Buku: Sang Pengintai – Indra Intisa
Sekilas Tentang Buku “Sang Pengintai” – Indra
Intisa
Prakata
Puisi dalam buku “Sang Pengintai” adalah
puisi yang seolah bermain-main dengan puisinya. Puisi yang ditulis dalam bentuk
dialog-dialog pendek ini adalah paradoks tentang kehidupan yang fana. Sebuah
jebakan bagi kita sendiri yang terlena dengan permainan dunia.
Tema Sang Pengintai saya pilih berdasarkan
garis besar isi dari puisi-puisi yang tergabung di dalam buku ini. Tema ini
diambil berdasarkan pengamatan, pengalaman dan imajinasi yang ditangkap dari
alam, sosial-budaya, dan kehidupan sehari-hari yang tiba-tiba menjelma menjadi
cerita yang mengandung filosofis tertentu.
Saya sadar, kehidupan di dunia adalah semu—yang
nyata adalah keabadian di Sana. Akhirat adalah tujuan utama dari hidup. Untuk
itu tentu ada hal-hal yang sering kita lupakan—yang mengintai saat kita senang,
sehat, sakit, hidup, atau apapun yang mungkin kita lupa-lupa (semoga tidak
disengaja lupa). Tentunya inti dari semuanya adalah maut yang menjemput. Saat
kalut, kusut, atau hal-hal yang menjadikan kita kecut dan penakut.
Puisi-puisi di buku ini cocok dibaca di dalam
kamar, direnung-renungi, dibaca dengan pelan, dikuyah baik-baik dengan santai,
sehingga pesan tersirat dapat menyentuh lubuk paling dalam.
Dengan terbitnya buku ini, tentu tidak lepas
dari kekuatan Maha Dahsyat, yaitu Allah Swt., sudah sepantasnya saya
mengucapkan puji dan syukur terhadap-Nya. Sebab, tanpa-Nya, naskah ini tidak
berarti apa-apa. Dan yang tersayang adalah keluarga kecil saya: ibu, ayah,
adik, dan tentunya yang selalu sering menepuk pundak saya sambil berkata,
“Teruslah berkarya. Tidak penting bisa membuat kaya atau tidak. Tulis yang
bermanfaat. Saya selalu mendukung.” Begitu ujarnya, istri saya. Karya ini
tentunya saya persembahkan buat mereka juga, dan anak tersayang sebagai
inspirasi besar dalam hidup.
Kepada penyair R.H Zaid, terima kasih telah
menjadi teman diskusi saat menyelesaikan Sang Pengintai edisi cetak ke-2 ini.
Ada banyak masukan, kajian, dst., yang menjadi pertimbangan saya dalam
menyelesaikan buku ini.
Kemudian kepada para sahabat yang mendukung
secara moril dan materil juga selayaknya saya berterima kasih.
Akhir kata, saya persembahkan buku ini kepada
para pembaca. Semoga buku sederhana ini mampu memberikan manfaat yang baik.
Amin.
Pulau Punjung, 27 April 2017
(Indra Intisa)
Endorsmen
“SANG PENGINTAI yang terpilih sebagai judul
kumpulan Puisi Indra Intisa ini ternyata adalah si Pembawa Kematian yang bisa
datang kapan saja dan di mana saja. Meski bagi sebagian orang Sang Pengintai
adalah hal yang menakutkan, tetapi tidak bagi Indra Intisa. Di tangannya Sang
Pengintai itu bisa menjadi bahan racikan utama dalam puisi-puisinya yang begitu
menyentuh bagi pembacanya untuk senantiasa piawai memaknai hidup sebelum Sang
Pengintai itu datang” (Hamberan Syahbana, Pemerhati Puisi, Kalimatan
Selatan)
“Dalam kumpulan antologi puisi tunggalnya
yang diberi tajuk sang pengintai, dalam tanda seru, Indra Intisa saya pikir
cukup berhasil menggabungkan topik kekinian dan pokok pikiran Indra selaku
penulis. Pesan moral yang ingin dilesatkan pada pembaca dikemas dengan
bahasa-bahasa idiom—simbolis yang mudah mengerakkan rasa dan imaji penikmat
baca.” (Imron Tohari, Penggagas puisi 2koma7, Mataram).
“Luwar binasa, terbelit imaji penyair.
Berpusing-pusing di pusar akar puisi nakal bin mbeling. Ampun ada Bel dan Anja.
Zombie katakata menggrafiti tembok teori sastra. Terperangkap kerakap pada batu
kepala Malin Kundang. Luwar kepala membetot teori refleksi dari encok bahasa
akut. Ampun dije! Jangan kau hentakkan lagi irama pil koplo di antologi tunggal
setunggal demi setunggal. Rombongan sepatu laras melumat wajah menegaki puisi
sajak yang tumpah pedat. Izinkan aku istirah: thanks Got it Friday!” (Cunong
Nunuk Suraja, Penggiat Sastra, Pengajar Intercultural Communication di FKIP
- Universitas Ibn Khaldun Bogor)
"Indra Intisa tidak mengajak kita pada
perbelitan simbol yang dalam. Ia seperti mengajak kita bergurau dengan
peristiwa-peristiwa kecil, dan menutup lariknya dengan satu kesimpulan, seperti
permainan nada yang tidak utuh tapi menggelitik. Indra Intisa memakai kata-kata
yang cenderung dramatik, ketimbang memilih alegori yang mendayu-dayu.” (W
Haryanto, Penyair dan Sutradara Teater, Tinggal di Blitar)
“Sang Pengintai? Demikian saya bertanya
ketika membaca judul buku puisi karya Indra Intisa ini. Lembar demi lembar,
puisi-puisinya begitu sabar. Sesekali ada getar, debar, atau hanya sebuah
kabar. Maut! Demikian saya menjawab sendiri setelah berkali membaca
puisi-puisinya. Sang Pengintai itu barangkali yang dia maksud adalah maut.
Sebagaimana puisinya yang berjudul “Maut”: Sejauh mana kau melangkah/ Bunga
yang lahir, ‘kan lahir// Sejauh mana kau berjalan/ Bunga yang mekar, ‘kan
mekar// Sejauh mana kau berlari/ Bunga yang gugur, ‘kan gugur// Dari
tempat-tempat yang ingat/ Dari tempat-tempat yang lupa/ Dari arah-arah tak
tentu. Demikianlah maut senantiasa mengintai dan kadang menyeringai.
Melalui buku ini, Indra seakan berbisik abadi; tidak ada yang mengintaimu
setajam kematian.” (Sofyan RH. Zaid, Penyair dan Editor)