Memahami Cahaya di Pelabuhan Malam - H. Pardi Suratno
Memahami Cahaya di Pelabuhan Malam
oleh H. Pardi Suratno*
Bersahabatlah; engkau dengan malam!
Pada sepertiga malam tentu penuh kesunyian dan
ketenangan.
Namun, sementara itu sejuta pintu terbuka
menunggu deraian air mata hamba
yang penuh keinsafan untuk mendekati-Nya.
Puisi
adalah imajinasi kehidupan yang harus dimaknai secara cerdas. Memang begitulah
puisi sebagai karya cerdas membutuhkan pembaca yang cerdas pula. Sekarang ada
di hadapan kita puisi dengan variasi ungkapan imaji karya anak muda yang sedang
mengepakkan sayat melayang hendak memahami hidup yang sangat luas, yakni karya
yang terhimpun dalam Pelabuhan Malam kumpulan sajak karya
Mahroso Doloh. Mahroso adalah salah satu anak muda yang berasal dari bumi
Melayu yang berada di bagian selatan Thailand, yakni Patani. Menurut historis,
sekitar dua ratus tahun yang lalu Patani adalah salah satu negara yang
berdaulat pada Kerajaan Melayu Patani, yang dulunya disebut Patani Darussalam
atau Fathoni Darussalam. Sementara itu, Mahroso merupakan seorang anak
muda yang mempunyai bakat seperti nenek
moyangnya, yaitu kemampuan dalam bersastra. Secara pribadi, saya sangat
menyambut gembira atas lahirnya kumpulan sajak Pelabuhan Malam ini.
Dengan lahirnya Pelabuhan Malam karya Mahroso ini, merupakan sesuatu yang baru karena kalau
kita simak sajak-sajak yang ditulis oleh Mahroso pada umumnya mengemas dengan
menggunakan bahasa Indonesia. Jadi, Mahroso yang bukan orang Indonesia, namun
pampu menuliskan sajak-sajak dengan menggunakan bahasa Indonesia sekaligus juga
mampu menuangkan unsur-unsur estetika yang tidak jauh kalah dengan penyair-penyair
di Indonesia. Hal itu, menjadi suatu keistimewaan bagi Mahroso dan suatu
kebanggaan bagi negara Indonesia.
Karya sastra takkan lahir
dari kekosongan budaya. Berdasrkan biodata Mahroso nampaknya ia mempunyai latar
belakang yang erat dengan budaya pesantren. Oleh karena itu, sajak-sajknya
kebanyakkan bernuansa pesantren atau religius. Ya, itulah pilihannya yang kelak
pasti semakin melebar seiring dengan dinamika kedewasaannya dalam
berkarya. Sebagai insan yang diciptakan
oleh-Nya secara berpasangan, Mahroso
juga tidak terlepas dari hasrat cinta yang mengugah jiwa. Cinta terhadap Sang
Khalid, cinta sesama insan, cinta semesta dan cinta terhadap tanah air. Untuk
lebih jelasnya dapat kita simak pada kumpulan sajak ini, sebagaimana dibagi
menjadi dua episode; episode pertama “Lautan Mahabbah” yang mengandung nilai
cinta; yang berkiblat pada religiusitas (keagamaan), dan episode kedua “Di
Pantai Ini: Patani Penuh Peristiwa” mengandung nilai cinta tanah air
(nasionalisme). Dengan kedua episode tersebut, ibaratnya satu sajian yang
mengandung dua latar budaya (Indonesia-Thailand [khususnya Patani]) yang saling
melengkapai; episode pertama dapat dikatakan episode yang mengandung nilai
cinta religiusitas, cinta yan tak jauh beda dengan budaya cinta yang terdapat
pada sajak-sajak penyair di Indonesia. Sementara episode kedua mengandung nilai
kebudayaan Patani dan nilai nasionalisme, yakni cinta terhadap tanah airnya
(Patani). Pada episode yang kedualah dapat kita rasakan kesedihan, kegelisahan,
tangisan, dan nasib buruk anak Melayu di Patani sebagaimana yang diuntai oleh
Mahroso melalui sajak-sajaknya (Pelabuhan Malam). Salah satu sajak yang
saratnya nilai religiusitas sebagaimana terdapat pada episode yang pertama
dapat disimak kutipan berikut:
pelabuhan malam
aku berlabuh kepada-Mu
dengan sehelai kapal tua
yang akan membawa kau-aku
sampai ke negeri sana
dan akan datang
kau-aku bercinta
di sudut alam abadi
.....
(Sajak “Pelabuhan Malam”)
Pada kutipan di atas
Mahroso menceritakan tentang kelebihan waktu malam sebagaimana dalam al-Quran
menjelaskan bahwa pada waktu malam (sepertiga malam) sangat banyak
kelebihannya. pelabuhan malam / aku berlabuh kepada-Mu / larik tersebut
dapat dikatakan Mahroso yang mungkin beristikamah pada waktu malam; bisa saja
bertahajud, berdzikir dan sebagainya (beribadah) / dengan sehelai kapal tua
/ yang akan membawa kau-aku / sampai ke negeri sana / dengan sehelai
sajadahlah akan membawa keselamatan untuk kau-aku di negeri sana (akhirat),
Mahroso menggunakan diksi ‘kapal tua’ sebagai metafora ‘sajadah’, hal ini,
mungkin dapat dijelaskan bahwa dengan sehelai sajadah mampu membawa kau-aku ke
negeri sana sebagaimana kita ketahui bahwa sebuah kapal digunakan untuk
berhijarah dari satu tempat ke tempat yang lain. Sementara itu, Mahroso
menggunakan sajadah sebagai alat berhijrah dari negeri ini (dunia) menuju ke negeri
sana (akhirat). Kenapa demikian? Apakah dengan sehelai sajadah mampu membawa
seorang insan ke negeri sana dengan selamat? Entah apapun jawabannya tentu saja
menjadi doa bagi kita semua. Namun sementara itu, yang jelas adalah setiap
sesuatu yang kita gunakan dalam beribadah ia akan membantu kita; akan menjadi
saksi kita terhadap Yang Mahakuasa. Bahkan, dapat menjadi timbangan ibadah kita
di hari nanti. dan akan datang / kau-aku bercinta / di sudut alam abadi / Dan
jika nanti; kau-aku akan bercinta di sudut alam yang abadi, yakni dengan penuh
doa (harapan) di hari nanti kau-aku akan bercinta yang tak pernah selesai,
cinta di dalam surga Illahi. Selanjutnya, masih banyak ruang atau sela-sela
yang manis penuh keromantisan yang disajikan oleh Mahroso kepada pembaca dengan
melalui kumpulan sajak ini. Selain cinta dan romantis, Mahroso juga menyajikan
nilai nasionalisme yang insya Allah akan tumbuh dan mengetuk jiwa pembaca.
Akhrinya,
saya mengucapkan terima kasih dan saya sangat bangga dengan Mahroso yang konsisten
bertekun dalam bidang sastra Indonesia. Dengan munculnya kumpulan sajak Pelabuhan
Malam ini, saya berharap dapat menjadikan memotivasi bagi anak-anak
Indonesia untuk bersastra; terutama dalam bidang kepenulisan. Semoga buah pena
yang terhimpun dalam Pelabuhan Malam ini sebagai kenangan manis Mahroso
dalam memahami Indonesia sebagai pilihan hidupnya.
Semarang,
6 September 2015
*Pakar sastra
Indonesia-Jawa sekaligus sebagai Kepala Balai Bahasa Propinsi Jawa Tengah.