aula bergemuruh dengan tepuk tangan panjang. Banyak orang menenteng novel-novel Pamuk dari terbitan lama maupun terbaru. Pamuk didampingi seorang perempuan, mungkin dari penerbit. Antrean panjang bersayap ke kiri dan kanan. Aku lihat Krisna memotret dengan jarak dekat sekali. Dua body-guard mendekati. Hitung-hitung mumpung ketemu peraih nobel, rencanaku semula aku siagakan. Sementara Raisa mencari slah yang tepat, ia ingin berpotret bersama Pamuk. Tapi kapan waktunya? Kalau melihat antrean kiri-kanan begitu? Raisa memilih ikut antrean yang paling belakang. Aku ada di antrean tengah dan lekas dapat giliran tanda tangan di novel yang kubawa. Ketika aku sudah berhadap-hadapan dengan Pamuk dan seorang ibu dari penerbit itu, novelku diminta dan langsung ditandatangani. Mungkin tak ada waktu buat Pamuk untuk menanyai, siapa nama pemilik buku. Ketika lembaran kertas putih untuk pondok bacaku kuulurkan ibu tadi, Pamuk meliriknya. Aku bilang ke ibu itu, mohon Pamuk bisa bubuhkan satu kalimat saja. Ibu itu tampak sedikit ragu. Apalagi ada tulisan pondok maos GUYUB, dikira bahasa apa yang bisa mencelakakan, belum lagi dengan tanda tangan sang maestro di bawahnya. Ibu itu menolak permintaanku dengan kata-kata, sekarang khusus tanda tangan. Rupanya Pamuk juga tunduk dengan sang ibu di sebelahnya. Aku angkut lagi lembaran tanpa hasil. Novel sudah ditandatangani Pamuk, aku ngacir ke belakang.
Penonton tumpah dan berpencaran. Kulihat Raisa masih sabar antre di sayap kiri. Ketika giliran Raisa maju, sambil menyodorkan novel My Name is red, ia berhasil membujuk Pamuk dengan diplomatis. Kurang lebihnya, ia bilang Pamuk, I don`t understand at all this meeting. I don`t speak German, may I have a picture with you? Saat-saat ia bicara dengan Pamuk, sempat aku potret. Sehingga yang tampak muka Pamuk dan punggung Raisa. Tapi Pamuk mengiyakan permintaan Raisa. Usai acara tanda tangan, benar janjinya dipenuhi, Pamuk menyediakan waktu untuk potret dengan Raisa. Aku yang memotretnya. Setelah Raisa, masih ada satu anak muda Turki memotret dengan handynya. Lagi-lagi aku jadi juru potret di situ. Langsung Pamuk menghilang di ruangan sebelah. Aku tanya Raisa, bagaimana ia bisa membujuk Pamuk dengan mengakui tak bisa bahasa Jerman? Ia jawab, sebelumnya ia harus berhubungan dengan tiga orang, pertama, body-guardnya, kedua, panitia, dan ketiga, ibu dari penerbit itu.
Sementara kami akan pulang bertemu Kanber lagi. Kanber wajahnya akan menumpahkan haru. Betapa nasibnya sebagai pengungsi sangat teringankan dengan novel-novelnya Pamuk. Kanber mengaku pernah mendekam 2,5 tahun di penjara Ismi, Turki, karena demo menentang pemerintah Turki. Ketika masa tahanan sudah dilepas, ada panggilan lagi akan diperpanjang masa tahanannya, maka ia melarikan diri ke Swiss menjadi pengungsi. Kini ia mandiri kerja sebagai tukang kebun apel dan strawberi. Menjelang pulang, aku bertanya kepada Kanber, bagaimana tadi bertemu dengan Pamuk? Kanber bilang saat minta tanda tangan, Pamuk mengamati dan bilang, kamu tadi paling banyak tertawa. Banyak tertawa dari penonton itu indah.
Krisna membawa kami semua pulang dengan mobil tuanya. Di parkiran ada anak Turki mendatangiku, ia keluarkan dompet, aku kira ada apa ini? Rupanya ia tahu tadi aku sering memotret. Dari dompetnya aku diberi kartu nama, supaya aku kirim hasil foto ke dia. Koran pagi lokal Neue Luzerner Zeitung, Kamis, 23 Oktober 2008 mewartakan, tak seperti biasanya, aula kampus universitas Luzern menjadi pusat daya tarik banyak orang. Banyak hadirin yang ditolak. Sekitar 290 orang memadati acara bertemu peraih nobel itu. Pamuk dikesankan oleh Koran ini, berpenampilan streng dan tegang. Penerjemahnya dipuji melakukan tugasnya dengan memukau.
0O0
*Dikenal sebagai salah satu moderator Apresiasi Sastra (APSAS) dan pioner Festival Puisi Danau yang mula-mula diadakan di tepi danau Zug sebelum akhirnya menyebar ke sejumlah danau di Indonesia. Lahir di Kendal, Jawa Tengah, 21 Juni 1963. Sigit lulus AKABA 17 – UNTAG Semarang pada tahun 1988. Karyanya yang telah terbit: Sosialisme di Kuba (2004), Pegadaian: Novel (2004), Menyusuri Lorong-Lorong Dunia: Sebuah catatan Perjalanan jilid-1 (2005), Menyusuri Lorong-Lorong Dunia: Sebuah catatan Perjalanan jilid-2 (2008), dan Menyusuri Lorong-Lorong Dunia: Sebuah catatan Perjalanan jilid-3 (2012). Selain itu, dia juga menerjemahkan tiga buku Kafka dari bahasa Jerman: Proses - Kafka, Surat untuk Ayah – Kafka, Metamorfosis - Kafka, serta buku Kesetrum Cinta, semacam culture shock dalam kesaksian pengembaraannya. Sejak April 1996 Sigit menetap di Swiss, dan kerap mengembara ke berbagai negara di dunia.
Baca Juga: