Revolusi Kenabian
Oleh Sofyan RH. Zaid
“Apa gunanya kerja mencipta bagi seniman, jika tidak berdarah dan berjiwa.”
Muhammad Iqbal
Adalah kenangan luka yang terus berdarah sampai hari ini ketika pada abad ke-13 bekas wilayah Abbasiyah berhasil dirampas dan dijarah orang-orang Mongol. Kondisi sosial dan ekonomi umat Islam memburuk. Sendi-sendi kebudayaan dan peradabannya pun runtuh sebagaimana tembok istana. Sejak itulah umat Islam serupa piring pecah dua, masing-masing menjadi beling terasing dan bising, kadang saling menusuk, melukai.
Pecahan pertama adalah masyarakat tradisional yang kehilangan tradisinya, miskin dan marginal. Hidup hanya menjadi objek penindasan kolonial dan sasaran tembak penguasanya sendiri. Pecahan kedua adalah masyarakat menengah ‘kebarat-baratan’ yang lupa ketimurannya, terpelajar, dan begitu bergantung pada pemerintah kolonial, demiklian juga ulama dan tokoh masyarakatnya. Kedua pecahan tersebut memang berbeda, namun mempunyai satu kesamaan, yaitu sama-sama meninggalkan ajaran, kebudayaan, sejarah, dan khazanah keislamannya.
Peristiwa semacam ini tidak hanya menyedihkan, namun juga memprihatinkan. Mereka memang tidak mati, namun mereka tidur terlalu nyenyak. Untuk itulah, Iqbal datang –menyebut dirinya dalam mukadimah Asrar –i Khudi- sebagai muazin yang menyeru mereka untuk bangun dari mimpi buruk, bangkit untuk salat subuh, dan bersiap menyongsong matahari baru. “Sesungguhnya sudah masanya bagi kita saat ini untuk memelihara asas-asas Islam,” teriak Iqbal.
Iqbal banyak menjadi muazin di dalam puisi-puisinya, menyeru umat Islam agar bergerak dan tergerak, tidak hanya berpangku tangan menunggu kehancuran, apabila tidak tiba keajaiban. Hidup adalah bergerak dan menciptakan dunia baru. Oleh karena itu, umat Islam membutuhkan penguasaan ilmu dan teknologi. Umat Islam harus banyak belajar ilmu dari Barat, namun jangan pernah menjadi ‘kebarat-baratan’. Umat Islam harus banyak berguru pada tokoh-tokoh Barat, namun jangan pernah mengulangi kesalahan mereka yang begitu memuja kekuatan materi dan lenyaplah aspek etika dan spiritual dari dirinya. Sampai-sampai mereka tidak tahu caranya untuk bahagia dan bunuh diri adalah hobi di zaman modern.
Sebagai penyair, Iqbal mengatakan bahwa tujuan seorang penyair menulis puisi bukan hanya untuk meluahkan keindahan yang memberi kelezatan estetis bagi perasaan dan bukan pula sebagai pelipur lara bagi pembaca. Itulah sebabnya, seruan-seruan Iqbal melalui puisi-puisinya paling tidak memiliki dua api yang dominan.
Pertama, puisi ditulis untuk menjadi tangga mencapai keindahan tertinggi melalui pengalaman spiritual, yakni cinta Ilahi. Sedangkan yang kedua, puisi ditulis untuk perbaikan dan pengembangan diri (khudi). Melalui dua hal inilah Iqbal percaya bahwa umat Islam bisa kembali berjaya dan menjadi pribadi yang saleh, baik saleh secara spiritual, maupun saleh secara sosial. Iqbal sendiri mengakui bahwa puisi-puisinya lahir dari kawin batin antara kebudayaan Barat yang dinamik dengan kebudayaan Timur yang bernapaskan Islam. Iqbal juga percaya bahwa puisi yang adiluhung bisa memainkan peranan penting dalam pengembangan kebudayaan dan penyebaran nilai-nilai kerohanian.
Dengan demikian, kata Iqbal, sudah selayaknya penyair tidak hanya sibuk menulis puisi tentang perempuan, namun juga hirau terhadap maju mundurnya kebudayaan. Akan tetapi Iqbal juga mengimbau agar penyair tidak sampai terjebak pada kesibukan-kesibukan murni masalah sosial dan politik, sehingga lupa menulis puisi dan memperkaya diri dengan hikmah mulia. Penyair yang ideal menurut Iqbal adalah yang mampu –melalui puisinya- menyulut pembaca agar terbit cinta kepada Allah dan terus mengembangkan diri demi kemanusian. Maka, dengan cara seperti inilah, revolusi kenabian bisa terwujud tanpa kekerasan –yang menurut Abdul Hadi WM- adalah perubahan sosial dan budaya yang bersendikan ajaran nabi.
Demikianlah Iqbal, Pemikir dari Pakistan (Muffakir-e-Pakistan) atau Penyair dari Timur (Shair-iMashriq) yang berjuang merumuskan konsep negara bagi muslim India bersama Ali Jinnah. Iqbal tak pernah melihat berdirinya Pakistan tahun 1947 karena dia lebih dulu meninggal pada 21 April 1938. Dalam ingatan setiap orang –khususnya India dan Pakistan- Iqbal terus menjadi api revolusi kenabian yang menyala-nyala. Tanggal di mana Iqbal lahir -09 November 1877 di Sailkot, Punjab- dirayakan sebagai 'Iqbal Dayh’ atau cuti umum bersama di Pakistan sampai hari ini.
Sebagai penutup, seoalah menyadari segalanya, Iqbal pernah berkata, “I have no need the ear of To-day, I am the voice of the poet of To-morrow.” (Aku tidak butuh ‘telinga hari ini’, aku adalah ‘suara penyair masa depan’)
Jakarta, 09 Juni 2017
*Dibawakan sebagai Orasi Budaya pada acara Malam Puisi Iqbal, Universitas Paramadina, Jakarta (9/6/2017)
Baham Bacaan
Adian, Donny Gahral (2003), Muhammad
Iqbal: Seri Tokoh Filsafat, Jakarta: Teraju.
Hadi, Abdul W. M. (1999), Kembali ke
Akar Kembali ke Sumber. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Iqbal, Muhammad (1966), Membangun
Kembali Pikiran Agama dalam Islam, terjemahan Ali Audah, Jakarta:
Tintamas.
Iqbal, Muhammad Iqbal (1976), Asrar
I Khudi; Rahasia-Rahasia Pribadi, terjemahan Bahrum Rangkuti, Jakarta: Bulan
Bintang .
Iqbal, Muhammad Iqbal (1987), Kitab
Keabadian: Javid Namah, terjemahan Mohammad Mokr, Jakarta: Pustaka
Panjimas.
Nasution, Harun (1988), Pembaharuan
dalam Islam: Sejarah, Pemikiran, dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang.*Dibawakan sebagai Orasi Budaya pada acara Malam Puisi Iqbal, Universitas Paramadina, Jakarta (9/6/2017)